Advertisement

Soal Pernyataan Tentang MoU Helsinki, Yusril Berharap Masyarakat Aceh Tidak Salah Paham

Newswire
Kamis, 19 Juni 2025 - 17:57 WIB
Abdul Hamied Razak
Soal Pernyataan Tentang MoU Helsinki, Yusril Berharap Masyarakat Aceh Tidak Salah Paham Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra. ANTARA - HO/Kemenko Kumham Imipas RI

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra berharap masyarakat Aceh tidak salah paham terhadap pernyataannya terkait dengan kedudukan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki dan UU No.24/1956 dalam penyelesaian status empat pulau yang sempat menjadi polemik antara Aceh dan Sumatera Utara.

Meskipun polemik mengenai Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang telah selesai melalui keputusan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah Provinsi Aceh, sejumlah tokoh masyarakat Aceh menanggapi pernyataan Yusril secara keliru.

Advertisement

"Tidak seorang pun di negara ini yang menafikan peranan MoU Helsinki sebagai titik tolak penyelesaian masalah Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI," kata Yusril dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia di Sydney, Australia, Kamis (19/6/2025).

BACA JUGA: Presiden Prabowo Putuskan 4 Pulau Milik Aceh, Bukan Sumut

Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa dirinya menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) ketika perundingan Helsinki berlangsung sehingga terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam diskusi internal pemerintah RI dengan Tim Perunding dalam menyepakati MoU, termasuk pula menindaklanjuti hasil MoU itu.

Selain itu, dia mengaku bersama Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf juga ditugasi Presiden membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai selesai.

Menko Kumham Imipas sangat memahami bahwa semangat dari MoU Helsinki merupakan titik tolak dalam menyelesaikan persoalan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh.

Namun, dalam konteks penyelesaian status empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, kata dia, rujukannya tidak bisa secara langsung pada MoU Helsinki dan UU Nomor 24 Tahun 1956.

MoU Helsinki menegaskan bahwa wilayah Aceh mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1956, tetapi undang-undang itu hanya menyebutkan kabupaten-kabupaten mana saja yang masuk wilayah Provinsi Aceh.

"Sementara status empat pulau, sepatah kata pun tidak disebutkan dalam undang-undang tersebut," ujar dia.

Untuk itu, Menko menyampaikan bahwa penentuan batas daerah provinsi, kabupaten, dan kota harus mengacu kepada ketentuan yang lebih mutakhir, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

UU tersebut, sambung dia, menegaskan bahwa batas daerah diputuskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri). "Itu kalau undang-undang tentang pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota yang baru tidak menentukan secara jelas batas-batas koordinat daerah yang dimekarkan itu. Itu inti penjelasan saya," tutur Yusril.

Dengan demikian, Yusril mengaku heran atas adanya berbagai pihak yang menuduh dirinya tidak menghargai MoU Helsinki dan bahkan melontarkan berbagai kecaman.

Terkait dengan keputusan Presiden Prabowo, dia menilai bahwa keputusan tersebut mengacu pada dokumen kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar pada tahun 1992 yang dibuat atas arahan presiden ke-2 RI H.M. Soeharto dan Mendagri periode 1988—1993 Rudini kala itu.

Pada tahun 1992, dia mengungkapkan belum terdapat MoU Helsinki, yang menjadi rujukan dan semangat bersama dalam menyelesaikan masalah apa pun antara pemerintah pusat dengan Pemerintah Provinsi Aceh. "Rujukan detailnya bisa mengacu kepada rujukan lain seperti Kesepakatan Tahun 1992 tersebut," katanya menambahkan.

Menko pun menekankan bahwa komitmennya membantu masyarakat Aceh tidak pernah berubah sejak gurunya, Prof. Osman Raliby, memperkenalkan dirinya dengan Tengku Muhammad Daoed Beureueh pada tahun 1978.

Ia mengaku turut mengusulkan nama Nanggroe Aceh Darussalam dan keberadaan Qanun Aceh untuk mengimplementasikan syariat Islam di Aceh sebelum MoU Helsinki. "Saya kualat dengan Tengku Daoed Beureueh dan Prof. Osman Raliby kalau sampai saya tidak membantu masyarakat Aceh," ucap Menko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Mandiri Jogja Marathon Manjakan Pelari Dan Pengunjung Dalam Race Pack Collection

Jogja
| Kamis, 19 Juni 2025, 22:07 WIB

Advertisement

alt

Destinasi Wisata Puncak Sosok Bantul Kini Dilengkapi Balkon KAI

Wisata
| Jum'at, 06 Juni 2025, 16:02 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement