Advertisement

Ini Cerita Lulusan FKIP UNS yang Tak Ingin Jadi Guru

Ayu Prawitasari
Senin, 15 Juli 2019 - 08:57 WIB
Sunartono
Ini Cerita Lulusan FKIP UNS yang Tak Ingin Jadi Guru Para anggota Mixnox di Solo Techno Park Solo, belum lama ini.

Advertisement

Harianjogja.com, SOLO — Lulusan FKIP tak selalu menjadi guru. Tiga lulusan Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer (PTIK) FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini membuat perusahaan rintisan berbasis teknologi (startup) bernama Mixnox.

Saat memulai cerita tentang usaha mereka pada Rabu (10/7/2019) malam di Kafe Opallet, ketiganya saling ejek soal usia, tentang siapa yang paling muda dan siapa yang paling tua.

Advertisement

Padahal usia ketiganya masih muda, Ahmad Pramono, 24; Fauzan Adi, 23; dan Rix Rangga, 23. Mereka adalah lulusan PTIK Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo.

Meski bersekolah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), namun ketiganya tak berminat menjadi pengajar. Menurut mereka, kuliah di FKIP bukan lantas menjadikan lulusannya harus menjadi seorang guru.

Ketiganya ingin menjadi pengusaha. Itulah alasan mereka membuat Mixnox, perusahaan rintisan yang melayani pembuatan website, multimedia, instalasi jaringan, sampai desain kaver buku.

Fauzan membuka cerita tentang awal-mula berdirinya Mixnox yang dilatarbelakangi kegelisahan ketiganya. “Omong-omongannya saat nganggur, di sela mengerjakan skripsi maksudnya. Jadi kita membahas bagaimana setelah kuliah. Awalnya banyak sih yang bergabung. Sekarang yang aktif sekitar tujuh orang,” kata dia.

Memanfaatkan akun Instagram @mixnoxstudio, mereka menawarkan berbagai layananan kepada para pengikut yang mencapai 1.855 akun. Pemasaran lewat Instagram efektif untuk menjangkau banyak kalangan selain juga pemasaran dari mulut ke mulut.

Pramono menjelaskan klien mereka saat ini kebanyakan adalah mahasiswa. Yang mereka pesan biasanya sebuah aplikasi untuk kepentingan riset. “Ada juga dosen yang meminta aplikasi khusus untuk melengkapi bukunya. Jadi buku yang dicetak dosen itu dilengkapi ilustrasi di setiap bab. Kebetulan buku matematika sih. Seingat saya pesannya empat media pembelajaran karena menyesuaikan jumlah bab,” jelas Pramono.

Fauzan memperlihatkan salah satu aplikasi multimedia pengajaran untuk siswa. Dalam aplikasi itu, selain materi pelajaran, ada pula animasi sederhana, soal-soal, serta materi pengajaran. “Aplikasinya memang untuk memudahkan proses belajar-mengajar,” sambung Fauzan.

Bekerja sama dengan Solo Techno Park (STP) Solo, para pemuda ini berhak menggunakan space sekitar 10 meter X 5 meter untuk tempat layanan dan workshop. Praktiknya mereka seringkali bekerja di rumah masing-masing karena pengerjaan aplikasi biasanya membutuhkan waktu panjang sementara STP tutup pada sore hari.

“Kalau untuk produk harganya beragam. Aplikasinya dari yang sederhana sampai rumit. Ada yang harganya Rp150.000 sampai Rp10 juta,” jelas dia. Ketiganya berharap Mixnox berkembang. Salah satu hal yang paling mereka butuhkan adalah pembimbing yang bisa memberi contoh, mulai dari pengembangan usaha, riset, sampai manajemen.

SDM

“SDM kami kan terbatas. Jadi kadang saat order banyak, SDM tidak ada. Begitu juga soal pengembangan. Kami berharap di STP tidak sekadar menyediakan tempat, tapi juga memberikan contoh, pembimbingan,” ujar Pramono.

Kebutuhan pelaku usaha rintisan berbasis digital ini juga disuarakan Public Relation (PR) Digital Innovation Lounge (Dilo) Solo, Hilma Failasufa. Dilo Solo merupakan tempat kreatif yang dikembangkan MIKTI (Masyarakat Industri Kreatif Teknologi Informasi dan Komunikasi) bekerja sama dengan Telkom dan Pemkot Solo sebagai pusat interaksi antara peminat dan pelaku industri kreatif digital di Kota Bengawan. Tujuannya menciptakan bibit-bibit digitalpreneur yang siap masuk industri.

Hilma mengatakan saat ini ada sekitar 30 startup yang bergabung di Dilo. Sempat vakum pada 2015-2016, Dilo kini aktif kembali. Di Dilo, usia startup beragam, nol hingga lima tahun. Bisnis startup biasanya baru stabil pada usia keempat.

“Memang masih banyak kendala yang dihadapi startup di Solo. Investor yang masuk belum tertarik pada digital, lebih ke UMKM atau bisnis konvensional. Penyebabnya belum ada pasar dan ekosistem startup yang tumbuh di Solo. Kondisi ini berbeda jauh dengan Jogja. Yang dibutuhkan saat ini memang investor dan pembimbingan.”

Dirangkum dari sejumlah rilis di laman ristekdikti.go.id dan penelusuran Solopos.com, fokus pemerintah saat ini adalah mentransformasikan perekonomian negara yang semula berbasis sumber daya alam (resource based economy) menjadi ekonomi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy). Untuk mewujudkannya, Kemenristekdikti melalui Direktorat Jenderal Penguatan Inovasi mengembangkan program pengembangan Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) program yang terkonsentrasi pada penumbuhan startup berbasis teknologi sejak 2015.

PPBT

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menyebutkan hingga 2018 pendanaan dan pembinaan telah diberikan kepada 923 startup dan calon startup yang berasal dari dari mahasiswa, masyarakat umum, serta peneliti/dosen. Sementara, pada tahun ini berdasarkan salinan Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Inovasi Industri dan Direktorat Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi No. 004/F1/PPK.2/Kp/III/2019 tentang Penetapan Proposal Penerima Pembiayaan Program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi yang Dibiayai oleh APBN 2019, ada 249 inkubator yang menerima bantuan dana untuk membantu para startup. Nilai bantuan beragam mulai dari Rp300 juta lebih hingga Rp400 juta lebih.

Nasir mendorong lulusan perguruan tinggi tidak hanya menjadi pencari kerja (job seeker), namun juga harus mampu menciptakan lapangan kerja (job creator). “Jiwa kewirausahaan mahasiswa dan inovasi harus ditumbuhkan di perguruan tinggi,” ucap Menristekdikti saat memberikan Kuliah Umum di Kampus Universitas Brawijaya, Malang (27/3/2019) seperti dilansir di laman ristekdikti.go.id.

Inovasi yang diciptakan kalangan milenial Indonesia saat ini mampu menggerakkan perekonomian negara dan masyarakat. Contohnya inovasi yang dilakukan para Unicorn Indonesia seperti Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka.

Laman Kominfo.go.id mengutip hasil survei MIKTI pada 2018 menyebutkan 52,62% (522) startup berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Jawa Timur menyusul dengan 113 startup atau 11,39% dilanjutkan Yogyakarta dengan 54 startup atau 5,44%, Jawa Barat sebanyak 44 startup atau 4,44%, dan Sulawesi dengan 34 startup atau 3,43%.

Sebanyak 604 startup berdiri pada 2013-2018 dengan mayoritas berbentuk PT sebanyak 504 startup. Sebabnyak 352 di antaranya berupa startup e-commerce.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Solopos

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dukung Kelestarian Lingkungan, Pemda DIY Mulai Terapkan Program PBJ Berkelanjutan

Jogja
| Kamis, 28 Maret 2024, 16:17 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement