Pemerintah Sebut Korban Kasus Pelanggaran HAM 1965 di Luar Negeri Bukan Pengkhianat
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Pemerintah Indonesia menyatakan 39 korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang terasing atau eksil dan masih berada di luar negeri sejak situasi politik tahun 1965, bukan merupakan pengkhianat negara.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan Presiden Joko Widodo akan mengumumkan hal tersebut saat peluncuran Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-Yudisial pada Juni mendatang.
Advertisement
"Nanti akan kami cek satu per satu, meskipun mereka memang tidak mau pulang. Tidak mau pulang, tetapi mereka ini akan kami nyatakan sebagai warga negara yang tidak pernah mengkhianati negara," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (2/5).
Dia menjelaskan bahwa 19 pejabat setingkat menteri dan kepala lembaga pemerintah non-kementerian akan melakukan berbagai langkah percepatan terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non-yudisial, termasuk pernyataan bahwa para korban kasus pelanggaran HAM berat yang eksil itu bukan pengkhianat negara.
BACA JUGA: Beredar Gambar Hoaks Ganjar Pranowo Peluk Miyabi
Menurut Mahfud, para korban pelanggaran HAM, yang tidak terlibat Gerakan 30 September atau G30S pada tahun 1965, berada di luar negeri hingga kini karena tidak boleh pulang ke Tanah Air.
Dahulu, mereka sebagian merupakan warga negara Indonesia (WNI) yang dikirim Presiden Soekarno ke berbagai negara di Eropa hingga China untuk melanjutkan pendidikan. Saat peristiwa G30S terjadi, mereka tidak diizinkan untuk kembali ke Indonesia usai mengenyam pendidikan.
"Mereka ini masih ada beberapa di luar negeri, nanti akan kami undang. Mereka ini bukan anggota PKI. Mereka ini korban karena disekolahkan lalu tidak boleh pulang," kata Mahfud.
Presiden ke-3 RI B.J. Habibie juga merupakan salah satu korban pengasingan peristiwa G30S. Mahfud mengatakan bahwa Habibie mendapatkan gelar magister pada tahun 1963 dan gelar doktor pada akhir tahun 1965.
Habibie pun termasuk WNI yang tidak dibolehkan kembali ke Indonesia saat itu. Namun, tahun 1974, Habibie bertemu Presiden Soeharto di Jerman.
"Oleh Pak Harto, [Habibie] diajak pulang dan jadilah dia orang besar yang kemudian jadi presiden. Korban [kasus pelanggaran HAM] yang seperti ini, orang yang sekolah, bukan terlibat Gerakan 30 September. Hanya disekolahkan saja, sekarang masih ada di luar negeri," jelasnya.
Dia menambahkan bahwa pengkhianatan terhadap negara akibat peristiwa G30S sudah selesai di pengadilan dan era reformasi. "Sudah selesai di era reformasi di mana screening dan sebagainya dihapus dan kemudian semua warga negara [termasuk korban kasus pelanggaran HAM] diberi hak yang sama di depan hukum dan pemerintahan," ujar Mahfud.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Terkait Pemulangan Mary Jane, Filipina Sebut Indonesia Tidak Minta Imbalan
- Polisi Tembak Polisi hingga Tewas di Solok, Polda Sumbar Dalami Motifnya
- Eks Bupati Biak Ditangkap Terkait Kasus Pelecehan Anak di Bawah Umur
- Profil dan Harta Kekayaan Setyo Budiyanto, Jenderal Polisi yang Jadi Ketua KPK Periode 2024-2029
- Pakar Hukum Pidana Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Masih Prematur
Advertisement
Status Siaga Darurat Bencana DIY Diperpanjang hingga 2 Januari 2025
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- 8 Terduga Teroris Ditangkap, Terkait dengan NII
- Dugaan Suap ke Sahbirin Noor, KPK Periksa Empat Saksi
- Desk Pemberantasan Judi Online Ajukan Pemblokiran 651 Rekening Bank
- Diskop UKM DIY Raih Juara III Kompetisi Sinopadik 2024 di Palangkaraya
- Ketua MPR: Presiden Prabowo Disegani Saat Tampil di G20 Paparkan Hilirisasi SDA
- BRIN Usulkan Pemanfaatan Data Satelit dan Kecerdasan Buatan untuk Penanganan Bencana
- Anies Baswedan Diprediksi Mampu Dongkrak Elektabilitas Pramono Anung-Rano Karno
Advertisement
Advertisement