Advertisement

Sudah Dinyatakan Sembuh, Para Mantan Pasien Covid-19 Kini Rasakan Jantungnya Bermasalah

Syaiful Millah
Senin, 05 Oktober 2020 - 19:07 WIB
Bhekti Suryani
Sudah Dinyatakan Sembuh, Para Mantan Pasien Covid-19 Kini Rasakan Jantungnya Bermasalah Ilustrasi sakit jantung

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Pada Februari lalu, Mlissa Vanier (52 tahun) baru saja kembali dari liburannya di Kuba dan mengalami sakit parah karena penyakit pandemi Covid-19.

Dia menggambarkan sakitnya pada Maret dengan ungkapan "seperti ada pecahan kaca di tenggorokan saya", untuk menjelaskan berbagai gejala yang dialaminya. Dia bahkan harus tengkurap ketika tidur.

Advertisement

Pada minggu ketiga Maret, Vanier dinyatakan negatif. Kendati virus corona baru telah meninggalkan tubuhnya, ternyata ini merupakan awal dari masalah baru. Pada Mei, dia menyadari bahwa detak Jantung nya tampak sangat tidak normal.

Ketika ahli jantung melakukan tes, hasilnya menunjukkan bahwa dia menderita penyakit jantung iskemik, yang berarti jantung tidak mendapatkan cukup darah dan oksigen. Padahal sebelumnya dia tidak memiliki masalah serius.

Nicola Allan (45 tahun) seorang guru di Liverpool menceritakan hal yang serupa. Sekitar 2 bulan setelah pertama kali didiagnosis mengidap Covid-19, dia menemukan jantungnya berdetak kencang tanpa penyebab yang jelas.

"Detak jantungnya bisa mencapai 193 detak per menit. Bisa di tengah malam atau siang hari ahli jantung masih belum mengerti mengapa hal itu terjadi," katanya seperti dikutip The Guardian, Senin (5/10/2020).

BACA JUGA: Percaya Dukun, Seorang Janda di Sleman Tertipu Rp300 Juta

Kedua cerita di atas menggambarkan tren yang lebih luas bahwa virus corona baru dapat membuat pasien mengalami kerusakan jantung yang berlangsung lama, setelah gejala awalnya menghilang.

Indikasi pertama bahwa Covid-19 dapat memengaruhi jantung berasal dari pusat wabah. Peter Liu, kepala ilmuwan di University of Ottawa Heart Institute menerima milis pertama dari dokter di Wuhan selama Januari dan Februari.

Selain itu, dokter dari Italia juga mengirimkan milis ketika wilayah Eropa mengalami puncak pandemi. Mereka mengabarkan sejumlah pasien di ICU dengan miokarditis atau radang otot jantung.

"Karena minat lama saya tentang bagaimana miokarditis viral dapat menyebabkan gagal jantung, mereka meminta saya untuk berpartisipasi dalam analisis data klinis untuk memahami dampak Covid-19 pada jantung," katanya.

Pada Maret, temuan lain mulai bermunculan. Dari 68 pasien yang meninggal dalam sebuah penelitian, dokter melaporkan bahwa sepertiga kematiannya disebabkan oleh kombinasi gagal pernapasan dan gagal jantung.

Dalam studi yang lebih besar, ahli jantung di rumah sakit Remnin di Wuhan University menemukan sekitar 20 persen dari 416 pasien yang ditangani mengalami cidera pada jantung mereka.

Hubungan antara Covid-19 dengan jantung bukannya tidak diduga. Infeksi virus lain seperti virus Epstein Barr dan Coxsackievirus diketahui mampu menyebabkan kerusakan jantung mulai dari yang ringan hingga parah.

Sementara itu, penelitian retrospektif juga menemukan bahwa wabah virus corona SARS dan MERS juga menyebabkan beberapa orang mengalami komplikasi jantung yang berkepanjangan.

Ahli jantung mengatakan bahwa Covid-19 akan sangat berbeda, karena telah menginfeksi puluhan juta orang di dunia. Artinya ada kemungkinan lebih besar dan bisa jadi tingkat kerusakannya juga sangat beragam.

Diperkirakan bahwa dalam beberapa kasus, sesak napas yang dilaporkan oleh pasien positif Covid-19 sebenarnya lebih disebabkan oleh kerusakan pada jantung, bukan dari organ paru-paru.

"Virus SARS asli memang menyebabkan kerusakan jantung pad sebagian kecil pasien. Namun tingkat cedera jantung akibat Covid-19 sangat mengejutkan," kata Liu.

Para peneliti kini tahu bahwa virus SARS-CoV-2 mendapatkan akses ke jantung melalui enzim yang disebut ACE2 dan TMPRSS2, kunci biologis yang diambil nya untuk menyelinap ke dalam sel manusia.

Karena enzim ini ada di seluruh tubuh termasuk paru-paru, jantung, ginjal, hati, isus, dan jaringan otak, ini memungkinkan virus untuk berpindah dari satu sistem organ ke sistem organ yang lainnya.

Fakta bahwa kadar ACE2 yang bersirkulasi lebih tinggi pada pria ketimbang wanita, dianggap sebagai salah satu alasan kenapa pria tampaknya lebih rentan terhadap masalah jantung yang disebabkan oleh Covid-19.

Begitu masuk ke dalam jantung, virus dapat menyebabkan kerusakan dengan berbagai cara. Bisa melalui serangan langsung ke sel-sel jantung dan menghancurkannya atau memicu respons peradangan yang dapat memengaruhi fungsi jantung.

Tekanan pada tubuh karena melawan virus dapat mengirim sistem saraf simpatik - yang mengarahkan respons tubuh terhadap situasi berbahaya atau stres - menjadi terlalu bersemangat dan melemahkan otot jantung.

Ketika para peneliti di Institute Gladstone menambahkan virus ke sel jantung manusia yang ditanam dalam laboratorium, mereka khawatir dengan tingkat kerusakannya. Serat otot panjang yang membuat jantung berdecak telah dibedah menjadi beberapa bagian.

Dampak virus dapat menyebabkan kondisi seperti irama jantung yang tidak normal, kardiomiopati, dan syok kardiogenik. Dalam kasus yang parah, hal tersebut dapat menyebabkan gagal jantung.

Memang, tidak semua orang yang dirawat di rumah sakit karena Covid-19 mengalami cedera jantung. Liu mengatakan bahwa sekitar sepertiga dari pasien tersebut menunjukkan bukti cedera pada tes darah dan banyak juga yang sembuh setelahnya.

Bagi ahli jantung, salah satu bagian penting dari teka-teki ini adalah mencoba memahami siapa yang akan pulih dan siapa yang tidak. Pada Juni lalu, British Heart Foundation mengumumkan enam program penelitian untuk melacak kerusakan pada jantung dan sistem peredaran darah pasien Covid-19.

Liu menunjukkan bahwa tidak mengherankan, orang yang memiliki masalah kardiovaskular sebelumnya adalah kelompok yang paling rentan. Begitu juga dengan mereka yang memiliki kondisi mendasar lain seperti penyakit ginjal atau hati.

Akan tetapi, tanggapan kekebalan dan viral load awal yang diterima juga tampaknya menjadi faktor kunci. Raul Mitrani, ahli elektrofisiologi jantung di University of Miami menyebut jumlah jaringan parut yang tersisa pada pasien berperan dalam menentukan prognosis jangka panjang.

Dia mengatakan apabila terjadi peradangan yang mengakibatkan disfungsi jantung, ada peluang untuk pulih. Sementara, jika sel jantung mati dan digantikan oleh jaringan parut, maka di sinilah letak masalahnya.

"Jika kami melihat jaringan parut, dan terutama jika ada cukup banyak untuk merusak fungsi jantung, kami akan sangat khawatir tentang potensi gagal jantung dan aritmia di masa depan," katanya seperti dikutip The Guardian.

Untuk pasien Covid-19 gelombang kedua yang dirawat di rumah sakit dalam beberapa bulan mendatang, diharapkan pengetahuan yang diperoleh sejauh ini memungkinkan dokter untuk mengambil langkah-langkah yang tepat.

Liu menjelaskan bahwa steroid yang membantu meredam peradangan jantung, semakin banyak digunakan pada kasus-kasus lanjutan. Sementara antivirus seperti remdesivir dapat membantu dengan mengurangi viral load.

Percobaan juga sedang dilakukan untuk melihat akan inhibitor angiotensin yang biasa digunakan untuk mengobati gagal jantung, dapat memiliki efek karioprotektif pada pasien Covid-19 yang berisiko tinggi.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, informasi baru yang muncul justru mengkhawatirkan para ahli jantung. Penemuan-penemuan terbaru menyatakan pasien Covid-19 dengan gejala ringan berisiko mengalami masalah jantung.

Pada 7 Agustus, Michael Ojo (27 tahun), seorang pemain basket profesional pingsan saat latihan individu. Dia dinyatakan positif pada Juli, lalu mengalami serangan jantung, dan meninggal dunia tak lama setelahnya.

Kematian Ojo sangat membingungkan karena dia tampaknya telah pulih dari virus. Meskipun dia maloprkan adanya gejala seperti batuk, demam, dan nyeri dada, pemeriksaan fisik pada Agustus menunjukkan kesehatannya sudah pulih.

Seminggu sebelumnya, para ilmuwan di Pusat Pencitraan Kardiovaskular di Frankfurt University mempelajari jantung 100 pasien Covid-19. Pemindaian mengungkap 78 persen pasien mengalami perubahan struktur abnormal pada jantung mereka.

Sejak saat itu, bukti lebih lanjut muncul dari Ohio State University, tentang peradangan jantung yang terjadi pada para atlet dengan virus. Hampir semuanya mengalami gejala ringan atau tanpa gejala.

Saurabh Rajpal, ahli jantung dari Ohio State University menekankan bahwa sebagian besar kasus sembuh dalam beberapa minggu tanpa masalah. Dalam kasus di Frankfurt, tidak ada pasien yang mengalami masalah jantung sebelumnya.

Penemuan Ohio telah berdampak besar pada dunia olahraga. Perguruan tinggi olahraga di Amerika Serikat mengumumkan bahwa tes skrining jantung khusus diperlukan untuk semua atlet yang sebelumnya dinyatakan positif virus corona baru.

"Meskipun ada peradangan dan kemungkinan irama jantung tidak normal, jarang ada kematian mendadak. Kondisi ini lebih mungkin terjadi pada atlet yang melakukan olahraga berat," kata Rajpal.

Para ahli jantung masih berupaya mencari tahu persis mengapa beberapa orang mengalami masalah jantung yang berkepanjangan, kendati hanya mengalami gejala Covid-19 ringan atau sedang.

Mekanisme yang mendasari hal ini dianggap sebagai perubahan yang lambat dan halus, yang sangat berbeda dengan yang membabani jantung selama penyakit akut. Utamanya pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena penyakit jantung.

Valentino Puntmann, ahli jantung yang terlibat dalam studi di Frankfurt engatakan bahwa awalnya ada cedera kecil pada otot jantuung, yang kemungkinan terjadi selama tahap akut Covid-19. Ini memicu evolusi lambar dari peradangan otot dan menyebar.

"Ini membutuhkan waktu beberapa minggu atau bulan. Jadi di bawah ambang klasifikasi gejala jantung saat ini ... Penting untuk mengetahui bahwa jantung yang terluka membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk sembuh," tandasnya.

Beberapa ahli jantung telah menyarankan bahwa perawatan seperti obat penurun kolesterol, aspirin, atau beta blocker dapat membantu pasien dengan efek kardiovaskular. Namun, buktinya memang masih sangat terbatas sejauh ini.

Mitrani menuturkan hal tersebut memang masih terlalu dini, tetapi terapi ini telah membuktikan kemanjurannnya pada penyakit inflamasi otot jantung lainnya. Peneliti percaya ini dapat membantu melawan efek pro-inflamasi dari Covid-19.

Namun demikian, untuk pasien seperti Vanier, masih ada jalan panjang dan ketidakpastian untuk melihat apakah jantungnya benar-benar bisa pulih dari dampak Covid-19. Dia mengakui hal tersebut membuat mentalnya sangat buruk.

"Saya belum kembali bekerja sejak saya pergi berlibur di Februari. Jantung saya belum membaik dan sekarang saya harus menunggu tes lainnya untuk melihat apakah mereka dapat menemukan informasi lebih banyak," kata Vanier.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Sambut Pemudik dan Wisatawan Libur Lebaran 2024, Begini Persiapan Pemkab Gunungkidul

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 11:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement