Advertisement
Terkesan Normatif, Pakar Nilai Debat Cawapres Pakar Tak Memuaskan
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA--Sejumlah pakar dan akademisi mengkritisi debat calon wakil presiden (cawapres) yang kurang memuaskan karena banyak akar masalah di bidang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial budaya yang belum terungkap dan debat terkesan normatif.
Hal itu dikemukakan para pakar dalam diskusi seri Pemilu yang diselenggarakan Centres for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Senin (18/3).
Advertisement
Dalam rangkuman hasil diskusi yang diterima Antara, mantan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengaku kurang puas dengan debat cawapres pada Minggu (18/3/2019) lalu. Mari yang menjadi moderator dalam diskusi CSIS itu mengatakan selain masalah waktu yang terbatas pada debat cawapres, bangsa Indonesia juga bukan bangsa yang suka berdebat.
Mantan Menteri Pariwisata dan ekonomi Kreatif itu juga mengkritisi debat soal pengembangan budaya. Menurut dia, tantangannya bukan sebatas bagaimana ragam budaya yang ada bisa menjadi potensi pengembangan ekonomi rakyat, tapi juga keragaman budaya harus dapat memperat dan meningkatkan nilai-nilai sosial seperti toleransi dalam membangun masyarakat yang lebih adil, sejahtera dan bahagia
"Namun setidaknya terlihat berbagai tantangan yang akan bangsa kita hadapi ke depan. Pendekatan yang lebih komprehensif di masa datang menjadi semakin penting," ujar pengamat ekonomi itu.
Sementara itu pengamat lainnya yang hadir pada diskusi CSIS itu, seperti pemerhati pendidikan Doni Koesoema A, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi UI Teguh Dartanto, Peneliti Senior CSIS Dr Haryo Aswicahyono, Pengamat Sosial Budaya dan Vokasi Universitas Indonesia Devie Rahmawati, mengungkapkan hal yang sama bahwa debat belum mengungkap akar masalah dan solusi tentang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial budaya.
Pengamat Pendidikan Doni Koesoema misalnya, menilai debat soal riset masih sebatas soal dana dan koordinasi. Padahal, kata dia, salah satu akar masalah kurang berkembanganya riset di Indonesia terkait dengan kurikulum dasar pendidikan yang tidak mendorong orang untuk menghargai kegiatan riset.
"Harusnya, paslon berbicara bagaimana konteks evaluasi dan penilaian secara menyeluruh, dari SD sampai perguruan tinggi. Baru cari solusi terbaik yang utuh dan menyeluruh agar pengembangan minat dan bakat menjadi jelas, tidak seperti yang berlangsung selama ini," kata Doni.
Hal yang sama diungkapkan Teguh Dartanto. Ia menyayangkan pada debat soal kesehatan hanya berkutat pada isu sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), stunting, dan pentingnya upaya preventif dan promotif. Namuntidak kedua cawapres tidak menyebut isu imunisasi, pergeseran penyakit ke penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung, dan perilaku berisiko seperti merokok.
Padahal, kata dia, jika isu imunisasi tidak diatasi, maka di masa yang akan datang Indonesia tetap menghadapi penyakit menular. Bahkan kedua cawapres tidak membahas peran pemerintah daerah dalam isu kesehatan, kendati berdasarkan UU Kesehatan, pemda harus mengalokasikan 10% dana APBD untuk program kesehatan, dan pemerintah pusat lima persen dari dana APBN.
"Selama ini pemerintah konsisten mengalokasikan dana yang rendah untuk program kesehatan, hanya sekitar satu persen dari PDB. Tidak mungkin mendapatkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal dengan alokasi dana seperti sekarang," ujarnya.
Di bidang ketenagakerjaan, peneliti senior CSIS Haryo Aswicahyono, juga mengatakan banyak persoalan krusial tidak terungkap. Ia menyebut isu penting di bidang ketenagakerjaan saat ini antara lain terjadi penuaan, di mana pangsa kaum muda dalam angkatan kerja (mereka berusia 20-39 tahun) turun dari 52,2% dalam satu dekade terakhir menjadi 47,8% pada Februari 2018, dan bahwa tingkat pengangguran di anak muda masih relatif tinggi.
"Seiring dengan penuaan itu maka kebutuhan penciptaan lapangan kerja juga menurun, sementara kebutuhan untuk kesehatan dan pensiun lansia semakin besar. Dengan tren seperti ini ekonomi akan menciptakan cukup tenaga kerja dalam jangka pendek. Pertanyaan kemudian adalah jenis pekerjaaan apa yang perlu disediakan untuk masa depan, high value added manufacturing and services?," katanya.
Haryo juga menyoroti kegiatan training dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja. Menurut dia, saat ini sangat sedikit training dilakukan perusahaan di Indonesia dibanding negara lain. Ini antara lain, kata dia, karena pasar tenaga kerja yang terlalu detail, misalnya akibat upah minimum dan biaya pesangon, yang menyebabkan perusahaan melakukan outsourcing dan tidak investasi di training untuk pegawai permanen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Antara
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Siap-Siap! Penerapan SLFF di Tol Sebelum Oktober 2024
- Ditanya soal Kemungkinan Maju di Pilkada, Kaesang Memilih Ini
- Satuan Pendidikan Diwajibkan Memperhatikan Kebutuhan Siswa dengan Kondisi Khusus
- Meningkatkan Perlindungan dari Penyakit Menular, Jemaah Calon Haji Disarankan Vaksin
- Dugaan Pelanggaran Wewenang, Wakil Ketua KPK Laporkan Anggota Dewas
Advertisement
Pilkada Kulonprogo: Pendaftaran Panwascam Dibuka, Kebutuhan Formasi Menunggu Hasil Tes
Advertisement
Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali
Advertisement
Berita Populer
- Penetapan Caleg Terpilih di DIY Menunggu BRPK Mahkamah Konsitusi
- Surya Paloh Enggan Jadi Oposisi dan Pilih Gabung Prabowo, Ini Alasannya
- Izin Tinggal Peralihan Jembatani Proses Transisi Izin Tinggal WNA di RI
- Satuan Pendidikan Diwajibkan Memperhatikan Kebutuhan Siswa dengan Kondisi Khusus
- Gaji Prabowo-Gibran Saat Sudah Menjabat, Ini Rinciannya
- Iuran Pariwisata Masuk ke Tiket Pesawat, Ini Kata Menteri Pariwisata
- KASD Sebut Penggantian Istilah dari KKB ke OPM Ada Dampaknya
Advertisement
Advertisement