Advertisement

Kisah Soekarno dan Pohon Sukun, Ide Awal Lahirnya Pancasila

Newswire
Jum'at, 01 Juni 2018 - 16:50 WIB
Bhekti Suryani
Kisah Soekarno dan Pohon Sukun, Ide Awal Lahirnya Pancasila

Advertisement

Harianjogja.com, KUPANG - Pada 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila. Siapa sangka, ide Pancasila yang dicetuskan Presiden pertama Soekarno ternyata muncul dari hasil permenungan bapak proklamaotr Indonesia itu dari bawah pohon sukun.

Pohon Sukun, itu tanaman biasa yang bisa tumbuh di mana saja di bumi Indonesia. Tanaman itu selain ditanam di kebun, juga oleh warga ditanam di halaman rumah.

Advertisement

Berbeda dengan pohon sukun di tempat lain. Pohon Sukun yang ada di Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki nilai penting bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, pohon yang berada di jantung Kota Ende tepatnya di Kelurahan Kotaraja, Ende Utara yang kini telah menjadi taman Soekarno itu, menjadi pohon permenungan Presiden Pertama Indonesia Soekarno menemukan Pancasila, yang saat ini dijadikan sebagai dasar hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Di tengah pengasingan selama empat tahunnya di kabupaten dengan luas 2.046,6 km persegi itulah Pancasila ditemukan. Kisah pengasingan Soekarno bermula pada 14 Januari 1934, Bung Karno bersama sang istri, Inggit Garnasih serta ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami, tiba di rumah tahanan yang terletak di Kampung Ambugaga, Ende. Kehidupan Soekarno dan keluarga di Ende serba sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk politik seperti di kota besar.

Penjajah Belanda saat itu memang telah merencanakan membuang Soekarno ke daerah terpencil dengan penduduk berpendidikan rendah agar terputus hubungan Soekarno dengan para loyalisnya. Dalam buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara, di pengasingan atau pembuangan itu, malah membuat Soekarno lebih banyak berpikir daripada sebelumnya. Dia mulai mempelajari lebih jauh soal agama Islam hingga belajar soal pluralisme dengan bergaul bersama pastor-pastor di Ende.

Tak banyak yang bisa dilakukan Bung Karno di tempat pengasingan yang begitu jauh dari ibu kota itu. Saban hari, Soekarno hanya berkebun dan membaca termasuk juga memunculkan kembali jiwa seninya dengan melukis hinggga menulis naskah drama pementasan.

Soekarno juga dikisahkan terus mengirim surat dengan seorang tokoh Islam di Bandung bernama TA Hassan dan berdiskusi cukup sering dengan Pemuka Agama Katolik seorang pastor bernama Pater Huijtink. Aktivitas inilah lalu disebut menjadikan Soekarno lebih religius dan memaknai keberagaman secara lebih dalam.

Dia pun selalu berkontemplasi dan satu-satunya tempat favoritnya adalah Pohon Sukun itu yang saat ini disebut sebagai Pohon Pancasila. Pohon sukun itu letaknya di tengah Kota Ende dan berjarak sekitar 700 meter dari rumah kediamannya. Pohon ini juga berada persis menghadap ke Pantai Ende. Di tempat itulah, Soekarno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus.

Pada 1970 setelah sekian lama hidup, pohon sukun yang menjadi pohon inspirasi Soekarno menemukan Pancasila itu mati seturut usianya. Kemudian Pemerinitah Kabupaten Ende menggantinya dengan anakan pohon yang sama di lokasi yang sama dan saat ini disebut sebagai Pohon Pancasila dan dibangun Taman Soekarno. Tak sekadar pohon dan taman, Pancasila harus dihayati di tengah kehidupan nyata masyarakat.

"Kalau sekadar peringatan seremonial di setiap 1 Juni, saya kira hanya sebuah pepesan kosong," kata Seorang Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Nusa Tenggara Timur, Yopi Lati.

Menurut dia, di tengah karut-marut kondisi kebangsaan saat ini dimana paham radikal dan gerakan intoleransi mulai tumbuh, tak ada cara lain yang bisa kembali merekatkan dan menetralkan kondisi itu jika tidak melalui semangat dan kehidupan bernafas Pancasila.

Nasionalisme yang dimiliki setiap anak bangsa, harus benar-benar terpatri dalam setiap sanubari dan gagasan perjuangan generasi muda dan anak bangsa lainnya.

Dengan begitu pandangan kebhinekaan akan diperkuat sebagai satu kekayaan yang tak bisa dicerai beraikan untuk satu kepentingan suku, agama dan kelompok tertentu. Nilai luhur yang ada di dalam Pancasila itu sudah menjadi perekat yang sempurna bagi setiap anak bangsa di NKRI yang berbasis kepulauan ini.

"Pancasila sudah harga mati dan tidak bisa diutak-atik sekehendak kelompok manapun," katanya tegas.

Sebagai kaum muda, lanjut dia, nasionalisme berkebangsaan harus tetap berada di aras persatuan bangsa dalam nilai dasar Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila sebagai azasnya.

"Kita tak mungkin bisa terus bersatu sejak kemerdakaan 17 Agustus 1945 dengan kondisi keragaman suku, agama, adat, budaya dan bahasa yang ada, hanya Pancasila yang sanggup merekatkan kita sebagai anak bangsa yang satu di bawah merah putih dan ibu pertiwi," katanya.

Di konteks itulah, kaum muda diajak untuk terus mengembangkan cara pandangnya sebagai anak bangsa agar tidak terkotak-kotak dalam paham yang mencelakakan persatuan dan kesatuan. Dengan begitu kerekatan dan persaudaraan itu bisa terus dijaga.

Kini Kota Ende menjadi sejarah kisah tempat Bung Karno menemukan Pancasila sebagai dasar hidup dan falsafah bangsa Indonesia yang bisa mempersatukan keanekaragaman suku, bahasa, adat, agama dan budaya yang ada di nusantara ini.

"Karena itulah setiap menjelang 1 Juni Alumni GMNI selalu melakukan sejumlah aksi sosial, renungan dan diskusi tematik berkaitan dengan Pancasila dan nilai-nilainya untuk terus mengingatkan kita akan manifestasi nilai luhur dasar negara itu di tengah masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara," kata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Okezone

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

DPRD Minta Pemkab Bantul Turun Gunung untuk Selesaikan Polemik Sampah

Bantul
| Jum'at, 13 Juni 2025, 10:37 WIB

Advertisement

alt

Destinasi Wisata Puncak Sosok Bantul Kini Dilengkapi Balkon KAI

Wisata
| Jum'at, 06 Juni 2025, 16:02 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement