Advertisement
Parah! Aktivitas Ekonomi Ilegal RI Diyakini Tembus Rp1.697 Triliun

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA—Pusat Pelaporan dan Analisis Transisi Keuangan (PPATK) mencatat bahwa praktik shadow economy menjadi tantangan bagi pemerintah saat ini.
Apalagi menurut perkiraan lembaga intelijen keuangan tersebut nilai shadow economy tercatat mencapai 8,3 persen sampai dengan 10 persen dari produk domestik bruto (PDB)
Artinya jika pada kuartal III/2022 kemarin PDB mencapai Rp5.091 triliun, nilai shadow economy di Indonesia sekitar Rp417,4 triliun sampai dengan Rp509,1 triliun atau cukup untuk membangun ibu kota negara (IKN) Nusantara yang membutuhkan anggaran senilai Rp466 triliun.
Sementara itu jika mengacu kepada data realisasi PDB 2021 yang mencapai Rp16.970, maka nilai aktivitas ekonomi ilegal atau shadow economy maksimal mencapai Rp1.697 triliun.
Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fithriadi Mulisim memaparkan bahwa kondisi shadow economy ini membuat kondisi perekonomian menjadi terdistorsi dan tumbuh di bawah potensi rill.
Dia menjelaskan jika aktivitas ekonomi dapat terdata dengan baik dan menghilangkan semua produk shadow economy, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat tumbuh lebih tinggi dalam 20 tahun terakhir.
Upaya mengatasi shadow economy tersebut dapat diatasi dengan menetapkan langkah yang tepat dan sistemik, serta sinergisitas antara pemangku kepentingan.
BACA JUGA: Siswa SMP Asal Sleman Kesurupan Massal saat Berwisata di Bali
“PPATK meyakini dengan penanganan shadow economy dan tindak pidana ekonomi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan” jelas Fithriadi dilansir dari Laporan Semester 1/2022 yang dipublikasikan PPATK, dikutip Selasa (13/12/2022).
Dalam catatan sejumlah sumber shadow economy bisa diartikan sebagai aktivitas ekonomi secara ilegal. Aktivitas tersebut mencakup penyelundupan, perjudian, prostitusi, hingga peredaran dan jual beli narkoba.
Namun demikian, shadow economy bisa saja muncul dari proses atau aktivitas ekonomi yang legal. Hanya saja berapa pendapatan dan atau hasil usaha itu tidak pernah dilaporkan, sehingga tidak pernah terjamah oleh otoritas pajak.
Tindak Pidana
PPATK melaporkan bahwa selama semester 1/2022 mereka telah menyampaikan 137 Hasil Analisis/Pemeriksaan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait indikasi dugaan tindak pidana di bidang perpajakan oleh wajib pajak Indonesia, baik secara proaktif maupun atas permintaan DJP.
Penyampaian data atau informasi selama periode tersebut telah menghasilkan potensi penerimaan negara sebesar Rp3,2 triliun. Selain itu terdapat potensi penerimaan negara dari dua Hasil Pemeriksaan PPATK yang telah berkekuatan hukum tetap.
Putusan atas dua Hasil Pemeriksaan tersebut telah berkontribusi pada penerimaan negara dari denda sebesar Rp1 miliar, uang pengganti kerugian negara sebesat Rp10,6 miliar dan 1.09 juta dolar Singapura.
Sekian itu ada juga penyitaan aset Obligor BLBI berupa tanah dan bangunan atas seluas total keseluruhan 89,01 Hektar dengan total nilai aset diperkirakansekitar Rp2 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
- Dikenal Garang, Zlatan Ibrahimovic Nangis saat Memutuskan Pensiun
- Covid-19 Selesai! Menkeu Sebut Indonesia Harus Siap Hadapi Pandemi Lainnya
- Tokoh Bali bakal Gugat Gubernur Wayan Koster Jika Terbit Perda Larangan Mendaki
- Kompak! Seluruh Fraksi DPRD Grobogan Setujui Raperda Pajak dan Retribusi Daerah
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement

Pengin Nikmati Air Terjun Swiss dan Kebun Tulip ala Belanda, Objek Wisata Ini Cocok untuk Anda
Advertisement
Berita Populer
- Denny Indrayana Dilaporkan ke Bareskrim, Sebut Siap Melawan
- Belum Menentukan Tempat Berlabuh di Parpol, Sandiaga Uno: Masih Jomblo
- Ketemu PDIP dan PAN, Ini Komentar Airlangga Hartarto
- Penerbangan Haji Sudah 15 Kali Delay, Kemenag Semprit Garuda dan Saudia Airlines
- Sistem Pemilu 2024, Golkar Yakin Mahkamah Konsitusi Objektif
- Faisal Basri: Pak Jokowi Sebaiknya Fokus Tidak Menambah Buruk Kondisi
- Nilai Pencucian Uang Rafael Alun Hampir Rp100 Miliar, Mayoritas Properti
Advertisement
Advertisement