Advertisement
Kasus Virus Covid-19 di Indonesia Terus Bertambah, Ini Kata Epidemiolog UI..

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Kurangnya pengujian hingga tindakan tergesa-gesa membuka kembali aktivitas sosial ekonomi dalam skala luas membuat Indonesia terus mengalami lonjakan kasus Covid-19, tertinggi di Asia Tenggara dan telah melewati China.
Hingga Minggu (19/7) Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 melaporkan jumlah kasus di Tanah Air telah mencapai angka 86.521 kasus positif, dengan angka kematian mencapai 4.143 kasus dan pasien sembuh sebanyak 45.401 kasus.
Advertisement
Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan bahwa Indonesia memiliki banyak peluang penanganan pandemi, tetapi melewatkannya dan tidak melakukan banyak hal yang dapat menekan penyebaran virus.
BACA JUGA : DIY Provinsi Terbaik Tangani Covid-19, Sultan: Sudah Jadi
Dia juga skeptis dengan angka-angka yang dilaporkan, “Data kematian kita tidak benar, masih underestimate. Juga [jumlah] kasus masih rendah karena testing masih terbatas,” katanya.
Selain itu, Pandu juga menyebut bahwa kasus positif akan terus meningkat lebih banyak. Ketika virus corona mulai menyebar ke berbagai penjuru dunia pada Februari lalu, Menteri Kesehatan dengan bersikeras bahwa Indonesia bebas dari virus corona dan bahwa doa membuat virus tak menghampiri. Indonesia juga terus menyambut ribuan pengunjung dari China.
Pemerintah mungkin sudah tahu tentang hal tersebut, tetapi memilih diam karena tidak ingin membuat kepanikan dan menimbulkan kekhawatiran kepada masyarakat. Baru pada Maret, pemerintah mengumumkan adanya kasus virus pertama di dalam negeri.
BACA JUGA : Sehari Tambah 6 Pasien Baru, Covid-19 di DIY Melonjak Lagi
Para ahli menyebut bahwa keterlambatan itu telah merugikan Indonesia. Epidemiolog Universitas Padjajaran Panji Fortuna Hadisoemarto mengatakan bahwa pemerintah pusat cukup lambat dalam memutuskan apa yang harus dilakukan.
“Saya kira salah satu penjelasannya adalah ada tarikan dan dorongan besar antara perekonomian dan pengendalian penyakit,” katanya seperti dikutip NPR, Senin (20/7).
Tidak seperti negara Asia Tenggara lain misalnya Vietnam dan Thailand yang telah berhasil mengatasi penyebaran virus dan pandemi, Indonesia tidak menerapkan penguncian (lockdown) nasional atau secara luas.
Upaya tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah daerah masing-masing, seperti Jakarta dan kota besar lainnya yang memulai pembatasan sosial berskala besar pada April yang dinilai cukup telat, lalu rampung pada Juni yang dinilai terlalu dini.
”Saya kira Indonesia tidak memiliki sarana untuk menghentikan penyakit sekarang. Kita tahu orang telah membicarakan gelombang kedua. Saya rasa kita bahkan belum melihat puncak gelombang pertamanya,” kata Panji.
Para epidemiolog juga menuturkan kurangnya jumlah pengujian dan proliferasi informasi yang buruk. Misalnya Kementerian Pertanian yang menyebut telah mengembangkan kalung kayu putih yang membantu menangkal virus, yang klaimnya ditolak oleh ahli kesehatan.
Selain itu, masyarakat juga masih merasa takut akan stigma atau kehilangan pekerjaan bagi mereka yang hasil tesnya positif. Hal ini juga turut andil dalam kurangnya pengujian lantaran masyarakatnya sendiri menghindari hal tersebut.
BACA JUGA : Kasus Covid-19 di Jogja Hari Ini Tembus 300 Lebih
Sebuah pemodelan yang dilakukan oleh Pandu menunjukkan tingkat infeksi Indonesia akan terus meningkat hingga Oktober atau November mendatang. Pada saat itu, dia menuturkan Indonesia bakal punya sekitar 4.000 kasus baru per hari, dua kali lebih tinggi dari total harian saat ini.
Peneliti dari Pusat Kajian Strategis dan Internasional Mohammad Habib Abiyan Dzakwan mengatakan bahwa pemerintah harus bekerja lebih keras untuk membuat masyarakat lebih peduli tentang bahaya virus, alih-alih menyatakan semuanya akan menjadi lebih baik.
“Saya pikir pemerintah sekarang mencoba untuk membela peningkatan kasus dengan menyebut ini karena dilakukan pengujian lebih banyak dan itu sangat mengkhawatirkan,” katanya kepada NPR.
Sementara itu, Pandu percaya bahwa pemerintah perlu memaksakan dan menegakkan apa yang disebutnya sebagai 3M, yakni Masker, Menjaga jarak, dan Mencuci tangan untuk harapan dalam meratakan kurva. Selain itu, upaya itu juga perlu tambah dengan surveilans TLI yakni Tes, Lacak, dan Isolasi.
“Skenario saya didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah akan melakukan sesuatu yang lebih setelah mereka mencapai 4.000 [kasus per hari]. Jika tidak melakukan apa-apa, maka akan ada lebih banyak kasus,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Profil Eddie Nalapraya, Bapak Pencak Silat Dunia yang Wafat di Usia 93 Tahun
- BNN Ungkap Wilayah Pesisir dan Perbatasan Rawan Peredaran Narkoba, Begini Polanya
- Seorang Perawat Rumah Sakit di Cirebon Diduga Lecehkan Remaja Disabilitas, Polisi Periksa 11 Saksi
- Mensos Usahakan Siswa Lulusan Sekolah Rakyat Dapat Beasiswa
- Dukung Pengamanan Kejaksaan oleh TNI, Wakil Ketua Komisi 1 DPR: Untuk Efektifkan Penegakan Hukum
Advertisement

Bupati Gunungkidul Ajak Warga Sulap Emperan Rumah Jadi Lahan Produktif
Advertisement

Destinasi Kepulauan Seribu Ramai Dikunjungi Wisatawan, Ini Tarif Penyeberangannya
Advertisement
Berita Populer
- Mensos Usahakan Siswa Lulusan Sekolah Rakyat Dapat Beasiswa
- Seorang Perawat Rumah Sakit di Cirebon Diduga Lecehkan Remaja Disabilitas, Polisi Periksa 11 Saksi
- Sekeluarga Tertimbun Tebing Longsor di Samarinda, Dua Meninggal Dunia, 2 Masih dalam Pencarian
- Presiden Prancis Emmanuel Macron Dituduh Pakai Narkoba Saat ke Ukraina, Ini Tanggapan Kantor Kepresidenan
- Menham Natalius Pigai Dukung Pendidikan Militer Ala Dedi Mulyadi
- Krisis Kemanuasiaan Kian Parah di Gaza, Prancis Minta Perjanjian Uni Eropa-Israel Dievaluasi
- SETARA Nilai Pengerahan Prajurit TNI Jaga Kejaksaan Langgar Konstitusi
Advertisement