Advertisement
Eddy Hiariej: MK Jangan Hanya Dijadikan Mahkamah Kliping
Kuasa hukum Calon Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 selaku pemohon Bambang Widjojanto (kanan) dan Denny Indrayana berbincang di sela-sela pembacaan gugatan sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6). Agenda persidangan kali ini adalah pembacaan materi gugatan dari pemohon./JIBI - Bisnis/Felix Jody Kinarwan
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA--Tim Kuasa Hukum Paslon 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin menghadirkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy O.S. Hiariej untuk menjadi saksi ahli dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019.
Eddy memaparkan pentingnya keberadaan alat bukti untuk memutus perkara yang sedang diperdebatkan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Advertisement
Dalam pemaparannya, Eddy menyindir pernyataan Tim Kuasa Hukum Paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
"Ada benarnya pemohon mengatakan agar MK jangan Mahkamah Kalkulator yang hanya memproses perselisihan hasil perhitungan suara," kata Eddy di Gedung MK, Jumat (21/6/2019).
BACA JUGA
Meski demikian, Ahli Pihak terkait justru mengingatkan bahwa alat bukti yang diajukan oleh pemohon harus benar-benar kuat agar bisa mendukung dalil-dalil yang telah disampaikan dalam petitum.
Pasalnya, Tim Kuasa hukum Paslon 02 melampirkan ratusan alat bukti berupa tautan atau link berita yang menyebut adanya kecurangan bersifat terstruktur, sistematik, dan masif (TSM).
"Namun, hendaknya juga MK jangan dijadikan Mahkamah Kliping atau Mahkamah Koran yang pembuktiannya hanya didasarkan pada kliping koran atau potongan berita," ucap Eddy.
Eddy menuturkan terkait kebenaran yang digali dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Bila mencermati Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, dalam sejumlah pasal, jelas terlihat bahwa yang digali dalam sidang tidak hanya kebenaran materiil tetapi juga kebenaran formil.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persidangan MK mencari kebenaran materiil dalam bingkai kebenaran formil.
Ada beberapa ketentuan pasal yang mengakomodasi kedua kebenaran tersebut. Di satu sisi, MK memutus perkara berdasarkan dua alat bukti ditambah dengan keyakinan.
Hal ini menunjukan negatieve wettelijk bewijs teorie sebagai dasar pencarian kebenaran materiil. Namun di sisi lain, perolehan alat bukti secara melawan hukum atau unlawful legal evidence tidak dapat dijadikan alat bukti.
"Hal ini mengedepankan keadilan prosedural yang lebih merujuk pada kebenaran formil," jelas Eddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Badan Geologi Pantau Ketat 127 Gunung Api Aktif di Indonesia
- Libur Nataru, KLH Prediksi Sampah Nasional Naik 59 Ribu Ton
- Lebih dari 4 Juta Senjata Beredar, Australia Luncurkan Buyback Nasion
- KPK Tangkap Enam Orang dalam OTT di Kalimantan Selatan
- Kakak Sulung Berpulang, Unggahan Atalia Praratya Mengharukan
Advertisement
SMAN 1 Tanjungsari Juara Liga Pelajar Gunungkidul 2025
Advertisement
Sate Klathak Mbah Sukarjo Hadirkan Kuliner Khas di Pusat Kota
Advertisement
Berita Populer
- Forum Anak Wirama Kampanyekan Pagar Diri Cegah Pergaulan Berisiko
- Gagal di SEA Games, Cahya Supriadi Fokus Bangkit Bersama PSIM Jogja
- Mediasi, Atalia Praratya dan Ridwan Kamil Sepakati Perceraian
- Kejari Sleman Dalami Peran Pihak Lain di Kasus Dana Hibah Pariwisata
- Kantor SAR Jogja Fokus Amankan Pantai Parangtritis Saat Nataru
- Mitigasi Bencana Menguatkan Warga Menghadapi Hoaks Kebencanaan
- Acer Hadirkan Exclusive Store dan Laptop AI Jogja
Advertisement
Advertisement



