Advertisement

Tanah di DIY Mahal, Investor Pening

Tim Lipsus Harian Jogja
Jum'at, 20 April 2018 - 11:25 WIB
Budi Cahyana
Tanah di DIY Mahal, Investor Pening Ilustrasi investasi. - Bisnis Indonesia

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Pertumbuhan investasi di DIY melambat dalam beberapa tahun terakhir. Tren kurang bagus ini berbarengan dengan membubungnya harga tanah secara tajam di beberapa wilayah, terutama yang ditempati proyek-proyek besar.

Pemda DIY mengakui harga tanah yang melambung adalah faktor utama yang penghambat masuknya investasi.

Advertisement

Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah DIY Budi Wibowo mengatakan DIY sejatinya menarik bagi banyak penanam modal. Namun, mereka kerap menahan diri lantaran harga tanah sudah kelewat tinggi.

Lahan di lokasi yang prospektif untuk bisnis sudah di atas Rp500.000 per meter persegi. Dengan harga sebesar itu, penanam modal harus banyak menimbang karena mereka perlu area di atas lima hektare.

Naiknya harga tanah terjadi di hampir semua kabupaten, terutama Kulonprogo. “Ini menjadi kendala paling utama [dalam mendatangkan investasi],” kata Budi di kompleks Kepatihan, Kamis (19/4/2018).

Setiap tahun, realisasi investasi di DIY memang meningkat, tetapi pertumbuhannya sejak 2014 lalu trennya cenderung menurun, dari 18.05% pada 2014 menjadi 6,43% tahun lalu.

Budi mengatakan, solusi yang sudah dipersiapkan Pemda DIY adalah dengan menerapkan bank tanah. Solusi ini dianggap sebagai kesempatan terbaik untuk meningkatkan investasi di DIY. Apalagi sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No 38/2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha, Pemda DIY punya peluang menerapkan bank tanah. Caranya adalah berkolaborasi dengan BUMN, BUMD atau perusahan swasta.

“Itu akan jadi peluang yang luar biasa. Tinggal BUMD-nya seperti apa,” imbuh Plt BKPM DIY ini.

Solusi kedua yang akan diambil DIY adalah memperpanjang durasi penyewaan tanah kas desa.

Budi menerangkan, selama ini investor hanya bisa menyewa tanah kas desa selama 20 tahun. Namun, setelah itu tidak ada kepastian bagi investor sehingga mereka merasa tidak tenang, padahal mereka sudah membangun prasarana.

Keluhan investor mengenai durasi tanah kas desa ini, menurut dia, terakhir muncul di Gunungkidul.

Menurut Budi, harus ada perjanjian untuk menentukan posisi masing-masing setelah ikatan 20 tahun berlalu.

“Itu harus disampaikan ke investor, biar tenang. Di Jepang saja, sewanya sampai 90 tahun,” kata Budi.

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gunungkidul berencana menyiapkan skema bank tanah (land banking) untuk mengendalikan harga lahan yang tidak wajar karena permainan calo.

“Garis besar land banking adalah pemerintah daerah akan menyediakan tanah agar investor bisa menyewa atau membelinya,” ujar Staff ahli bidang ekonomi dan pembangunan Pemkab Gunungkidul Krisna Berlian setelah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) 2019 di Bangsal Sewokoprojo, beberapa waktu lalu.

 

Memengaruhi Bisnis

Mahalnya harga tanah sangat berpengaruh terhadap beberapa bisnis, dari perhotelan hingga perumahan.

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Istidjab M. Danunagoro mengungkapkan daya tarik Jogja dan Sleman masih sangat kuat di mata investor. Namun, dua wilayah itu menerapkan moratorium hotel sehingga PHRI mendorong penanam modal untuk berinvestasi di Bantul, Kulonprogo, dan Gunungkidul.

Kendati demikian, harga tanah yang mahal membuat calon-calon investor berpikir ulang meski prospek bisnis di kawasan pariwisata cukup cerah.

Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) DIY Siswanto juga menilai harga tanah menyulitkan investor menanamkan modal.

“Di Jogja, investasi kebanyakan untuk masa depan, misalnya rumah. Tetapi untuk investasi bisnis masih berat karena harga tanah yang sangat mahal. Harga tanah di Jawa Tengah masih wajar, tetapi kalau sudah masuk Jogja, harganya sudah gila-gilaan,” ungkap Siswanto, Selasa (17/4/2018).

Dia mencontohkan pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang membutuhkan lokasi strategis. Banyaknya volume kendaraan yang melewati jalan akan menjadi perhitungan utama. Namun, jika harga tanah di lokasi yang ditentukan itu sudah mahal, investor akan berpikir keras untuk menentukan berapa lama balik modal dan mulai mendulang keuntungan.

“Di wilayah dekat bandara baru [New Yogyakarta International Airport di Kulonprogo], kebanyakan orang sudah membeli tanah di sana saat harga masih wajar. Tetapi kalau sekarang beli, harganya sudah tinggi sampai jutaan rupiah,” ujar dia.

Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Rama Adyaksa Pradipta mengatakan tingginya harga tanah sangat menghambat upaya pengembang untuk menyediakan rumah dengan harga yang bersahabat.

“Dengan harga tanah yang tinggi, supaya harga rumah tetap terjangkau masyarakat kami harus memperkecil ukuran kaveling, atau mencari lokasi yang jauh dari pusat kota. Namun jika sudah tidak bisa diupayakan lagi mau tidak mau harus bergeser ke hunian vertikal,” jelas Rama, Jumat (13/4/2018).

 

Terus Merangkak

Harga tanah di sekitar proyek besar di DIY sejak beberapa waktu lalu terus terkerek, meski sekarang mulai terkoreksi karena kepastian pembangunan

Mushodik, Ketua RT 12/RW, Dukuh 3, Pleret, Panjatan Mushodik mengatakan tanah di Desa Pleret yang terkena dampak pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) dan dekat dengan lokasi New Yogyakarta International Airport (NYIA) mulai menurun.

“Terakhir ada yang jual Rp1,3 juta [per meter persegi], padahal sebelumnya ada yang jual Rp1,5 juta,” kata dia, Jumat.

Menurut dia, harga tanah yang merangkak sejak 2012 saat ini berada di titik jenuh karena proyek bandara dan JJLS belum selesai.

“Sebelum pencanangan bandara hanya Rp150.000. Terus melonjak menjadi Rp1,5 juta,” ujar dia.

Menurut dia, tren penurunan tersebut juga terjadi di Glagah dan daerah sekitar NYIA.

“Mungkin kalau NYIA sudah berjalan 40% atau JJLS juga sudah jalan, harga tanah akan naik,” kata dia.

Lilik Syaiful Hadi, mantan Ketua Hipmi DIY yang tinggal di Desa Kaligintung, Kecamatan Temon, mengatakan harga tanah di sekitar bandara mulai turun karena proyek itu masih berjalan.

Pengusaha seperti dia cenderung akan menunggu karena membeli tanah dengan harga Rp1 juta hingga Rp 2 juta per meter sangat spekulatif. Setelah bandara selesai dan mulai dioperasikan, para pengusaha akan berani membeli atau menyewa lahan.

Di Bantul, lahan yang dilewati JJLS terus naik sejak dua tahun terakhir. Tanah di dekat JJLS dihargai Rp2juta-Rp2,5 juta per meter persegi.

Dalidjo, warga RT 03 Dusun Kuwaru, Poncosari, Srandakan, mengatakan sebelum ada JJLS harga tanah per meter di wilayahnya masih berkisar Rp300.000-Rp500.000. “Sekarang sudah di atas Rp1,5 jutaan,” kata dia.

Ia punya lahan di utara JJLS seluas sekitar 700 meter persegi. Sudah banyak orang yang naksir tanahnya dan menawarkan harga Rp1,5 juta.

“Tanah saya di dekat rumah yang 1.000 meter sudah ditawar Rp1 juta per meter. Kalau yang pinggir jalan raya ditawar Rp1,5 juta. Tapi saya belum minat untuk menjualnya,” ucap Dalidjo.

 

Objek Wisata

Tidak hanya di wilayah pesisir, tanah di beberapa objek wisata di Bantul juga naik. Misalnya di Jalan Imogiri-Mangunan. Harga jual sudah di kisaran Rp1 juta. Namun untuk lokasi yang berjarak sekitar 300 meter dari jalan utama Imogiri-Mangunan masih dihargai Rp150.000 per meter.

Sekretaris Desa Mangunan Dwi Eko Susanto mengatakan kenaikan harga tanah mulai dirasakan sejak tiga tahun terakhir atau sejak ramainya wisatawan yang berkunjung ke Mangunan.

Menurut dia, sebelum 2015 lalu harga tanah di Jalan Imogiri-Mangunan masih berkisar Rp400.000-500.000 per meter.

Bahkan harga tanah di dalam kampung yang tadinya masih Rp50.000 per meter saat ini sudah mencapai Rp400.000. Meski ada kenaikan harga tanah, Eko mengaku belum banyak warga yang menjualnya.

“Tidak tahu nanti kalau harga tanah naik lagi. Kami tidak bisa melarang kalau ada warga yang menjual tanahnya,” ujar Eko.

Eko mengharapkan warga tidak menjual tanahnya dan sebaiknya menggunakannya sebagai lahan usaha yang menunjang pariwisata.

Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bantul, Yohanes Supama mengatakan kenaikan tanah paling dirasakan di wilayah pesisir selatan karena adanya JJLS.

Dari peta nilai jual objek pajak (NJOP) yang disusun BPN Bantul, harga tanah untuk kawasan tertentu yang dekat dengan objek wisata di pesisir seperti Pantai Parangtritis bahkan ada yang tembus Rp2,5 juta per meter. Namun masih banyak juga yang harga per meter persegi Rp1,5 jutaan. Bahkan yang lokasinya lebih dari 200 meter dari JJLS masih ada yang harganya Rp200.000-Rp300.000.

BPN Bantul setiap tahun menyusun NJOP bersama Kantor Wilayah BPN DIY. “Warga masyarakat yang ingin mengetahui NJOP tiap wilayah bisa menanyakan langsung ke Kantor BPN Bantul.”

Adapun kenaikan harga tanah di kawasan wisata pantai dan sekitar JJLS di Desa Kemadang, Tanjungsari, Gunungkidul, belum begitu terlihat.

Sutono, Kepala Desa Kemadang, Tanjungsari, mengatakan ada beberapa hal yang memengaruhi harga, terutama jarak dengan pantai.

“Kalau yang dekat pantai cukup mahal, ada yang sampai Rp500.000 per meter persegi. Biasanya buat usaha,” ucap dia, Kamis (12/4/2018).

Pembeli tanah di Kemadang kebanyakan adalah warga sekitar, hanya segelintir yang berasal dari Jogja maupun Jakarta.

Ahmad Suraya, Kepala BPN Gunungkidul, mengatakan kenaikan harga tanah akibat proyek JJLS belum signifikan. “Belum begitu mahal,” ujar dia.

Dia mencontohkan beberapa harga tanah di kawasan selatan. Di Desa Ngestirejo, Tanjungsari, harga dipatok Rp350 juta dengan luas tanah 941 meter persegi. Di Jerukwudel, Rongkop, luas tanah 308 meter persegi dihargai Rp30 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Pendaftaran Ditutup, Ini 8 Nama yang Mendaftar Lewat Golkar di Pilkada Bantul 2024

Bantul
| Kamis, 25 April 2024, 16:57 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement