Advertisement
4 Faktor Penyebab Ini Bikin Laporan Kasus Penyiksaan di LPSK Minim

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai ada empat faktor yang memengaruhi minimnya laporan kasus penyiksaan. Kini LPSK meneliti persoalan ini lebih mendalam.
“Kami menemukan terdapat empat faktor yang memengaruhi minimnya pelaporan itu," ucap Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution di Jakarta, Senin (20/11/2023).
Advertisement
Baca Juga: LPSK Mencatat 20 Perkara di DIY Diajukan Restitusi, Paling Tinggi Rp100 Juta
Dia menyebut faktor pertama adanya masalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tidak mengenal istilah penyiksaan, akan tetapi yang ada hanya terkait dengan kekerasan.
“Mekanisme penyelesaian oleh aparat penegak hukum itu dengan mekanisme kekerasan, padahal dua hal ini substansinya berbeda,” ujarnya.
Penyiksaan, kata dia, kekerasan dilakukan aparat penegak hukum atau aparat negara untuk menggali informasi atau pengakuan dari seseorang, sedangkan kekerasan tindakan penganiayaan yang umum terlihat.
Ia mencontohkan tindakan kekerasan terjadi pada tukang ojek yang saling memukul, sedangkan penyiksaan dicontohkan terhadap seorang mahasiswa yang unjuk rasa kemudian ditangkap dan ketika di kantor aparat kakinya diinjak, disulut dengan sebatang rokok, atau disiram dengan air keras, bahkan sengaja disetrum agar mengakui suatu perbuatan.
Baca Juga: LPSK Tetapkan Restitusi Korban David Ozora Senilai Lebih Rp100 Miliar
Faktor kedua, kata dia, adanya masalah di aparat penegak hukum yang masih menggunakan paradigma lama dalam menangani tindakan kejahatan.
“Penegak hukum ini keliru melihat terdakwa atau orang yang diduga melakukan kejahatan, jadi masih ada menganggap penanganan menggunakan kekerasan itu wajar karena yang ditangani adalah para pelaku kejahatan,” ucapnya.
Ia menyebut faktor ketiga berupa rasa putus asa masyarakat yang menganggap bahwa upaya melapor sebagai tindakan percuma mengingat banyak persoalan berujung penyelesaian secara internal.
“Yang keempat ini adalah masih adanya politik impunitas pada kasus yang melibatkan aktor negara pada pelanggaran HAM berat seperti terorisme dan korupsi misalnya, itu tidak diadili,” kata Nasution.
Baca Juga: Pentingnya Restitusi bagi Korban TPPO, Ini Penjelasan LPSK
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebut 7.777 permohonan perlindungan pada 2022 di antaranya 21 kasus terkait dengan penyiksaan yang terdiri atas 17 dewasa dan empat anak.
“Ini artinya bahwa tidak semua korban penyiksaan berani bersuara dan melapor, ini seperti fenomena gunung es,” kata dia.
Ia mengemukakan pengaduan 21 perlindungan terkait dengan kasus penyiksaan tersebut bukan angka sebenarnya, melainkan masih banyak masyarakat yang menjadi korban tindakan tersebut akan tetapi enggan melapor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Tok! Bunga KPR Subsidi Tetap 5 Persen
- Kuasa Hukum Ungkap Banyak Kejanggalan Terkait Kasus Pembunuhan Kacab Bank
- Daftar Lengkap Menteri dan Wamen Baru di Kabinet Merah Putih Prabowo
- Reshuffle Kabinet Prabowo, Ini Daftar Menteri dan Pejabat Baru
- Farida Farichah, Aktivis NU Berusia 39 Tahun yang Jadi Wamenkop
Advertisement

PPPK Paruh Waktu Pertanyakan Syarat Pendidikan Berubah-ubah
Advertisement

Pemkab Boyolali Bangun Pedestrian Mirip Kawasan Malioboro Jogja
Advertisement
Berita Populer
- 7 Tuntutan Demo Ojol Hari Ini, Hapus Multi Order hingga Copot Menhub
- Tiga Tersangka Korupsi Sritex Dilimpahkan ke Kejari Surakarta
- Kawal Demo Pengemudi Ojol, 6.118 Personel Gabungan Dikerahkan
- Kecelakaan Maut di Lereng Gunung Bromo, Jalur Penyelamat Perlu Ditambah
- Zulhas Dorong Pembentukan Kopdes Merah Putih di Pesantren
- Lelang KPK Terhadap Barang Rampasan Digelar, Ini Linknya
- Prabowo Dikabarkan Gelar Pelantikan Menteri Hari Ini
Advertisement
Advertisement