Advertisement

Kontroversi Seputar Abu Bakar Ba'asyir

Kahfi
Selasa, 22 Januari 2019 - 19:05 WIB
Budi Cahyana
Kontroversi Seputar Abu Bakar Ba'asyir Kuasa hukum capres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, Yusril Ihza Mahendra (kanan) mengunjungi narapidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir (kiri) di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat , Jumat (18/1/2019). - ANTARA/Yulius Satria Wijaya

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA - Tabloid Opini edisi 7-13 Juni 2005 menerbitkan wawancara khusus dengan Abu Bakar Ba’asyir, terpidana terorisme yang saat itu meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta.

Menjenguk terpidana seperti Ba’asyir bukan perkara mudah. Reporter Tabloid Opini Ismail Fahmi bisa menembus hingga bisa berbincang dengan Ba’asyir di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang setelah menyaru sebagai pembesuk

Advertisement

“Liputan ini lumayan tidak mudah. Waktu itu saya ceritanya jadi pembesuk ABB [Abu Bakar Ba'asyir] di LP Cipinang,” kenang Ismail dalam unggahan di akun Facebook-nya, seperti dikutip Jaringan Informasi Bisnis Indonesia, Senin (21/1/2019).

Abu Bakar Ba'asyir (tengah) bersama Yusril Ihza Mahendra (kanan) di LP Gunung Sindur, Bogor, Jumat (18/1/2019)./Antara-Yulius Satria Wijaya

Paling menarik, laporan itu bisa menggali pandangan Ba’asyir atas tuduhan yang menimpa dirinya. Bahkan, judulnya bisa membetot perhatian publik, menjungkirkan tudingan yang selama ini disodorkan kepada Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Ngruki, Surakarta, Jawa Tengah (Jateng) ini.

“Saya Tak Setuju Aksi Ngebom,” demikian judul tulisan tersebut.

Bagi Ba’asyir, tudingan sebagai Amir Jamaah Islamiyah (JI) yang diidentikan dengan momok teror Asia Tenggara, terlalu mengada-ada. Hal itu, menurutnya, hanya dalih pemerintah yang dikendalikan AS untuk menjebloskannya ke penjara.

Beberapa waktu sebelum wawancara itu dilangsungkan, terjadi ledakan bom di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng) yang menewaskan puluhan orang. Kepolisian menduga para pelaku melarikan diri ke Surakarta, mengarah kepada kelompok Ngruki.

Bagi Ba’asyir, hal itu tidak mungkin dilakukan para santri Ngruki. Bahkan, dia menjamin bahwa aksi jihad dengan melakukan pengeboman bukan berasal dari pondok, melainkan pengaruh dari mujahid luar negeri, terutama Timur Tengah.

“Saya sendiri tidak setuju dengan aksi ngebom begitu, tapi kalau di wilayah konflik sah-sah saja. Namun, untuk di wilayah tenang dan aman-aman saja, saya tidak setuju,” tegas Ba'asyir.

Lahir di Jombang, Jawa Timur (Jatim) pada 1938, dirinya sudah menekuni ilmu agama sejak belia. Mulai dari Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo hingga ke tingkat perguruan tinggi di Universitas Al-Irsyad Solo.

Pada 1972, Ba’asyir mendirikan Pesantren Al Mu’min di Ngruki. Sosoknya dikenal karena mengampanyekan anti asas tunggal Pancasila semasa Orde Baru berkuasa.

Sejak 1985, Ba’asyir jadi pelarian politik bersama Abdullah Sungkar. Dua tahun sebelumnya, kedua orang itu jadi terpidana kasus penolakan asas tunggal Pancasila, yang dianggap subversif pada era Orde Baru (Orba).

Hidup di Malaysia, bukan berarti Ba’asyir lepas dari incaran aparat Indonesia. Selepas rezim Orba tumbang, Ba’asyir kembali ke Tanah Air.

Rentetan tudingan kepada dirinya terus berdatangan. Badan intelijen AS mengendus keterkaitan Ba’asyir dengan jaringan Al Qaeda di Asia Tenggara.

Tugu Peringatan Bom Bali di Bali./Antara

Hanya sebentar menghirup udara bebas pada 2006 hingga 2010, dia kembali dikorelasikan dengan latihan milisi Al Qaeda di Aceh. Setahun kemudian, Ba’asyir menghuni jeruji besi hingga kini.

Pusaran Politik

Kini, isu seputar Ba’asyir masuk dalam pusaran politik Pilpres 2019. Presiden Joko Widodo, atas masukan beberapa pihak, menginginkan pembebasan sang ustaz dari tahanan, dengan alasan ada sisi kemanusiaan yang terluka jika Ba’asyir yang sudah uzur tetap dipenjara.

Hal itu tentu disambut berbagai reaksi. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pun mempertanyakan keputusan Jokowi untuk membebaskan Abu Bakar Ba’asyir.

Pasalnya, pembebasan narapidana terorisme itu dilakukan bukan dengan skema pembebasan bersyarat maupun grasi. Pembebasan Ba'asyir disebut disetujui Jokowi karena alasan kemanusiaan.

"Skema pembebasan yang diberikan Presiden Jokowi  tersebut dipertanyakan karena menurut keterangan dari Kuasa Hukum ABB, pembebasan tersebut bukanlah pembebasan bersyarat dan juga bukan grasi," kata Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju.

Selain menuai protes terkait prosedur hukum, pembebasan Ba’asyir juga dikritik lantaran sosoknya masih dianggap bertanggung jawab atas aksi teror. Sosoknya dianggap masih mampu membiakkan generasi teroris baru.

Bahkan, protes itu disampaikan pula oleh Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison.

"Posisi Australia tentang masalah ini tidak berubah. Kami selalu menyatakan keberatan yang paling dalam," ujarnya kepada wartawan di Melbourne.

Pengaruh kuat Ba’asyir turut diakui Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purnawirawan) Moeldoko. Dia mengungkapkan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir masih memiliki pengaruh di kalangan jamaah yang seideologi dengan dirinya.

Tetapi, sejauh ini, pemerintah beralasan bahwa penumpasan teroris terus berlangsung, bahkan kian ditingkatkan setiap waktu.

“Jadi, aparat sudah bisa memitigasinya,” ucap Moeldoko.

Pada akhirnya, meski Presiden Jokowi beralasan pembebasan Ba’asyir adalah urusan kemanusiaan, banyak pihak menilai itu sebatas manuver mendongkrak suara.

Lapas Gunung Sindur tempat Abu Bakar Ba'asyir ditahan./Antara

Namun, pada Senin (21/1), pemerintah tiba-tiba menyampaikan bahwa rencana pembebasan ini akan dikaji kembali. Padahal, Ba'asyir sebelumnya sudah dinyatakan akan bebas pada Kamis (24/1).

Dalam konferensi pers yang digelar kemarin, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, Politik, dan HAM Wiranto menuturkan pemerintah masih perlu mempertimbangkan sejumlah aspek untuk memenuhi permintaan pembebasan dari keluarga Ba'asyir, yang sudah diajukan sejak 2017. Aspek-aspek tersebut, lanjutnya, yaitu ideologi, Pancasila, NKRI, hukum, dan lain sebagainya.

“Dari dulu kasus Baasyir ini framing-nya adalah framing Hak Asasi Manusia (HAM) dan selalu dibenturkan dengan terorisme,” ujar Peneliti Senior Populi Center Afrimadona.

Dia berpendapat pembebasan Baasyir mengesankan dimensi HAM yang kental. Pasalnya, para simpatisan pendiri Majelis Mujahidin Indonesia tersebut kerap membingkai kasus terorismenya dengan sentimen HAM.

Selain lewat kesan humanis yang bisa mengungkit suara dari kalangan milenial, Jokowi juga membuka peluang menangguk suara kelompok Islam. Sebab, Ba’asyir tetap dianggap pemuka agama, tentu yang dibenci dan membenci AS.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Puluhan Kilogram Bahan Baku Petasan Disita Polres Bantul

Bantul
| Kamis, 28 Maret 2024, 21:27 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement