Advertisement

FEATURE: Keinginan Bunuh Diri, Bahaya Laten yang Mengancam Anak Muda

Salsabila Annisa Azmi & Lajeng Padmaratri
Minggu, 27 Januari 2019 - 14:25 WIB
Budi Cahyana
FEATURE: Keinginan Bunuh Diri, Bahaya Laten yang Mengancam Anak Muda Ilustrasi. - Harian Jogja/Nina Atmasari

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Baru baru ini, Komunitas Into the Light, sebuah pusat advokasi dan edukasi pencegahan bunuh diri di Jakarta merilis data 34,5 % mahasiswa Jakarta memiliki pemikiran untuk bunuh diri. DIY sebagai Kota Pelajar tak luput dari studi. Penelitian dari Pletzer menunjukkan 6,9 % mahasiswa usia 18-30 tahun juga punya pikiran untuk mengakhiri hidup mereka. Penyebab bunuh diri ibarat gunung es, hanya tampak di permukaan. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Lajeng Padmaratri & Salsabila Annisa Azmi.

Syahdan, seorang mahasiswa datang kepada Triana Ambarwati, konselor psikologi di Laksita Educare. Dia mengaku ingin bunuh diri lantaran tak diterima dalam pergaulannya sehari-hari, tak ada satu pun teman yang sanggup bertahan di dekatnya karena kepribadiannya yang terlalu sensitif. Keesokan harinya, mahasiswa lainnya mengadu Triana dan mengaku telah mencoba menghabisi nyawanya karena beban kuliah yang berlebih.

Advertisement

“Beban kuliah dan masalah pergaulan itu hanya permukaan, sebenarnya mayoritas penyebab mereka ingin bunuh diri adalah karena situasi keluarga yang broken home. Hubungan dalam keluarga adalah akar penyebabnya,” kata Triana.

Triana kemudian menuturkan proses perkembangan emosi para mahasiswa yang datang dengan latar belakang keluarga berantakan. Triana mengibaratkan proses tersebut sebagai rantai yang saling sambung menyambung. Sejak kecil mereka terbiasa melihat kedua orang tuanya berkonflik dan tidak bisa mengekspresikan kesedihan serta kekecewaannya. Emosi-emosi negatif itu mengendap di alam bawah sadar mereka hingga mereka menginjak umur remaja atau umur menuju dewasa. Endapan emosi negatif itu merusak kualitas mental mereka. Mereka tumbuh menjadi anak yang kurang percaya diri, susah membaur dengan sekitar dan susah menyesuaikan diri dengan lingkungan.

“Sehingga ketika mereka menghadapi suatu permasalahan dalam kehidupan, mereka merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan masalah mereka, merasa tak punya harapan, tidak berharga dan akhirnya menginginkan untuk bunuh diri saja. Mau curhat ke orang tua juga sudah tidak percaya, teman-temannya juga sudah telanjur menjauhi karena dia terlalu sensitif,” kata Triana.

Pola asuh yang demokratis dalam keluarga sangat penting supaya menguatkan mental anak dalam menghadapi masalah.

“Biarkan anak mengemukakan emosi dan pendapatnya dengan terbuka sehingga tidak ada pengendapan emosi negatif.”

Bagi mahasiswa yang menemukan temannya depresi hingga muncul keinginan bunuh diri, Triana menyarankan untuk membawa teman mereka ke profesional. “Sebab tumpukan emosi negatif itu harus dirawat, sebelum diterapi tentunya akan ada asesmen dulu,” kata Triana.

Sejak 2014 hingga saat ini, Triana sudah menangani 10 orang berusia mahasiswa yang ingin bunuh diri atau sudah mendoba bunuh diri. Perbandingan antara mereka yang ingin bunuh diri atau sudah mencoba bunuh diri sebesar 50:50. Adapun perbandingan mereka yang datang ke psikolog dengan kemauan sendiri dan mereka yang datang karena diantar teman atau keluarganya adalah 75:25.

Pendapat Mahasiswa

Honey Intania Yonarizki adalah mahasiswa semester akhir Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jogja. Usianya 21 tahun. Ia kerap kali mendapat banyak tekanan untuk segera menuntaskan studi. Hidup sendiri di tanah rantau memaksanya mandiri dan bisa menghadapi persoalannya seorang diri.

Namun, semakin hari cara pandangnya terhadap kehidupan berubah menjadi lebih santai, tak lagi terburu-buru atau memikirkan banyak hal terlalu dalam. Tetapi, seringkali ia mendapati kawan-kawannya sedang banyak pikiran dan mengaku mengidap depresi. Tak jarang dari mereka mengaku ingin bunuh diri.

Menurut Honey, usia sebaya dirinya rentan dengan berbagai hal yang bikin resah, mulai dari perihal studi, pekerjaan, keluarga, bahkan asmara. “Aku sebagai mahasiswa juga sering merasa di umur segini sering merasa kebingungan, banyak pikiran, kadang ekspektasi yang kita harapkan tidak sesuai,” kata Honey.

Menurut dia, setiap orang bisa punya pikiran untuk bunuh diri. Yang membedakan ialah bagaimana lingkungannya meresponnya. “Kalau aku sekarang sih enggak mau overthinking [berpikir berlebihan, kalau ada apa-apa ya direspons biasa saja.”

Honey selalu berupaya untuk merangkul teman-temannya yang datang mencurahkan isi hati dan pikirannya padanya. “Kalau dia cerita ya didengerin, enggak dihakimi.”

Ghina Kusuma, 20, mahasiswi Universitas Gadjah Mada, mengatakan penyebab mahasiswa depresi bisa bermacam-macam. Beberapa temannya menginginkan bunuh diri karena dipaksa menikah muda, tidak kunjung lulus atau putus hubungan asmara dengan kekasihnya. “Alasannya macam-macam, tetapi kebanyakan dari mereka ada tekanan dan tuntutan dari orang tuanya, atau orang tuanya jauh gitu sama mereka,” kata Ghina.

Dia pernah menemani salah seorang temannya ke biro konsultasi psikologi karena berkali-kali keinginan bunuh diri terbersit di benaknya. Penyebabnya adalah tekanan orang tua untuk segera menikah muda, padahal kuliahnya tak kunjung selesai. Sebagai seorang teman, Ghina sadar untuk terus selalu mendampinginya bahkan membawanya ke psikolog.

“Dia jadi sering menarik diri dari lingkungan, sibuk sama pikiran buruknya, dan sering bilang mau mati. Akhirnya aku sama teman-temanku membujuknya ke psikolog, kami juga suruh dia tanda tangan di surat perjanjian kalau dia tidak akan bunuh diri. Dia sudah janji sama kami, jadi harapannya setiap muncul keinginan bunuh diri, dia ingat perjanjian itu.”

Isu Global

Kesehatan mental sedang menjadi isu dunia. World Health Organization (WHO) merilis data pada April 2017 lalu tentang negara-negara yang mengikuti studi tentang status kesehatan mental. Dari 10 negara Asia yang menjadi responden, Indonesia adalah salah satunya. Data tersebut mengklasifikasikan perilaku bunuh diri (suicidal behaviour) masyarakat Indonesia usia 15-29 tahun pada 2015.

Sekitar 5% penduduk Indonesia punya ide bunuh diri, 6% penduduk Indonesia punya pikiran bunuh diri dan merencanakannya, serta 4% penduduk Indonesia pernah melakukan percobaan bunuh diri. WHO juga merilis gejala apa saja yang tampak pada orang yang memiliki pikiran bunuh diri dalam dua belas bulan, antara lain memiliki kecemasan hingga susah tidur, kesepian, serta tidak punya teman dekat.

Dosen Psikologi di Universitas Gadjah Mada sekaligus Ketua Center for Public Mental Health Fakultas Psikologi UGM, Diana Setiyawati, saat ini sedang menyusun panduan pertolongan pertama pencegahan bunuh diri. Guideline ini ia rancang bekerja sama dengan Dinas Kesehatan DIY dan melibatkan responden siswa usia SMA.

“Memang enggak fokus ke mahasiswa, tetapi kami juga menggali data orang-orang yang istilahnya people with lived experience yaitu orang yang pernah mau bunuh diri dan orang-orang yang kehilangan anggota keluarganya karena bunuh diri. Dari studi itu ditemukan kalau bunuh diri itu bisa dicegah, ada tandanya,” kata Diana ketika ditemui Harian Jogja belum lama ini.

Kelak, panduan tersebut akan ia turunkan menjadi pelatihan pencegahan bunuh diri ke masyarakat.

Menurut dia, penyebab seseorang yang memiliki pikiran bunuh diri tidak dapat diketahui dengan gampang. “Setiap orang yang baru lahir punya faktor genetis, ada juga yang prenatal saat masih di kandungan. Ada yang orangnya rentan karena punya faktor risiko,” ucap Diana.

Ketika seseorang tumbuh dewasa, kondisi mentalnya akan dipengaruhi oleh dirinya sendiri, keluarga, serta lingkungan sekitarnya sebagai faktor pelindung. Berbagai hal itu akan saling memengaruhi dan membentuk perilaku seseorang dan caranya menghadapi persoalan.

Diana pernah membuat lomba menulis esai bersama mahasiswa UGM bertema ide bunuh diri. Hasilnya, dari 21 peserta yang ikut, tujuh di antara mereka menuliskan berdasar pengalaman pribadi. “Itu sudah menunjukkan 30% yang ikut lomba menyatakan berdasarkan pengalaman pribadi. Tetapi belum bisa disebut riset karena belum survei secara umum.”

Beberapa mahasiswa yang mengikuti lomba esai tersebut cenderung merasa dirinya tidak berharga dan tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidupnya. “Biasanya karena tekanan. Ada juga karena kekerasan dalam rumah tangga.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Duh, Desentralisasi Sampah DIY Mundur Lagi Menjadi Mei 2024

Jogja
| Jum'at, 19 April 2024, 16:07 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement