Advertisement

Data Jutaan Akun Facebook Bocor, Apa Risiko yang Kita Tanggung?

Budi Cahyana
Jum'at, 06 April 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
Data Jutaan Akun Facebook Bocor, Apa Risiko yang Kita Tanggung? Mark Zuckerberg, CEO Facebook - mashable

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Data satu juta akun Facebook di Indonesia bocor. Watak kita pun semakin terekspos. Keputusan yang akan kita ambil gampang ditebak dan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk memuluskan agenda mereka.
 
Kongkalikong Cambridge Analytica dengan tim kampanye Donald Trump saat mencuri data 50 juta pemakai Facebook diungkap Observer dan The New York Times akhir bulan lalu. Jutaan data itu kemudian diolah menggunakan algoritme yang memudahkan hulubalang Trump memengaruhi pilihan konstituen dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat.

Tiga tahun sebelumnya, The Guardian sudah membongkar cara Cambridge Analytica mengidentifikasi profil psikologis pemilih yang dikepul dari Facebook demi kepentingan kampanye Ted Cruz, kandidat Presiden Amerika Serikat.

Kamis (5/4/2018) kemarin, Mike Schroepfer, Chief Technology Officer Facebook Inc., mengeluarkan pengumuman. Data 87 juta akun medsos terpopuler ini bocor. Korban pembobolan paling banyak berasal dari Amerika Serikat (70,6 juta), disusul Filipina (1,1 juta), dan Indonesia (1,09 juta).
“Kami yakin informasi 87 pengguna Facebook sudah dibagikan secara lancung ke Cambridge Analytica,” kata Schroepfer.

Bos Facebook Inc., Mark Zuckerberg meminta maaf kepada dunia karena alpa melindungi privasi jutaan orang. “Saya bertanggung jawab penuh atas kekhilafan ini. Saya akan mengerahkan semua kemampuan terbaik untuk membereskan persoalan dan melangkah maju.”

Cambridge Analytica, melalui laman mereka, membantah tuduhan Facebook Inc. Perusahaan itu mengaku hanya menggunakan data 30 juta orang yang didapat dari Global Science Research (GSR), lembaga yang pernah menjadi mitra Facebook Inc. untuk membuat kuis kepribadian This is Your Dital Life. Dari tebak-tebakan karakter itulah GSR mendulang banyak informasi pengguna Facebook.

Cambridge Analytica mengklaim data 30 juta orang didapat secara legal. “Kami tidak menerima lebih banyak data lagi. Data lain dari GSR juga tidak kami pakai sebagaimana kami gunakan di Pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2016.”

Facebook sudah menuding dan Cambridge Analytica telah membantah, juga menjamin tak memakai data dari rekanan mereka untuk memengaruhi hasil pemilu di negara lain. Namun, rekam jejak Cambridge Analytica dalam menjalankan operasi pemenangan gaco mereka dalam sebuah pemungutan suara dan kecanggihan teknologi informasi tak semestinya dipandang sebelah mata.

Cambridge Analytica sangat piawai memanfaatkan informasi untuk kepentingan politik. Andilnya dalam mengantar Trump, politikus konservatif yang cenderung mengidap xenofobia, menonjol. Brittany Kaiser, mantan Direktur Pengembangan Bisnis Cambridge Analytica, beberapa hari lalu mengungkapkan rencana terperinci konsultan politik itu dalam memenangkan kandidat. Dia menyebutnya sebagai kampanye digital.

Metode yang dipakai adalah membuat 10.000 iklan kepada audiens yang sudah dikelompokkan menggunakan algoritme berbasis data pengguna Facebook. Publisitas itu disebarkan pada bulan-bulan menjelang pemungutan suara dan kemudian dilihat miliaran kali oleh pemilik hak suara. Advertensi politik umumnya berisi berita-berita yang menghancurkan kredibilitas Hillary Clinton sehingga calon pemilihnya berubah pikiran.

Manfaatkan Teknologi
Taktik yang dipakai Cambridge Analytica untuk menyetir keputusan politik khalayak mirip dengan modus biro iklan menawarkan dagangan klien. Mereka mengelompokkan audiens berdasarkan umur, jenis kelamin, level pendidikan, dan tebal tipisnya kantong untuk mengetahui karakter dan kecenderungan konstituen.

Tak ada peraturan yang dilanggar dari cara ini. Namun, Cambridge Analytica menggunakan satu elemen lagi untuk menerka pola pikir pemilih, yakni like yang dipencet pengguna Facebook.

Di sinilah persoalannya. Data like itu diperoleh secara ilegal, dengan kedok tebak-tebakan karakter, dan tanpa sepengetahuan Facebook Inc..

Cambridge Analytica memakai jasa Aleksandr Kogan, peneliti dan psikolog keturunan Rusia, yang bekerja untuk GSR. Kogan membuat tes kepribadian di Facebook yang diunduh 270.000 pengguna. Namun, data yang diambil Kogan tidak hanya dari para pengunduh aplikasi bikinannya, tetapi juga teman-teman mereka. Akhirnya, Kogan berhasil mengumpulkan data 50 juta akun dan menyerahkannya kepada Cambridge Analytica untuk diolah.



Sudah Dikaji
Langkah Cambridge Analytica memanfaatkan perangai pengguna Facebook benar-benar sangkil. Metode ini punya landasan ilmiah yang jelas. Menurut penelitian Wu Youyou, Michal Kosinski, dan David Stillwell (tiga ilmuwan dari Departemen Psikologi University of Cambridge dan Departemen Sains Komputer Stanford University) komputer lebih mampu memahami kepribadian seseorang dibandingkan dengan ayah, ibu, kakak, adik, maupun sohib dekat. Hasil studi yang dirilis jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada 2013 itu bahkan mengklaim hanya suami atau istri yang bisa menandingi akurasi komputer dalam menerka isi hati kita.

Ketiganya mengkaji cara komputer mengetahui benak seseorang berdasarkan apa yang mereka sukai di Facebook, yang kemudian diadopsi oleh Cambridge Analytica.

Penelitian itu menggunakan 300 like untuk menebak kepribadian seseorang. Sebagai perbandingan, Cambridge Analytica mengetahui puluhan juta like dari puluhan juta akun Facebook, jadi mudah saja bagi mereka menggolongkan preferensi politik publik Amerika Serikat.

“Pada masa depan, komputer dapat menyimpulkan sifat-sifat psikologis kita dan melahirkan mesin yang cerdas secara emosional dan terampil secara sosial. Imajinasi tentang interaksi manusia dan komputer seperti dalam film fiksi ilmiah berada dalam jangkauan kita,” ucap Wu Youyou, psikolog yang memimpin tim penelitian sembari merujuk pada Her, film tentang romansa pria introvert dengan mesin yang memiliki suara empuk perempuan.
 
“Kemampuan menilai kepribadian seseorang adalah komponen penting dalam kehidupan sosial, menjadi dasar bagi kita untuk memilih siapa yang akan kita cintai, siapa yang kita percayai, siapa yang akan kita rekrut sebagai rekan kerja, dan siapa yang akan kita pilih sebagai presiden,” ujar David Stillwell, pakar komputer dari Stanford University.

Penelitian ini juga menguak kelemahan terbesar dalam era digital, yakni betapa mudahnya kelompok manusia digiring menuju agenda tertentu. Dengan modal data bejibun, siapa pun bisa mengendalikan pilihan hidup banyak orang demi mengeruk keuntungan, menyebar kebaikan, atau bahkan menimbulkan kehancuran.

Michal Kosinski mengharapkan hasil studi ini menjadi alarm betapa pentingnya menjaga privasi.
“Kami harap developer teknologi maupun pengambil kebijakan tetap mendukung beleid perlindungan privasi dan memberi khalayak kontrol penuh atas jejak digital yang mereka tinggalkan.”

Lima tahun setelah merilis hasil kajian psikologi berdasarkan perilaku di Facebook, Kosinski dan Stillwell menolak disangkutpautkan dengan Cambridge Analytica.

Reputasi Buruk
Cambridge Analytica punya reputasi moncer dalam mengerek popularitas klien. Tidak hanya beroperasi di Amerika Serikat, firma ini juga punya pelanggan di beberapa negara, seperti Kenya, Brasil, Meksiko, India, Malaysia, dan Indonesia.  The Guardian melaporkan jasa Cambridge Analytica dipakai salah satu kelompok politik Indonesia untuk mempertahankan citra yang tergerus hebat pada 1999.

Setelah skandal pencurian data Facebook terkuak, satu per satu borok Cambridge Analytica terkuak. Sebuah video menunjukkan bagaimana Cambridge Analytica memainkan sentiman sekterian dalam Pemilihan Presiden Nigeria 2015. Alat yang dipakai adalah gambaran kekejaman pendukung syariat Islam.

“Video ini disebarkan di Nigeria untuk mengintimidasi pemilih. Kontennya penuh kekerasan dan berdarah-darah. Ada orang yang dikubur hidup-hidup. Pesan yang ingin disampaikan adalah mencitrakan Islam yang penuh kekerasan,” ujar Christopher Wylie, bekas pegawai Cambridge Analytica yang membocorkan patgulipat pencurian data Facebook kepada New Tork Times dan Observer.

Jasa Cambridge Analytica disewa tim pemenangan Goodluck Jonathan yang digalang seorang miliarder untuk mengalahkan Muhammadu Buhari. Juru bicara Cambridge Analytica mengatakan perusahaan sedang menyelidiki semua dugaan pelanggaran etik dan di masa lalu dan akan segera membereskannya.

Puasa Medsos
Informasi dari Facebook Inc. tentang pencurian data satu juta akun asal Indonesia bikin Pemerintah waswas. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memanggil perwakilan Facebook agar mengklarifikasi skandal ini. Dia bahkan meminta publik puasa medsos.

“Kalau tidak penting-penting amat, puasa dulu. Sampai kami rapikan ini,” ucap Rudiantara seusai bertemu dengan perwakilan Facebook Indonesia pada Kamis sore.

Dia mengimbau masyarakat yang terpaksa menggunakan medsos, terutama Facebook, memilih dan memilah dengan hati-hati dalam mengunggah data atau mengklik apa pun yang muncul di Facebook.
“Jangan asal accept,” kata Rudiantara sebagaimana dilaporkan wartawan Bisnis Indonesia, Dhiany Nadya Utami.

Dalam persamuhan itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika meminta Facebook sebagai penyelenggara sistem elektronik memenuhi Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Perlindungan Data Pribadi.
Pemerintah juga mendesak Facebook menonaktifkan segala bentuk kuis-kuisan yang tampaknya menyenangkan, tetapi penuh muslihat.

Advertisement

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Pemadaman Jaringan Listrik di Kota Jogja Hari Ini, Cek Lokasi Terdampak di Sini

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 06:27 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement