Advertisement
Hati-Hati, Intoleransi Pasif Diyakini Tengah Menguat di Masyarakat Indonesia
Ilustrasi toleransi antar umat beragama. - JIBI
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA- Sikap intoleransi pasif saat ini diyakini tengah menguat di masyarakat.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menilai saat ini sikap intoleransi pasif di tengah masyarakat diam-diam makin menguat sehingga harus diantisipasi semua pihak.
Advertisement
"Sikap intoleransi pasif diam-diam menguat dan tidak terdeteksi karena yang dilihat adalah penyerangan rumah ibadah saja," kata Bonar, dalam diskusi bertajuk "Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Dinamikas Pilpres 2019" yang diselenggarakan Setara Institute di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Ia mencontohkan sikap tersebut dapat terlihat dengan sikap ekslusif yang ditunjukkan satu kelompok sehingga melahirkan polarisasi yang tajam di tengah masyarakat.
BACA JUGA
Menurut dia, sikap intoleranai pasif juga terlihat dengan sikap bahwa tafsir keagamaan yang mereka pahami adalah yang paling benar, takut, dan cemas melihat orang lain berbeda sehingga dikhawatirkan mengganggu posisi sosial mereka.
"Mereka juga iri melihat orang lain berbeda dan lebih baik serta maju. Sama halnya ketika Pilpres Amerika Serikat orang kulit putih Protestan merasa cemas dan khawatir dengan banyaknya imigran yang masuk dan beragama non-Protestan," ujarnya.
Selain itu, dia menilai pada Hari Toleransi tiap tanggal 16 November sudah saatnya parpol di Indonesia melindungi hak-hak warga negara, khususnya dalam kebebasan beragama.
Karena dia menilai isu toleransi dan kebebasan beragama di parpol, baru sebatas retorika, atau belum menjadi semangat utama untuk selalu diperjuangkan.
"Ketika Jokowi menjadi Presiden, muncul harapan ada perbaikan dalam isu toleransi dan kebebasan beragama. Namun, pada kenyataannya lain karena dalam politik kekuatan negosiasi lebih utama," katanya.
Bonar menilai isu toleransi dan keberagaman agama ada perbaikan pada era pemerintahan Jokowi, misalnya Menteri Agama Lukman Hakim mau mengajak dialog dengan kelompok-kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah,dan berinisiatif dialog antar-agama serta memfasilitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Namun, dia menilai di FKUB pun ada persoalan, seperti pemerintah daerah (pemda) bingung meletakkan posisi FKUB, khususnya terkait dengan anggarannya, sehingga ada yang mati suri karena ketiadaan anggaran.
"Kritik kepada Jokowi adalah enggan menyentuh kasus konflik untuk dicarikan solusi, misalnya kasus Ahmadiyah di Mataram yang sudah 10 tahun belum selesai, kelompok Syiah di Sidoardjo," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Pengadaan Lebih Inklusif, PBJ DIY Sosialisasikan Perpres 46 Tahun 2025
- Real Madrid Susah Payah Kalahkan Tim Divisi 3 di Copa del Rey
- DLH Bantul Terapkan Denda Lingkungan hingga Rp3 Miliar
- Jadwal DAMRI Jogja-Bandara YIA Kamis 18 Desember 2025
- Prabowo Gelar Ratas Tertutup di Sumbar Bersama TNI-Polri
- Libur Nataru, Malioboro Tetap Dibuka untuk Kendaraan
- 15 Jalur Trans Jogja Aktif, Ini Rute dan Tarif Terbarunya
Advertisement
Advertisement





