Advertisement

KSP: Tak Bisa Bandingkan Jokowi dengan Soeharto, Setiap Presiden Punya Cara Sendiri untuk Marah

Newswire
Rabu, 08 Juli 2020 - 07:47 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
KSP: Tak Bisa Bandingkan Jokowi dengan Soeharto, Setiap Presiden Punya Cara Sendiri untuk Marah Presiden Jokowi. - ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Setiap pemimpin atau Presiden memiliki cara sendiri termasuk meluapkan kemarahannya dalam menghadapi masalah. Hal itu disampaikan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian. 

Sehingga kata dia, tidak bisa membandingkan gaya Presiden Jokowi dalam menghadapi masalah dengan gaya presiden sebelumnya, termasuk Presiden RI ke 2 Soeharto.

Advertisement

"Setiap pemimpin punya zamannya sendiri, tidak bisa dibandingkan setiap pemimpin punya zamannya sendiri. Pak Soeharto ada masanya, konteks yang dihadapi berbeda. Jadi saya kira tidak bisa dibandingkan," ujar Donny saat dihubungi Suara.com, Selasa (7/7/2020).

Pernyataan Donny menangggapi pernyataan Director Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto yang mencontohkan sosok pemimpin asal Jawa yang kuat yakni Presiden ke-2 RI Soeharto.

Donny menuturkan bahwa almarhum Soeharto juga pernah menunjukkan kemarahannya.

Namun hal tersebut tidak terpublikasi karena belum canggihnya teknologi Youtube seperti era saat ini.

"Siapa bilang (Pak Soeharto tidak pernah marah)? Pak Harto juga pernah marah, tapi tidak terpublikasi. Kan belum ada youtube waktu zaman Pak Harto. Jadi tidak bsa dibandingkan begitu saja," kata Donny.

Tak hanya itu, menurut Donny, kemarahan Jokowi bentuk ketegasan sebagai pemimpin yang tegas dan memiliki keberanian di saat krisis akibat pandemi Covid-19.

"Justru disitu lah kelihatan bahwa kepempinan dalam memimpin negara di saat krisis terlihat nyata ketegasan beliau kepemimpinan ketegasan, keberanian, itu kelihatan disitu justru," ucap Donny.

Ia menegaskan justru kemarahan Jokowi memperlihatkan bahwa Jokowi memberi peringatan keras kepada para menterinya untuk bekerja lebih keras menangani Covid-19.

"Jadi nilai-nilai kepemimpinan beliau kelihatan ketika beliau memperingatkan kabinetnya untuk bekerja lebih keras," katanya.

Sebelumnya, Director Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengungkapkan, aksi marah-marah Jokowi tidak mewakili prinsip Jawa yang mengedepankan kehalusan rasa. Menurut kutipan para ahli, semakin kuat seorang manusia Jawa, maka dia akan semakin halus dalam mengolah rasanya.

"Dia akan semakin damai dalam batinnya, yang akan terpencar dalam perilaku lair-nya," ungkap Wijayanto saat memaparkan dalam sebuah diskusi yang disiarkan langsung melalui YouTube LP3ES Jakarta, Senin (6/7/2020).

Sebagai pemimpin yang berasal dari Jawa, Wijayanto menilai seharusnya Jokowi tidak perlu memperlihatkan kekesalannya terhadap menteri yang membuatnya kecewa. Bersikap tenang dan langsung kepada keputusannya menurut ia lebih menunjukkan kekuatan Jokowi sebagai pemimpin.

"Dia [bisa] cukup tersenyum kepada menterinya yang dia nilai enggak bagus kinerjanya lalu dengan baik-baik mengatakan, maaf, anda kinerjanya buruk jadi saya reshuffle misanya atau bahkan tidak perlu mengatakan itu," ujarnya.

Wijayanto pun berusaha memberikan contoh sosok yang bisa merefleksikan manusia Jawa nan kuat, yakni Presiden ke-2 RI Soeharto. Pemimpin yang dikenal sebagai The Smiling General itu bisa menunjukkan kekuatannya hanya dengan sikap sederhana.

Ia mengajak kembali pada ingatan ketika Soeharto membredel Harian Kompas karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintahannya pada 1978. Saat itu Soeharto hanya tersenyum kepada salah satu pendiri Kompas, Jakob Oetama dan berkata "ojo meneh-meneh". Hanya tiga kata, tetapi membuat Jakob mengingatnya hingga puluhan tahun

"Singkat saja, lirih, tapi itu terngiang-ngiang di telinga Jakob Oetama sampai 2015 ketika Kompas ulang tahun ke-50," ungkapnya.

Wijayanto mengatakan publik hampir tidak pernah melihat Soeharto marah-marah di depan publik seperti apa yang dilakukan Jokowi. Justru kalau tokoh yang dijuluki Bapak Pembangunan itu menunjukkan emosinya, maka ia telah menunjukkan kelemahan.

"Karena dalam budaya Jawa ketika seseorang tidak bisa mengontrol kata-katanya, intonasinya maka itu refleksi bahwa dia sudah lemah kekuasannya," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Suara.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Disbud DIY Rilis Lima Film Angkat Kebudayaan Jogja

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 19:27 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement