PPKM Darurat Dinilai Tak Efektif, Ini Kritik ke Pemerintah
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat yang diterapkan di Jawa dan Bali dari 3 sampai dengan 20 Juli 2021, dinilai tidak efektif untuk meredam lonjakan kasus Covid-19 akibat varian Delta.
Pakar kebijakan publik dan pendiri Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menegaskan PPKM darurat tidak efektif untuk mengatasi krisis tersebut karena pemerintah tidak memaksimalkan tiga instrumen kekuasaan yaitu instrumen law enforcement (penegakan hukum), instrumen keuangan dan instrumen leadership (kepemimpinan).
Advertisement
Dia mengatakan indikasi kegagalan tersebut terlihat dari belum adanya perubahan atau perbedaan dari situasi dan kondisi setelah empat hari dilaksanakannya PPKM darurat.
“PPKM Darurat sudah berjalan 4 hari sejak 3 Juli namun belum mampu menghentikan laju kematian dan laju kasus aktif Covid-19. Laju kesembuhan belum juga menunjukan level normal sebelum PPKM darurat,” ujar Achmad dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis-jaringan Harianjogja.com, Selasa (6/7/2021).
Dia menjelaskan mengapa pemerintah dinilai tidak memaksimalkan tiga instrumen kekuasaan tersebut. Pertama, PPKM darurat di Jawa dan Bali dirasa kurang disertai dengan instrumen penegakan hukum jika dibandingkan dengan PSBB pada 2020 lalu.
Achmad menyebut banyak perusahaan non-esensial yang tidak mematuhi aturan PPKM dengan memaksa karyawan untuk tetap masuk ke kantor atau WFO. “Mereka tidak dihukum tegas. Karyawan mereka bisa lolos dari pos penyekatan PPKM darurat karena aparat keamanan tidak bisa membendung mereka yang penuh datang ke kantor,” jelasnya.
Selain itu, penunjukkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk mengatur jalannya PPKM darurat dinilai tidak dilandasi oleh perencanaan yang matang.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan jajarannya tidak dilibatkan dalam gugus tugas tersebut, sehingga dinilai terjadinya pelemahan penegakan hukum.
“Penunjukan Pak Luhut Menko Marves adalah penunjukan yang tidak dilandasi perencanaan matang akibatnya ada yang miss calculation terkait law enforcement,” ujarnya.
Di samping itu, Achmad juga mengatakan terjadinya krisis oksigen dan krisis harga obat terjadi karena lemahnya penegakan hukum di dalam PPKM darurat. Dia menyebut krisis yang terrjadi akibat oknum merupakan buah dari lemahnya penegakan hukum.
“Kewibawaan hukum begitu lemah dari PPKM darurat kali ini, oknum pencari untung dari krisis oksigen dan Ivermectin tetap merajalela meski pemerintah sudah menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Intinya aturan terasa tidak hadir dilapangan karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” jelasnya.
Kedua, Pendiri Narasi Institute ini juga menilai instrumen keuangan juga masih tidak diperkuat dalam PPKM Darurat kali ini. Meskipun, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan akan menambah anggaran penanganan kesehatan dan sejumlah sektor lain yang tertuang dalam anggaran PEN, dengan total sebesar Rp225,4 triliun.
Di antaranya yaitu tambahan untuk anggaran penanganan kesehatan sebesar Rp120,72 triliun, program prioritas sebesar Rp10,89 triliun, perlindungan sosial Rp28,7 triliun, insentif usaha Rp15,1 triliun, dan UMKM Rp50,4 triliun.
Akan tetapi, Achmad mengatakan implementasi dari penambahan anggaran tersebut pasti memerlukan waktu minimal dua minggu untuk urusan administrasi. Tidak hanya itu, dia memperkirakan setidaknya akan butuh waktu satu bulan paling cepat untuk implementasi di lapangan. Di lain sisi, PPKM darurat akan berakhir pada 20 Juli, sehingga dukungan keuangan terlambat.
Dia menyebut PPKM Darurat adalah contoh dari kebijakan penanganan pandemi yang tidak terstruktur. Dia menilai Presiden Joko Widodo perlu turun tangan langsung untuk penanganan krisis kesehatan yang terjadi, karena pemerintah dinilai gagap dan tidak belajar dari satu tahun sebelumnya.
“Saya kaget karena penambahan anggaran baru diusulkan setelah PPKM Darurat berjalan tiga hari, padahal RS sudah bleeding [berdarah-darah] keuangannya. Pembayaran kurang bayar penanganan Covid-19 di tahun 2020 perlu dibayar segera untuk membantu rumah sakit. Insentif tenaga kesehatan dan anggaran penambahan obat-obatan tidak bisa menunggu birokrasi administrasi yang panjang,” tambahnya.
Terkait dengan instrumen keuangan ini, Achmad menyarankan agar Presiden memanggil langsung Menteri Keuangan untuk menyusun draf perubahan dari Perpres No. 113/2020. Tanpa perubahan payung hukum tersebut, dia mengatakan APBN 2021 tidak bisa diubah begitu saja untuk membantu penanganan kesehatan dan bantuan sosial kepada masyarakat.
BACA JUGA: Banyak Kaum Terdidik di Ibu Kota Langgar PPKM Darurat
“APBN 2021 tidak didesain mengantisipasi varian delta Covid-19, karena itu perlu disesuaikan dengan APBN-P 2021 dengan memasukan tambahan anggaran untuk kesehatan dan bantuan sosial yang besar. Penyesuaian perlu dilakukan dengan revisi Perpres No.113/2020 bila negara tidak memiliki payung hukum untuk perubahan APBN 2021 tersebut,” jelasnya.
Adapun, Achmad mengingatkan bahwa APBN tidak lagi memerlukan persetujuan DPR, karena pemerintah telah menetapkan Perpres No.113/2020 sebagai payung hukum perencanaan, penetapan, dan pelaksanaan APBN 2021. Maka itu, perubahan APBN 2021 cukup dilakukan dengan merubah Perpres No.113/2020.
Ketiga, Achmad memandang adanya gap (kesenjangan) besar antara kecepatan laju kematian imbas Covid-19, dengan kecepatan koordinasi dan kepemimpinan pemerintah dalam penanganan pandemi.
“Untuk mempersempit gap leadership, PPKM darurat tidak bisa dikoordinasikan oleh selain Presiden. Bila ini varian delta diibaratkan sebagai serangan masif terhadap publik Indonesia, maka Presiden lah yang harus memimpin counter attack dari serangan tersebut, bukan pembantu Presiden,” tegasnya.
Dia menyatakan bahwa hanya kepemimpinan Presiden yang akan mampu meredam harga oksigen dan obat-obatan, memimpin penegakan hukum bagi perusahaan non-esensial pelanggar PPKM darurat, mengatur anggaran untuk membantu rumah sakit, dan menyediakan bantuan sosial bagi mereka yang membutuhkannya.
“Hanya Perintah Presiden yang mampu meredam karena sejumlah kemewahan eksekutif yang dimilikinya. Termasuk hanya presiden yang bisa menutup gerbang pintu masuk Indonesia dari warga asing,” pungkas Achmad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Terkait Pemulangan Mary Jane, Filipina Sebut Indonesia Tidak Minta Imbalan
- Polisi Tembak Polisi hingga Tewas di Solok, Polda Sumbar Dalami Motifnya
- Eks Bupati Biak Ditangkap Terkait Kasus Pelecehan Anak di Bawah Umur
- Profil dan Harta Kekayaan Setyo Budiyanto, Jenderal Polisi yang Jadi Ketua KPK Periode 2024-2029
- Pakar Hukum Pidana Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Masih Prematur
Advertisement
Jalur Lengkap Trans Jogja: Malioboro, Kraton Jogja hingga Prambanan
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Belasan Provinsi Rawan Pilkada Dipantau Komnas HAM
- Menteri Satryo Minta Kemenkeu Kucurkan Dana Hibah untuk Dosen Swasta
- Menpar: Kunjungan Wisatawan ke Bali Belum Merata
- Bawaslu Minta Seluruh Paslon Fokus Menyampaikan Program saat Kampanye Akbar
- Vonis terhadap Presiden Terpilih AS Donald Trump dalam Kasus Uang Tutup Mulut Kembali Ditunda
- Para Calon Kepala Daerah Diingatkan Tidak Berkampanye Saat Masa Tenang
- Retno Marsudi Ditunjuk sebagai Direktur Non-eksekutif Perusahaan Gurn Energy Singapura
Advertisement
Advertisement