Advertisement

FEATURE: Anggi Ingin Disabilitas Tak Lagi Jadi Warga Kelas Dua

Bernadheta Dian Saraswati
Minggu, 09 Desember 2018 - 20:25 WIB
Budi Cahyana
FEATURE: Anggi Ingin Disabilitas Tak Lagi Jadi Warga Kelas Dua Anggiasari Puji Aryatie - Harian Jogja/Bernadheta Dian Saraswati

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Pesta demokrasi kali ini menjadi angin segar bagi Anggiasari Puji Aryatie. Dia adalah salah satu penyandang disabilitas yang akan ikut berebut suara pada Pemilu 2019 mendatang. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Bernadheta Dian Saraswati.

Suatu hari pada pertengahan tahun ini, Anggi kaget bukan kepalang. Ia mendapat panggilan telepon Ketua DPW Partai Nasdem DIY Subardi. Suara di seberang memintanya maju menjadi caleg.

Advertisement

“Saya dipinang sama Nasdem,” kata Anggi beberapa waktu lalu.

Perempuan 38 tahun itu sempat tak percaya karena dia adalah penyandang disabilitas dan yang menghubunginya adalah petinggi partai. Ia berpikir keras apakah tawaran untuk maju menjadi calon wakil rakyat di DPR dari Dapil DIY akan ia terima.

Tak butuh waktu lama bagi perempuan yang hobi masak ini untuk mengambil keputusan. Kata iya pun langsung disampaikan dan Anggi resmi menjadi caleg.

Perempuan yang kini tinggal di Klitren, Jogja, ini lahir sebagai orang pendek. Sejak kecil, dia kerap mendapat perlakuan diskriminatif.

“Suruh tes tangan menggapai telinga saja saya tidak sampai,” kata dia.

Anggi tergolong pribadi yang cerdas. Ia bisa menamatkan sekolah dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Ia juga tercatat sebagai lulusan Bahasa Perancis UGM dan S-1 STBA LIA. Hanya sekolah S-2 di Teologi UKDW yang belum sempat ia tuntaskan meski sudah menjalani tesis sampai bab III.

Pengalaman hidup sebagai seorang disabilitas yang sering dirundung, menjadi pusat perhatian, dan sering mendapatkan perlakuan tidak adil menguatkan dirinya untuk bergabung di sebuah LSM yang fokus pada disabilitas, gender, kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, pengurangan risiko bencana, sampai pendidikan inklusi.

Aktivitas itu membuatnya melek politik dan akhirnya beberapa kali ikut pertemuan Partai Nasdem. Ia ingin penyandang disabilitas di Indonesia tak lagi dipandang sebagai warga kelas dua sehingga mau menerima tawaran menjadi caleg Partai Nasdem.

Bagi dia, suara kaum disabilitas akan lebih didengar dan bisa mendorong perubahan kebijakan manakala disampaikan oleh kaum disabilitas.

“Suara jangan hanya dititipkan saja. Kami [kaum disabilitas] berhak menyuarakan langsung.”

Anggi adalah satu dari tiga caleg penyandang disabilitas di DIY. Dua penyandang disabilitas lainnya maju dari Partai Gerindra dan PSI.

Undang-Undang No.8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu telah mengatur kesamaan hak dan kesempatan bagi setiap warga negara, tak terkecuali penyandang disabilitas, untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Ketua Umum Pusat Pemilihan Umum Akses (PPUA) Disabilitas Ariani Soekanwo beberapa waktu lalu mengatakan caleg disabilitas di seluruh Indonesia mencapai 32. Sebagian besar caleg disabilitas menyandang disabilitas fisik, sementara hanya lima orang yang menyandang disabilitas penglihatan.

Pendidikan menjadi perhatian utama Anggi. dia meyakini difabel tidak seharusnya belajar di sekolah khusus dan harus berbaur dengan murid lainnya.

“Kalau sejak kecil kami dipisahkan dengan masyarakat, bagaimana nanti kami bisa masuk kembali ke masyarakat? Jangan sampai ada sekolah yang menolak penyandang disabilitas,” kata Anggi.

Saat ini, Anggi sibuk diskusi-diskusi untuk mengenalkan dirinya dengan konstituen. Ia juga membuka akun media sosial dan memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk menanyakan tentang visi misinya.

“Kadang sampai malam saya membalasi pertanyaan-pertanyaan itu,” tutur Anggi.

Didiskriminasi

Suara-suara penyandang disabilitas di parlemen sangat penting karena sampai sekarang lingkungan di Indonesia belum sepenuhnya ramah terhadap difabel. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) penyandang disabilitas mental yang paling sering menerima perlakuan tidak manusiawi dari orang-orang di sekitar mereka.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Mohammad Choirul Anam

mengatakan ada dua faktor yang menyebabkan perlakuan tidak manusiawi kepada penyandang disabilitas mental. Pertama, faktor keluarga. Kedua, terkait dengan belum maksimalnya implementasi UU tentang Penyandang Disabilitas. Ketika penyandang disbilitas mental dibuang oleh keluarganya, negara abai.

“Masih sering kita jumpai penyandang disabilitas mental telantar di jalan-jalan,” ujar Choirul, Senin (3/12/2018).

Komnas HAM melakukan observasi selama lima hari setiap satu lokasi di daerah tertentu. Observasi dilakukan di Brebes, Cilacap, Bantul dan Sleman.

Tim Komnas HAM mendatangi panti-panti rehabilitasi sosial yang berbentuk yayasan, pondon pesantren, dan yang dikelola perorangan.

“Penyandang disabilitas mental dianggap berbahaya kemudian cenderung melakukan kekerasan dan mengganggu orang lain serta dianggap menakutkan sehingga dijauhi,” kata dia.

Menurut Choirul, implementasi undang-undang belum berjalan sehingga penyandang disabilitas tidak terlindungi dari perilaku diskriminatif. Ini terbukti dengan peraturan pemerintah yang sampai hari ini tidak diselesaikan oleh berbagai kementerian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Eko Suwanto Ajak Masyarakat Gunakan Gadget Lebih Produktif Bukan Sekadar Jadi Konsumen Semata

Jogja
| Rabu, 08 Mei 2024, 18:32 WIB

Advertisement

alt

Grand Rohan Jogja Hadirkan Fasilitas Family Room untuk Liburan Bersama Keluarga

Wisata
| Senin, 06 Mei 2024, 10:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement