Advertisement
Pemerintah Didesak Tetapkan Status Bencana Nasional Sumatera
Kondisi rumah warga yang terdampak banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Senin (1/12/2025). Antara - Yudi Manar
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA–Pemerintah diminta mempertimbangkan penetapan bencana nasional untuk Sumatera setelah bencana alam melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, untuk memastikan koordinasi penanganan lebih cepat dan terpadu.
Ketimpangan antara status administratif dan kondisi di lapangan memicu desakan agar pemerintah segera menetapkan darurat bencana nasional, sehingga koordinasi penanganan dapat lebih terpadu.
Advertisement
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai pemerintah harus segera mempertimbangkan status bencana nasional Sumatera terkait bencana yang melanda sejumlah wilayah.
Trubus menjelaskan bahwa secara fakta, Indonesia seharusnya telah mempertimbangkan status tersebut. Dia menyinggung pernyataan pemerintah sebelumnya bahwa anggaran untuk penanganan bencana tersedia.
BACA JUGA
“Anggarannya ada gitu kan. Ya jadi harusnya sudah naik ini nasional,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (3/12/2025).
Menurut Trubus, beberapa kepala daerah telah menyatakan tidak mampu menangani dampak bencana, termasuk tiga hingga empat daerah yang disebutkan dalam diskusi.
Dia menyinggung percakapannya dengan salah satu bupati di Tapanuli yang menggambarkan kondisi masyarakat masih terisolasi dan kesulitan mendapatkan makanan.
“Itu katanya kondisinya memang masih banyak masyarakat yang belum bisa makan karena kondisinya terisolir,” ucapnya.
Trubus juga menyebut bahwa anggota Bupati Tapanuli Tengah Masinton Pasaribu sempat dia hubungi, dan keduanya sepakat bahwa penetapan status bencana nasional dapat mempercepat penanganan terpadu di Sumatera.
“Pemerintah segera menetapkan itu bencana nasional sehingga penangannya terpadu cepat,” kata Trubus.
Namun, dia menegaskan bahwa penetapan bencana nasional mengikuti prosedur hukum yang ketat berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007.
Mekanisme tersebut mengharuskan pemerintah kabupaten/kota terlebih dahulu menyatakan status darurat dan ketidakmampuan menangani bencana. Jika tidak sanggup, pemerintah provinsi mengambil alih.
“Kalau Kabupaten/Kota nggak mampu, baru nanti Provinsi yang menangani. Kalau Provinsi juga menyatakan tidak sanggup, semuanya baru disampaikan kepada Presiden melalui BNPB,” jelasnya.
Trubus menilai rumitnya prosedur ini sering membuat penanganan bencana tidak optimal. Dia mencontohkan kasus Yogyakarta pada 2006 yang menelan lebih dari 6.000 korban, tetapi tidak pernah ditetapkan sebagai bencana nasional.
“Itu juga cuma ditangani oleh DIY, nggak sampai nasional,” katanya.
Kondisi di Sumatera dinilai serupa. Meskipun beberapa kabupaten menyatakan tidak sanggup, layanan publik di level provinsi masih berjalan sehingga pemerintah pusat belum melihat kebutuhan mendesak untuk menetapkan status nasional.
Trubus juga mengkritisi kurangnya inisiatif pemerintah daerah untuk menyampaikan situasi sebenarnya saat Presiden Prabowo Subianto berkunjung ke lokasi bencana. Menurutnya, momentum tersebut dapat digunakan untuk memastikan respons cepat pada masa “golden time”.
“Kenapa tidak disampaikan supaya golden time-nya itu nggak hilang,” katanya.
Dari sisi risiko ekonomi, Trubus menilai kekhawatiran terkait potensi dampak travel warning internasional terhadap pariwisata masuk akal, tetapi tidak seharusnya mengorbankan keselamatan warga.
Dia menjelaskan bahwa status bencana nasional akan mempermudah koordinasi, pengerahan aparat, serta pertanggungjawaban anggaran. Namun, dia juga mengakui adanya ketakutan kepala daerah terkait pengawasan ketat penggunaan dana.
Skema Alternatif
Trubus menekankan pemerintah dapat menempuh skema alternatif, yakni tetap menetapkan bencana sebagai bencana daerah tetapi dengan penanganan skala nasional Sumatera.
“Selama ini kan sudah koordinasi dengan pemerintah pusat. Artinya political will lah,” ucapnya.
Dia menyoroti kriteria penetapan bencana nasional dalam Pasal 7 Undang-Undang 24/2007 yang mencakup cakupan wilayah, jumlah korban, dan aspek lain, yang tetap diputuskan presiden setelah menerima masukan dari BNPB, kementerian terkait, dan gubernur.
Trubus menilai kondisi di Sumatera saat ini sudah mengkhawatirkan, termasuk banyak daerah terisolasi, infrastruktur putus, bantuan sulit masuk, serta laporan kampung hilang dan korban belum ditemukan.
“Banyak yang terisolir. Alat-alat berat nggak ada. Manusia sudah membusuk karena lebih dari 7 hari,” ungkapnya.
Dia menegaskan ketiga gubernur wilayah terdampak seharusnya duduk bersama menyatakan ketidakmampuan secara resmi agar prosedur administratif dapat berjalan.
Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Karuniana Dianta A. Sebayang, menilai langkah pemerintah mempertahankan status bencana daerah masih merupakan kebijakan seimbang antara aspek hukum, ekonomi, dan kebutuhan lapangan.
“Secara hukum, status tetap bencana daerah agar ekonomi dan pariwisata nasional aman. Secara fakta, bantuan turun all-out rasa nasional,” ujarnya.
Menurut Dianta, model Status Daerah, Rasa Nasional memungkinkan penanganan maksimal tanpa menimbulkan persepsi global bahwa Indonesia sedang mengalami bencana besar yang melumpuhkan negara.
Meski begitu, Dianta menilai pemerintah perlu segera mengambil keputusan strategis pasca bencana agar proses bantuan, evakuasi, dan koordinasi lintas sektor bisa berjalan lebih efektif.
“Yang terpenting adalah penyelamatan warga, percepatan evakuasi, dan memastikan akses logistik yang kini masih terhambat di banyak wilayah,” ucapnya.
Dianta menegaskan pemerintah harus memperhatikan tren green economics dan sustainability economics dalam merumuskan kebijakan penanganan bencana dan pengelolaan sumber daya alam. Investor global kini menuntut kepastian keberlanjutan pada setiap investasi di Indonesia.
“Yang harus dipahami pemerintah, tren Green Economics dan Sustainability Economics menjadi perhatian utama para investor hari ini. Karena para investor membutuhkan kepastian akan keberlanjutan investasinya,” kata Dianta.
Dianta menilai momentum bencana di Sumatera dan Aceh harus menjadi refleksi sekaligus pemicu evaluasi kebijakan tambang dan deforestasi. Kerusakan lingkungan yang tidak terkendali dapat memperburuk dampak bencana sekaligus merusak kepercayaan investor.
Ke depan, Dianta menekankan fokus penanganan tidak boleh berhenti pada penyelamatan korban.
“Masalah bencana bukan hanya selamat dari bencana, tetapi setelah terjadi bencana, apa peran pemerintah. Bagaimana membantu masyarakat terdampak kembali beraktivitas dan mendorong perekonomian setempat,” tuturnya.
Dia menilai skema pendanaan yang kuat, koordinasi pusat-daerah, serta keberlanjutan lingkungan adalah tiga fondasi utama pemulihan bencana nasional Sumatera.
Dianta juga menyoroti pentingnya memastikan perusahaan, terutama sektor ekstraktif, menjalankan aturan keberlanjutan pemerintah.
“Selain evaluasi, juga apakah perusahaan-perusahaan telah menjalankan aturan yang berlaku. Jangan sampai Indonesia Emas 2045 hanya didorong dengan mengorbankan seluruh sumber daya alam. Setelah 2045, Indonesia menjadi Indonesia Gelap 2065,” tegas Dianta.
Aktivitas memperkuat koordinasi dan sumber daya untuk percepatan pemulihan pasca bencana, khususnya dalam konteks bencana nasional Sumatera, agar masyarakat terdampak dapat segera kembali beraktivitas dan perekonomian lokal pulih lebih cepat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Polresta Jogja Ungkap Kronologi Pembunuhan Pria di Wirobrajan
Advertisement
KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona
Advertisement
Berita Populer
- Relokasi Makam Terdampak Tol Jogja-Solo Dimulai Pekan Ini
- Uang Kerap Jadi Pereda Emosi, Psikolog Ungkap Dampaknya
- Waspada Bencana Hidrometeorologi, DPRD DIY Pastikan Dana Darurat Siap
- Tahun Kuda Api 2026: Asal Usul Shio dan Pengaruh Energi
- PBNU Bantah Isu Dana, Tegaskan Kerja Sama Resmi dengan CSCV
- All New Honda Vario 125 Terbaru Hadir dengan Desain Sporty
- Parkir Liar di Malioboro Full Pedestrian, Pemkot Jogja Segera Evaluasi
Advertisement
Advertisement



