Advertisement

Kisah Pilu Fitria, Ibu Hamil yang Mendekam Dipenjara Setelah Dilaporkan Istri Jenderal

Newswire
Kamis, 23 Agustus 2018 - 21:00 WIB
Bhekti Suryani
Kisah Pilu Fitria, Ibu Hamil yang Mendekam Dipenjara Setelah Dilaporkan Istri Jenderal llustrasi penjara. - Harian Jogja

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA- Kisah pilu dialami Fitria, ibu hamil yang dipenjara setelah dilaporkan seorang istri jenderal.

Fitria, ibu berusia 22 tahun yang sedang hamil, terpaksa harus mendekam di blik tahanan polisi karena diperkarakan oleh istri jenderal bintang satu TNI berinisial DM.

Advertisement

Uli Pangaribuan, Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik yang menjadi pengacara Fitri menuturkan, Fitria dilaporkan ke polisi atas tuduhan melakukan penipuan.

”Awalnya, Fitria ini memunyai usaha penjualan baju batik sejak tahun 2012. Dia sempat membuka gerai batik di Thamrin City. Karena sewa kiosnya mahal, dia lantas mempromosikan batik melalui media sosial,” kata Uli, Kamis (23/8/2018).

Memasuki 2018, hasil produksi baju batiknya mendapat penghargaan dari Kementrian Perindustrian pada tahun 2018.

Namun, hasil susah payah Fitria itu berantakan ketika ia menerima pesanan dari si istri jenderal.

"DM memesan 10 baju batik senilai Rp 2,5 juta. Namun, sampai pada tenggat waktu pengiriman barang, Fitria tidak sanggup memenuhi pesanan dan bersedia mengembalikan dana," jelas Uli.

DM lantas mengultimatum Fitria untuk mengembalikan dana pemesanan itu dalam waktu 1 jam setelah pembatalan.

Walau keluarga Fitria bersedia mengembalikan uang tersebut, DM masih melaporkan Fitria dengan tuduhan melakukan penipuan dan penggelapan. Polisi bertindak cepat dengan menangkap dan menahan Fitria.

Fitria langsung dibawa ke Polsek Pinang Ranti, lalu dipindahkan ke Polsek Kebayoran Baru dan selanjutnya dibon ke Polsek Pondok Gede untuk pemberkasan.

Setelah berita acara pemeriksaannya selesai, polisi menahan Fitria sejak 4 Mei 2018. Ia lalu dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu.

Padahal, di hadapan penyidik, Fitria telah menandatanggani surat kesanggupannya untuk mengembalikan dana milik DM.

”Hasil investigasi kami, ada relasi kuasa yang timpang antara Fitri dan DM. Yang disebut belakangan, terindikasi menggunakan jabatan suaminya yang jenderal dalam memperkarakan Fitria,” tuturnya.

Dengan demikian, Uli menyebut peristiwa ini menggambarkan arogansi seseorang yang menggunakan kuasa guna memengaruhi proses penegakan hukum.

"Sikap otoritarian dalam kasus ini terjadi dalam beberapa peristiwa yang dapat diduga merupakan pelanggaran terhadap prinsip fair trial [peradilan yang adil dan tidak memihak]," kata dia.

Ia mengatakan, penjemputan Fitria dari rumah tinggalnya bukan dilakukan oleh pihak kepolisian,melainkan oleh orang yang mengakui diri sebagai ajudan pelapor.

”Jadi ada intimidasi dalam penangkapannya. Dia dijemput dengan alasan untuk mediasi di polsek. Tapi yang terjadi justru penahanan. Bahkan Fitria berkali-kali dipindahkan tanpa mengerti mengapa hal itu terjadi,” jelasnya.

“Fitria mendapatkan surat penahanan pada tanggal 4 Mei 2018 dari Polsek Pondok Gede, sementara sebelumnya dia dibawa ke Polsek Pinang Ranti, Polsek Kebayoran," jelas dia.

Labih lanjut ia mengatakan, Fitria tidak mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai dengan tanggal 6 Juni 2018, ketika LBH Apik memberikan penyuluhan di Rutan Pondok Bambu.

Padahal, Fitria buta hukum, rentan dan tengah hamil sehingga membutuhkan bantuan untuk memastikan hak-haknya terpenuhi.

"Kami menilai, penyidik tidak cermat dalam menganalisis peristiwa hukum. Pengenaan pasal-pasal pidana terhadap sesorang haruslah diperhatikan cermat oleh penyidik, karena azas hukum pidana adalah ‘ultimum remedium’, bukan sebaliknya, menggunakan hukum pidana sebagai senjata untuk menekan seseorang atau memenuhi kepentingan seseorang," papar dia.

Menurutnya, penerapan hukum pidana terhadap kasus Fitria merupakan pelanggaran terhadap hak sipil dan politik, di mana seseorang tidak boleh dipenjara lantaran gagal memenuhi prestasi dalam perjanjian.

"Selanjutnya kami menilai bahwa masuknya hukum pidana dalam hubungan kontraktual antara individu ataupun antara entitas bisnis menunjukan kediktatoran dan kesewenangan negara dalam proses penegakan hukum," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Suara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Cegah Kecurangan Pengisian BBM, Polres Kulonprogo Cek SPBU

Kulonprogo
| Jum'at, 29 Maret 2024, 14:37 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement