Advertisement

Perempuan Aceh dan Sumatera Rentan Kekerasan Saat Bencana

Bhekti Suryani
Kamis, 11 Desember 2025 - 17:17 WIB
Maya Herawati
Perempuan Aceh dan Sumatera Rentan Kekerasan Saat Bencana Foto udara pengendara melintasi jalan nasional Medan-Banda Aceh yang terendam banjir di Desa Peuribu, Arongan Lambalek, Aceh Barat, Aceh, Kamis (27/11/2025). Antara - Syifa Yulinnas

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Perempuan korban banjir dan tanah longsor di Aceh dan Sumatera menjadi kelompok paling terdampak dan rentan mengalami kekerasan berbasis gender di lokasi bencana. Data Komnas Perempuan 2024 mencatat lonjakan 41% kekerasan terhadap perempuan dalam dua tahun terakhir. Kondisi ini diperparah oleh budaya patriarki dan tata kelola lingkungan yang buruk.

Lonjakan ini dipicu oleh faktor kompleks, mulai dari kekerasan berbasis budaya seperti kawin tangkap hingga kebijakan struktural yang membuat perempuan rentan.

Advertisement

Perempuan di Aceh dan Sumatera telah menjadi korban kesalahan tata kelola lingkungan yang menyebabkan banjir besar. Farah dari LBH Banda Aceh menegaskan, dalam setiap bencana perempuan selalu menjadi kelompok paling terdampak namun paling tak terlihat. Data menunjukkan tren berulang sejak 2020: kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat signifikan saat bencana. Pola itu terkonfirmasi lagi hari ini. Di tengah tanggap darurat, LBH mendampingi kasus pelecehan seksual terhadap seorang mahasiswi yang mencari tempat aman sebagai bukti nyata bahwa kekerasan berbasis gender justru menguat dalam krisis.

Perempuan, meski sering absen dari data resmi, menanggung beban terberat. Mereka terpaksa minum air banjir, takut ke kamar mandi karena gelap hingga berisiko infeksi saluran kemih, dan kekurangan kebutuhan dasar seperti pembalut. Ibu menyusui, perempuan hamil, difabel, dan lansia makin terabaikan.

Budaya patriarki memperparah keadaan. Kebutuhan spesifik perempuan dianggap tak penting, bahkan pernah dijadikan bahan ejekan oleh laki-laki ketika dalam paket bantuan ada pakaian dalam perempuan. Beban domestik tetap membebani perempuan, sementara keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan minim. Trauma konflik Aceh juga kembali hidup oleh kehadiran aparat dan suara helikopter.

Farah menyerukan: “Suara perempuan Aceh harus didengar. Penanganan bencana harus berpihak pada perempuan dari layanan psiko-sosial, ruang aman, hingga pemenuhan kebutuhan spesifik. Bencana bukan alasan untuk membiarkan kekerasan dan ketidakadilan berulang.”

Webinar bertajuk “Indonesia Dalam Pusaran Darurat Kekerasan Terhadap Perempuan: Mengurai Kekerasan Struktural” ini menghadirkan praktisi lapangan dari tiga wilayah rawan: Farah dari LBH Banda Aceh yang melaporkan kerentanan ganda perempuan korban bencana banjir bandang dan revisi progresif Qanun Jinayat; Yustina Damadia dari SOPAN Sumba Tengah yang memaparkan upaya penghapusan praktik kawin tangkap melalui kesepakatan adat; serta Lola Fernandes dari CIS Timor yang mengangkat konflik antarumat beragama di perbatasan dan peran kunci perempuan dalam perdamaian. Perspektif media disampaikan oleh Bhekti dari AJI Yogyakarta yang mengkritik pemberitaan yang sering mengaburkan akar masalah kekerasan.

Data Komnas Perempuan 2024 yang dirujuk dalam diskusi menunjukkan kompleksitas masalah: dari total 330.097 kasus, kekerasan di ranah personal (KDRT) masih mendominasi (309.516 kasus), diikuti ranah publik (12.004 kasus) dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sebagai yang terbanyak. Tren kekerasan juga merentang pada kelompok rentan seperti perempuan disabilitas, minoritas seksual, dan perempuan adat.

Lola (CIS Timor) menyampaikan bahwa perempuan dan anak adalah kelompok paling rentan dalam konflik. Tantangan birokrasi, struktur budaya, dan lingkungan yang tidak mudah dalam komunitas juga muncul, seperti perasaan tersaingi ketika perempuan lebih vokal.

Hal yang sama juga dirasakan oleh Yustin dari SOPAN Sumba, “Struktur sosial budaya patriarkal yang kuat. Praktik tertentu (seperti kawin tangkap) dibenarkan atas nama adat, membuat ruang gerak perempuan dan anak sempit. Korban kekerasan yang melapor dianggap pemberontak.”

“Persoalan di Sumba, Aceh, atau perbatasan memiliki benang merah sama: budaya patriarki yang diperkuat sistem dan kebijakan tidak adil. Media harus berani menelisik ke jantung persoalan ini, bukan sekadar melaporkan kronologi,” tegas Bhekti (AJI Yogyakarta).

Webinar ini merupakan puncak dari Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) dan peringatan Hari HAM 2025 oleh YKPI, yang bertujuan memperkuat jejaring advokasi dan mendorong partisipasi publik, termasuk jurnalis dan anak muda, untuk membangun narasi perdamaian yang berpihak pada korban.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Pemkab Bantul Pangkas Anggaran Rp40 Juta per Padukuhan

Pemkab Bantul Pangkas Anggaran Rp40 Juta per Padukuhan

Bantul
| Kamis, 11 Desember 2025, 18:37 WIB

Advertisement

Pantai Lovina, Surga Wisata Lumba-lumba di Bali Utara

Pantai Lovina, Surga Wisata Lumba-lumba di Bali Utara

Wisata
| Rabu, 10 Desember 2025, 12:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement