Advertisement
Bangladesh Masih Mencekam, Begini Kronologinya
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Kondisi di Dhaka, Ibu Kota Bangladesh hingga kini masih mencekam sejak aksi protes mahasiswa pecah pada pekan lalu dan memicu respons penuh kekerasan dari kelompok sipil dan militer setempat.
Aksi kekerasan untuk menghentikan demonstrasi mahasiswa di sejumlah universitas di Dhaka telah menyebabkan 75 orang tewas, per Sabtu (20/7/2024).
Advertisement
Alhasil, Pemerintah Bangladesh memberlakukan jam malam di seluruh negeri dan mengerahkan pasukan untuk mengamankan berbagai wilayah. Jam malam diberlakukan sejak Jumat (19/7/2024) malam.
Selain itu, jaringan broadband dan Internet seluler telah dihentikan di seluruh Bangladesh sejak Kamis (18/7/2024). Seorang penduduk lokal dari luar Dhaka mengatakan kepada Anadolu melalui telepon bahwa situasi di ibu kota tidak menentu dan tegang dengan adanya laporan bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan. "Pemerintah tampaknya tidak bisa mengendalikan situasi," kata warga lokal yang enggan disebutkan namanya itu.
Nasib WNI
Adapun, lebih dari 2.000 orang terluka dalam aksi kekerasan yang merebak di seluruh Bangladesh itu. Di tengah kondisi itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI telah mengimbau komunitas warga negara Indonesia (WNI) untuk tetap waspada, menghindari kerumunan massa, mematuhi arahan dari otoritas setempat dan segera menghubungi hotline KBRI Dhaka jika menghadapi situasi darurat.
Berdasarkan data lapor diri, KBRI Dhaka mencatat terdapat 563 WNI yang menetap di Bangladesh. KBRI Dhaka pun memastikan kondisi WNI di Bangladesh masih aman. "Hingga saat ini kondisi mereka tetap aman dan selamat," katanya, pada Jumat (19/7/2024).
Lantas, apa yang memicu aksi demonstrasi dan kekerasan di negara berpopulasi 170 juta jiwa itu?
Baca juga: Kerusuhan di Bangladesh, KBRI Dhaka Pantau Kondisi WNI
Demonstrasi mahasiswa dimulai sejak Juni 2024 dan dipicu oleh putusan Pengadilan Tinggi Bangladesh yang menerapkan kembali sistem kuota untuk pekerjaan di pemerintahan atau setara pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia.
Kebijakan sistem kuota ini memberikan alokasi sekitar 30% dari 56% kuota PNS negara tersebut kepada putra dan cucu mereka yang berpartisipasi dalam perang pembebasan Bangladesh pada 1971.
Kebijakan ini sebenarnya telah dihapuskan oleh pemerintahan Perdana Menteri Sheikh Hasina pada 2018.
Namun, putusan Pengadilan Tinggi Bangladesh akhirnya membatalkan keputusan pemerintah untuk menghapuskannya. Oleh karena itu, Pemerintah Bangladesh mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tinggi tersebut. Mahkamah Agung Bangladesh pun menangguhkan perintah Pengadilan Tinggi dan menetapkan tanggal 7 Agustus untuk mendengarkan keberatan pemerintah.
Di sisi lain, para mahasiswa dan para pengunjuk rasa terus melakukan aksi untuk menuntut negara berhenti menyisihkan kuota khusus 30% bagi keluarga pejuang perang kemerdekaan Pakistan. Apalagi, saat ini angka pengangguran di Bangladesh sangat tinggi dengan hampir satu perlima dari total populasi negara itu tidak sekolah atau tidak bekerja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Sekjen PBB Kutuk Israel karena Melarang UNWRA di Palestina
- Suswono Cagub Nomor 1 Pilkada Jakarta Dilaporkan ke Polisi, Dianggap Merendahkan Nabi Muhammad
- Pengungsi Rohingya di Aceh Jadi Peristiwa Terkuaknya Kasus Perdagangan Orang
- Klarifikasi Kemenkeu soal Pernyataan Anggito Terkait Mobil Maung untuk Menteri dan Pejabat Eselon I
- Mantan Presiden Dibolehkan Jadi Juru Kampanye, Jokowi Jadi Jurkam di Pilkada?
Advertisement
Jadwal Layanan SIM Keliling Gunungkidul Rabu 30 Oktober 2024
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Hujan Guyur Sebagian Kota Besar Hari Ini
- Di Persidangan, Kuasa Hukum Guru Honorer Supriyani Ungkap Permintaan Rp50 Juta Aparat Kepolisian
- Israel Serang Iran, DK PBB Gelar Sidang Darurat
- Komisi VII Minta Menag Nasaruddin Umar Jalin Hubungan Baik dengan DPR
- Korban Tewas Akibat Serangan Israel ke Lebanon Capai 2.710 Orang
- PAFI Bitung Perkuat Sektor Kesehatan Melalui Apoteker
- Korban Tewas di Gaza Lebih dari 43.000 Orang, Joe Biden Baru Bilang Perang Harus Diakhiri
Advertisement
Advertisement