Advertisement

11 Mahasiswa Ajukan Pencabutan Pasal Ujaran Kebencian UU ITE ke MK

Newswire
Senin, 17 Maret 2025 - 15:47 WIB
Sunartono
11 Mahasiswa Ajukan Pencabutan Pasal Ujaran Kebencian UU ITE ke MK Gedung Mahkamah Agung (MA), Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Antara - ist/DinasKebudayaanJkt

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Sebelas mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut aturan penyebaran kebencian kepada masyarakat tertentu dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pada sidang perbaikan permohonan di MK para pemohon yang hadir secara daring juga meminta MK menyatakan Pasal 45A Ayat (2) UU ITE yang mengatur ketentuan pidana atas Pasal 28 Ayat (2) UU ITE bertentangan dengan konstitusi.

Advertisement

“Menyatakan Pasal 28 Ayat (2) Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata perwakilan para Pemohon, Muhammad Zhafran Hibrizi Senin (17/3/2025).

Pasal 28 Ayat (2) UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

BACA JUGA: Pilkada Temanggung 2024: Partai dan Tokoh Masyarakat Deklarasi Tolak Politik Uang hingga Politisasi SARA

Sementara itu, Pasal 45A Ayat (2) UU ITE mengatur bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 Ayat (2) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

Menurut para Pemohon, pasal yang dipersoalkan tidak memiliki patokan atau parameter yang jelas, khususnya mengenai frasa “rasa kebencian atau permusuhan” dan “masyarakat tertentu”.

Mereka menilai, pasal dimaksud dapat menimbulkan perbedaan tafsir yang rentan penyalahgunaan hukum dan berpotensi diskriminatif sehingga bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Dalam berkas permohonannya, para Pemohon menjelaskan, frasa “rasa kebencian atau permusuhan” tidak memiliki ukuran jelas tindakan seperti apa yang dapat dikategorikan ke dalam frasa tersebut.

Menurut mereka, jika seseorang menyebarkan informasi yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain, tetapi ternyata tidak menimbulkan kebencian atau permusuhan, seharusnya tidak dapat dinyatakan melanggar Pasal 28 Ayat (2) sehingga dipidana berdasarkan Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.

“Lantas, ukuran dari timbulnya rasa kebencian dan permusuhan tidak dapat diukur dan dihitung dengan angka, sebab bersifat abstrak,” kata para Pemohon dalam berkas permohonannya.

Para Pemohon meyakini ukuran yang jelas atas suatu pasal ialah ketika didapati kerugian materiil yang tampak jumlah dan angka pastinya, sementara timbulnya rasa benci dan permusuhan dinilai termasuk kerugian immateriil yang tidak dapat diukur.

“Bisa jadi korban A merasakan kerugian tersebut dikarenakan menimbulkan rasa benci atau permusuhan oleh orang lain terhadap dirinya dikarenakan informasi yang tersebar, sedangkan korban B tidak merasakan hal tersebut dan terlihat biasa saja,” demikian argumentasi Pemohon.

Di samping itu, mereka juga menilai frasa “masyarakat tertentu” memungkinkan adanya tafsir yang berbeda-beda. Kesalahan penafsiran dikhawatirkan dapat merugikan setiap orang yang mengkritik suatu komunitas sosial yang tidak berafiliasi atas nama ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

Frasa “masyarakat tertentu” turut dinilai tidak memberikan batasan yang jelas, apakah yang dimaksud adalah kelompok yang dilindungi secara hukum atau kelompok berdasarkan karakteristik tertentu, seperti ras, etnis, atau agama.

“Ketidakjelasan ini membuka peluang interpretasi yang diskriminatif terhadap kelompok atau individu tertentu,” imbuh mereka dalam permohonannya.

Atas dasar argumentasi tersebut, sebelas mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas ini meminta MK menyatakan Pasal 28 Ayat 2 dan Pasal 45 Ayat (2) UU ITE inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

BACA JUGA: Diduga Melakukan Penistaan Agama, Kreator konten Agatha of Palermo Dilaporkan ke Polisi

Para Pemohon pun mengajukan petitum alternatif, yakni setidak-tidaknya menyatakan frasa “masyarakat tertentu” inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; atau menyatakan frasa “kebencian dan permusuhan” inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak diberikan penjelasan lebih lanjut.

Permohonan tersebut diregister dengan Nomor 187/PUU-XXII/2024. Para Pemohon, antara lain, Muhammad Zhafran Hibrizi, Basthotan Milka Gumilang, Adria Fathan Mahmuda, Suci Rizka Fadhilla, Nia Rahma Dini, Qurratul Hilma, Fadhilla Rahmadiani Fasya, Adam Fadillah Al Basith, Hafiz Haromain Simbolon, Khoilullah MR, dan Tiara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Antara

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Program Makan Gratis di Gunungkidul Selesai, Anggaran Sisa Rp33 Juta

Gunungkidul
| Senin, 17 Maret 2025, 20:27 WIB

Advertisement

alt

Ulu Camii, Masjid Agung yang Indah dengan 20 Kubah Besar

Wisata
| Sabtu, 15 Maret 2025, 11:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement