Advertisement

KPK Identifikasi 26 Poin Revisi UU yang Berpotensi Lumpuhkan KPK

Newswire
Rabu, 25 September 2019 - 10:57 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
KPK Identifikasi 26 Poin Revisi UU yang Berpotensi Lumpuhkan KPK Juru Bicara KPK Febri Diansyah memberi keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (12/10/2019). - Suara.com/Muhaimin A Untung

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Sebanyak 26 persoalan dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang nantinya berisiko melemahkan kerja lembaga antirasuah tersebut tengah diidentifikasi.

"Tim KPK sedang menganalisis terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua UU KPK sebagaimana telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR 17 September 2019. Kami mengidentifikasi 26 persoalan dalam RUU KPK tersebut yang berisiko melemahkan kerja KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Rabu (25/9/2019).

Advertisement

Sebanyak 26 persoalan tersebut, yakni pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus, dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, dan kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.

Selanjutnya, standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK, dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan "pro justicia" dalam pelaksanaan tugas penindakan.

Kemudian, salah satu pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun, pemangkasan kewenangan penyelidikan, pemangkasan kewenangan penyadapan, operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumit pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.

Berikutnya, ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas dalam UU KPK, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus, berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.

Selanjutnya, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN, terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak) dan terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.

Kemudian, jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara, diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.

Berikutnya, terdapat pertentangan sejumlah norma, hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak ada penguatan dari aspek pencegahan, dan kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.

Lebih lanjut, Febri mengatakan 26 poin itu dipandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan Kerja KPK karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini.

"Jadi, jika ada pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek penindakan ataupun pencegahan, dilihat dari 26 poin di atas hal tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya," ujarnya.

Selain itu, kata dia, terdapat ketidaksinkronan antarpasal hingga menimbulkan tafsir yang beragam, sehingga menyulitkan KPK dalam penanganan perkara korupsi ke depan.

"Hal ini lah yang kami sampaikan sejak awal, jika proses penyusunan sebuah UU lebih terbuka, melibatkan publik, mendengar masukan instansi terkait seperti KPK dan tidak terburu-buru, maka beberapa risiko persoalan hukum ini bisa diminimalisir," ujar Febri.

Ia menyatakan tim KPK yang sudah ditugaskan pimpinan akan terus mendalami poin-poin dalam UU tersebut untuk melihat lebih jauh apa saja tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir efek kerusakan terhadap KPK ke depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal KA Bandara YIA Kulonprogo-Stasiun Tugu Jogja, Jumat 29 Maret 2024

Jogja
| Jum'at, 29 Maret 2024, 01:17 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement