Advertisement

FEATURE: Menolak Kelompok Lain Lewat Lagu

Tim Lipsus Harian Jogja
Senin, 21 Mei 2018 - 11:25 WIB
Budi Cahyana
FEATURE: Menolak Kelompok Lain Lewat Lagu Spanduk peringatan radikalisme dipasang di Jl. Malioboro, Kota Jogja. - Antara/Andreas Fitri Atmoko

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJABibit-bibit intoleransi diajarkan di segelintir sekolah, dari tingkat paling dasar hingga menengah.

Erna (nama samaran), saat itu tengah duduk di serambi masjid setelah mengantarkan anaknya mengikuti taman pendidikan Alquran (TPA) rutin. Warga dusun tempatnya tinggal sudah memanggil ustazah khusus untuk mengisi kegiatan anak-anak di sana selama Ramadan. Dia berpikir daripada anaknya membuang-buang waktu saat libur Ramadan, lebih baik anaknya menambah pahala dengan belajar mengaji di masjid tersebut.

Advertisement

Anak saya di TK negeri, bukan TK Islam. Jadi pendidikan agamanya saya rasa enggak maksimal. Ya sudah, selama Ramadan ini saya suruh belajar di TPA biar ngaji-nya pintar,” kata Erna.

Setelah buka puasa hari pertama pada Rabu (16/5), Erna menanyakan kepada sang anak apa yang diajarkan ustazah di masjid tersebut. “Dia menyanyikan lagu yang belakangnya ada kafir-kafir no,” kata Erna saat ditemui Harian Jogja Jumat (18/5) sore.

Erna pun bertanya kepada sang anak apa yang dimaksud ustazah itu sebagai kafir. Sang anak menjabarkan definisi kafir, yakni adalah golongan yang tidak pernah berpuasa, tidak pernah salat, sehingga mereka penuh dosa. Meski begitu, ustazah mengajarkan anak untuk tetap membantu orang berbeda agama ketika dalam kesulitan.

Saya sih enggak masalah selama anak saya tidak berkelakuan negatif sama orang yang beda agama. Soalnya di rumah dari dulu selalu saya tekankan, ‘Mereka juga manusia, nduk’. Kita harus saling menghormati, tetap berteman baik,” kata Erna.

Menurut Erna, sang anak pasti akan lebih percaya ajaran orang tua sehingga nyanyian yang menolak kelompok lain hanya sebatas nyanyian.

Fenomena tersebut juga dialami Hani (nama samaran) dua tahun lalu. Dia menyekolahkan putranya di sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD). Lagu-lagu yang liriknya menolak kelompok lain pun diajarkan.

Saat sang anak bertanya definisi kafir, sang guru mengatakan jika manusia mempertontonkan aurat, dia akan seperti kafir. “Dulu dia kalau dijemput kakak laki-lakinya pakai celana pendek pasti dia marah. Kakaknya suruh pulang dulu ganti celana panjang. Katanya malu kakaknya memperlihatkan aurat betis dan dengkul,” ujar Hani.

Di beberapa sekolah dengan jenjang lebih tinggi, intoleransi bahkan sudah mengarah ke radikalisme keagamaan yang mengikis wawasan kebangsaan.

Salah seorang siswa kelas X di salah satu SMK di Bantul, Putra (bukan nama sebenarnya) mengatakan sekolahnya sudah jarang menggelar upacara bendera karena halaman sekolah terlalu sempit. “Dulu sempat giliran upacara, tetapi karena tidak efektif dan mengganggu konsentrasi pelajaran siswa yang tidak mengikuti upacara, sekolah menghapus upacara,” kata dia, Jumat.

Sebagai gantinya, sekolah mewajibkan siswa mengikuti apel setiap hari sebelum jam pelajaran dimulai. Apel ini lebih banyak diisi pembinaan hingga penekanan terhadap tata tertib sekolah. “Upacara bendera hanya dilakukan di waktu-waktu tertentu saja, seperti saat peringatan Hari Kemerdekaan,” kata dia.

Akibatnya, lagu kebangsaan sangat jarang dinyanyikan. “Belum tentu seminggu sekali,” ujar Putra.

Teman Putra, Budi (bukan nama sebenarnya) mengatakan sebagai sekolah berbasis keagamaan, tempatnya menimba ilmu banyak memberikan porsi kegiatan agama, sementara pelajaran tentang wawasan kebangsaan tidak banyak.

Tingkat SMA

Sementara, seorang siswa swasta di Kota Jogja mengaku diajarkan oleh gurunya untuk tidak menyetujui bom bunuh diri di Indonesia, tetapi membolehkan meledakkan diri di Timur Tengah. Siswa itu juga digiring untuk mempercayai gerombolan teroris di Indonesia adalah penganut Syiah.

Putri (bukan nama sebenarnya) adalah siswa kelas XI yang menuntut ilmu di sebuah sekolah yang mengadopsi sistem asrama. Di sekolahnya itu, ada sesi mentoring yang wajib diikuti semua murid sepekan sekali selama dua jam penuh.

Setiap pekan topik yang dibahas berbeda. Karena akhir-akhir ini marak terorisme, tema itulah yang menjadi bahan diskusi. Dengan dipandu seorang guru, siswa diminta membangun argumentasi sebelum akhirnya dikoreksi oleh sang guru.

Pada diskusi tersebut, ia menyimak betul apa yang disampaikan sang mentor tentang terorisme: mereka bukanlah Islam yang sebenarnya. Umat Islam yang sebenarnya tidak melakukan bom bunuh diri. Guru Putri menyebut pelaku teror, yang akhir-akhir ini marak di Indonesia, mulai dari Mako Brimob, Surabaya, Sidoarjo hingga Riau adalah penganut Syiah. Padahal, berdasarkan penyelidikan Polri, tak ada kaitan Syiah dengan terorisme yang merebak di berbagai wilayah pekan lalu.

Hal lain yang juga Putri yakini adalah berjihad di Palestina dan Suriah sebagai kebenaran karena di sana sedang diamuk perang. “Kalau meledakkan diri saat perang, pahalanya besar, karena bisa menyelamatkan banyak orang,” kata dia, Jumat.

Sekolah lain menerapkan aturan keagamaan yang sangat ketat, meski sekolah tersebut berstatus negeri. Wanda (bukan nama sebenarnya) adalah alumnus di sebuah SMA negeri di Kota Jogja. “Peraturan tentang agama ketat banget, enggak kayak sekolah negeri pada umumnya,” ujar dia melalui pesan singkat.

Salah satu contohnya adalah terkait pakaian. Siswi muslim wajib memakai jilbab, sedangkan siswi nonmuslim tak wajib pakai kerudung, tapi harus mengenakan rok dan baju lengan panjang. Menurut dia, banyak teman-temannya yang kurang nyaman dengan aturan ini.

Kepala Disdikpora DIY Kadarmanta Baskara Aji menegaskan hingga saat ini tidak ada di sekolah DIY yang harus ditangani khusus karena terpapar aliran radikalisme. Dia juga menyatakan seluruh sekolah bersedia melaksanakan upacara bendera. Namun, empat tahun lalu ada satu sekolah dasar di Kota Jogja yang tidak menggelar upacar bendera. Dinas kemudian turun tangan dan memberi pemahaman tentang kewajiban sekolah mengadakan upacara bendera.

Sekolah itu beralasan waktu itu tidak tahu kalau upacara bendera menjadi kewajiban,” ucap dia.

Aji menambahkan teguran akan diberikan kepada sekolah yang tidak menyelenggarakan upacara. Selain upacara bendera, sekolah juga kudu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya untuk menumbuhkan rasa kebangsaan. Banyak sekolah yang di awal dan akhir mata pelajaran terlebih dahulu memutar lagu kebangsaan. “Bendera merah putih dan garuda pancasila harus ada di ruang kelas,” ujar dia.

Kalau ada yang tidak upacara bendera laporkan ke kami, akan kami tindaklanjuti karena itu kewajiban.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pj Walikota Jogja Singgih Raharjo Maju Pilkada, Begini Respons Pemda DIY

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 14:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement