Advertisement

Pemuda Gugat UU Nikah, Ingin Cinta Beda Agama Diakui Negara

Newswire
Rabu, 12 November 2025 - 17:37 WIB
Maya Herawati
Pemuda Gugat UU Nikah, Ingin Cinta Beda Agama Diakui Negara Muhamad Anugrah Firmansyah, pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengikuti sidang perdana di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (12/11/2025). ANTARA/HO-Humas MK - Bay

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Muhamad Anugrah Firmansyah, pemuda yang menggugat Undang-Undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi, ingin pernikahan beda agama diakui secara hukum. Ia menilai aturan saat ini tidak memberi kepastian bagi pasangan lintas iman di Indonesia.

Anugrah menguji Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena menilai ketentuan itu menimbulkan ketidakjelasan dan multitafsir pencatatan perkawinan antaragama sehingga berakibat pada ketidakpastian hukum.

Advertisement

"Kerugian konstitusional pemohon bersifat spesifik dan aktual akibat ketentuan a quo, menyebabkan pemohon tidak dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang memiliki agama berbeda," katanya pada sidang perdana di MK, Jakarta, Rabu, (12/11/2025).

Anugrah, yang beragama Islam, mengaku menjalin hubungan dengan perempuan Kristen selama dua tahun terakhir. Ia menyebut hubungan itu dijalani dengan saling menghormati keyakinan masing-masing dan berkomitmen untuk menikah.

Namun, menurut dia, pernikahan dengan kekasihnya terhambat akibat keberadaan pasal yang berbunyi "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".

Dia menjelaskan pada penerapannya, pasal tersebut dimaknai sebagai larangan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang memiliki agama dan kepercayaan berbeda. Seolah-olah hanya perkawinan seagama yang dapat dicatatkan.

"Penafsiran demikian berimplikasi langsung pada tertutupnya akses pencatatan perkawinan antaragama," ucap Anugrah.

Sejatinya, imbuh dia, ketentuan mengenai perkawinan antaragama telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Pencatatan perkawinan beda agama dapat dilakukan melalui penetapan pengadilan.

Namun, dalam praktiknya, ketentuan itu disebut tidak konsisten diterapkan oleh pengadilan. "Terdapat pengadilan yang mengabulkan penetapan pencatatan perkawinan antaragama, sementara terdapat pula pengadilan yang menolak," ujarnya.

Ketidakkonsistenan penetapan pengadilan itu, menurut Anugrah, menunjukkan tidak adanya kepastian hukum mengenai pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Kondisi itu menyebabkan warga negara bergantung pada interpretasi hakim.

"Akibat ketidakjelasan tersebut, negara menafsirkan pasal a quo secara berbeda-beda yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan ketidaksamaan perlakuan hukum terhadap warga negara yang berada dalam kondisi serupa," tuturnya.

Padahal, kata dia, Indonesia merupakan negara majemuk dengan berbagai agama dan kepercayaan. Kemajemukan itu membentuk interaksi sosial antarwarga negara di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam hubungan personal yang berlanjut pada perkawinan.

Menurut Anugrah, pada titik itulah, perkawinan antaragama muncul sebagai sebuah keniscayaan yang juga konsekuensi logis dan alamiah dari kehidupan bermasyarakat yang majemuk.

"Perkawinan di antara pasangan dengan agama yang sama sering dianggap sebagai perkawinan yang ideal. Namun demikian, cinta tidak pernah bisa direncanakan. Seringkali interaksi sosial antarwarga negara melampaui sekat-sekat agama, suku, maupun budaya. Sementara itu, di kehidupan yang hanya dijalani sekali ini, setiap orang berharap untuk dapat melangsungkan perkawinan dengan pasangan pilihannya," katanya.

Anugrah menambahkan kerugian konstitusionalnya semakin nyata setelah diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. Pada pokoknya, SEMA tersebut berisi larangan bagi pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama.

Ia mengatakan keberadaan SEMA ini menjadi alasan kuat dan relevan bagi MK untuk meninjau kembali konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Atas dasar itu, melalui perkara dengan Nomor 212/PUU-XXIII/2025 ini, Anugrah meminta MK menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

KA Bandara YIA Gangguan di Kulonprogo, Delapan Penumpang Tertinggal

KA Bandara YIA Gangguan di Kulonprogo, Delapan Penumpang Tertinggal

Kulonprogo
| Rabu, 12 November 2025, 18:12 WIB

Advertisement

Tips Berwisata Aman dan Nyaman dari Kemenpar

Tips Berwisata Aman dan Nyaman dari Kemenpar

Wisata
| Selasa, 11 November 2025, 20:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement