Advertisement
Perang Rusia-Ukraina Akibatkan Krisis Energi & Pangan
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dan Menteri Keuangan AS Janet Yellen di agenda pertemuan bilateran Indonesia-AS di sela-sela Finance Minister and Central Bank Governors (FMCBG) G20 Nusa Dua, Bali (16/7/2022) - Antara
Advertisement
Harianjogja.com, BALI – Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen sama-sama berpendapat perang antara Rusia-Ukraina menjadi penyebab krisis pangan dan energi yang terjadi saat ini.
Dalam pertemuan bilateral fisik di Nusa Dua Bali, Jumat (15/7/2022), keduanya menyatakan dampak yang ditimbulkan dari konflik di Ukraina menjadi salah satu pemicu melambungnya harga energi dunia, dan menyebabkan munculnya tantangan pada perekonomian global.
Advertisement
“Kami berdua sepakat bahwa penyebab krisis pangan dan energi yang terjadi merupakan konsekuensi dari isu geopolitik yang belum mengalami de-eskalasi,” ujar Sri Mulyani.
Untuk mengatasi hal tersebut, dia menyatakan berbagai opsi kebijakan perlu didiskusikan agar pasokan minyak dunia tetap terjaga dan harga minyak dapat kembali kepada level sebelum konflik. Selain itu, penanganan krisis pangan dan energi harus segera diakselerasi.
Sri Mulyani sebelumnya menuturkan harga komoditas energi global berubah secara ekstrem. Hal ini pun menjadi ancaman perekonomian, sekaligus memengaruhi arah perbaikan ekonomi dunia.
Menurutnya, situasi ekstrem ini tercermin dari kenaikan harga minyak mentah yang meningkat 350 persen dalam kurun dua tahun. Peningkatan terbesar untuk periode dua tahun sejak 1997. Sementara itu, harga gas alam di Eropa meningkat 60 persen dalam dua pekan.
Sementara itu, dalam konferensi pers di Nusa Dua, Bali, Kamis (14/7), Yellen menyatakan bahwa kondisi yang terjadi hari ini merupakan efek negatif dari invasi yang dilakukan Rusia. Kondisi tersebut lantas membuat harga energi melambung dan meningkatnya kerawanan pangan.
“Tantangan terbesar hari ini datang dari tindakan ilegal Rusia dalam perang tak beralasan melawan Ukraina. Kami melihat efek negatif dari perang itu di setiap sudut dunia, terutama terkait dengan harga energi yang lebih tinggi, dan meningkatnya kerawanan pangan,” ujarnya.
Menurut Yellen, dampak tersebut juga tercermin dari data Departemen Tenaga Kerja AS yang menunjukkan bahwa indeks harga konsumen (CPI) AS naik 9,1 persen pada Juni 2022. Ini merupakan lonjakan terbesar sejak 1981.
Dibandingkan bulan sebelumnya, CPI AS naik menjadi 1,3 persen atau terbesar sejak 2005. Adapun CPI inti, yang menghilangkan komponen makanan dan energi yang lebih mudah berubah, naik sebesar 0,7 persen secara bulanan dan 5,9 persen secara tahunan.
Angka inflasi ini berada di atas median proyeksi ekonom dalam survei Bloomberg yang memperkirakan CPI AS naik 8,8 persen pada Juni. Sementara itu, jika dibandingkan Mei, CPI sebelumnya diperkirakan naik 1,1 persen dan CPI inti diperkirakan naik 0,5 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Konser Amal di Tangerang Galang Rp1,3 Miliar untuk Sumatera dan Aceh
- Musim Flu AS Catat 2,9 Juta Kasus, 1.200 Orang Meninggal
- Korupsi Kepala Daerah Masih Terjadi, Pakar Nilai Retret Bukan Solusi
- PBB Desak Israel Buka Akses Bantuan, Palestina Angkat Bicara
- Langgar VoA, Imigrasi Bali Deportasi Bintang Porno Asal Inggris
Advertisement
Lima KK Transmigran Kulonprogo Berangkat ke Poso 19 Desember
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Khasiat Brokoli Dukung Daya Ingat dan Kesehatan Otak
- Kementerian Komdigi Siapkan Genset Pulihkan Jaringan Telekomunikasi
- Tips untuk Investor Pemula Bisa Investasi Perak secara Aman
- Laga Awal, Tim Basket Putri Indonesia Menang Telak pada SEA Games 2025
- KONI DIY Dorong Pengelolaan Dana Cabor Profesional dan Transparan
- Kondisi Puluhan Siswa Korban Kecelakaan MBG Membaik
- Data Terbaru, Korban Meninggal Bencana Sumatera Utara 348 Orang
Advertisement
Advertisement




