Advertisement

JATAM: Banjir dan Longsor di Sumatra Dipicu Tambang, PLTA, dan PLTP

Iim Fathimah Timorria
Rabu, 03 Desember 2025 - 13:17 WIB
Sunartono
JATAM: Banjir dan Longsor di Sumatra Dipicu Tambang, PLTA, dan PLTP Kondisi Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Kabupaten Aceh Timur setelah banjir bandang, Kamis (27/11/2025). ANTARA - ist.Warga

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap dampak masif bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat tidak hanya dipicu oleh perubahan bentang alam akibat aktivitas tambang mineral dan batu bara, tetapi juga karena pengembangan proyek energi terbarukan.

JATAM mencatat setidaknya terdapat 28 proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang beroperasi atau dikembangkan di Pulau Sumatra. Sebaran terbesar berada di Sumatra Utara sebanyak 16 titik, diikuti Bengkulu dengan lima PLTA, Sumatra Barat dengan tiga PLTA, Lampung dua PLTA, dan Riau memiliki dua PLTA.

Advertisement

“Sebaran operasi PLTA ini menandakan bahwa hampir semua provinsi di Sumatra sedang didesak menjadi basis energi air yang sarat risiko ekologis,” tulis JATAM dalam laporannya.

Di antara titik tersebut, terdapat PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas di Sumatra Utara yang memanfaatkan aliran dari salah satu daerah aliran sungai (DAS) utama di ekosistem Batang Toru. Kawasan yang secara ekologis penting itu kini dipenuhi bendungan, terowongan air, dan jaringan infrastruktur lain menurut laporan JATAM.

Berdasarkan analisis deret waktu citra Google Satellite/Google Imagery yang dilakukan JATAM per 28 November 2025, proyek PLTA Batang Toru sendiri telah membuka sedikitnya 56,86 hektare kawasan hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang. Hal ini tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.

“Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai, mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk terjadi bersamaan,” lanjut laporan tersebut.

Di saat yang sama, perluasan energi panas bumi juga mengunci ruang hidup di banyak kawasan pegunungan pulau Sumatra. Saat ini terdapat delapan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang sudah beroperasi.

Sebanyak empat PLTP berada di Sumatra Utara, satu di Sumatra Barat, dua di Sumatra Selatan, dan satu di Lampung. Angka ini belum termasuk wilayah yang masih berstatus Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) maupun Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang sedang dieksplorasi.

Dengan demikian masih ada lapisan risiko baru di masa depan ketika WPSPE dan WKP ini naik kelas menjadi operasi penuh, disertai pembukaan hutan untuk sumur produksi, jaringan pipa, dan akses jalan. Apalagi, sebagian besar proyek panas bumi berada di lereng-lereng gunung berbentang curam. Kombinasi pembukaan hutan, pengeboran, dan perubahan struktur tanah berpotensi menambah kerentanan terhadap longsor dan banjir bandang.

“Jika seluruh angka ini disatukan, terlihat jelas bahwa wajah Sumatra saat ini adalah pulau yang tubuh ekologisnya dibebani tiga lapis industri sekaligus, yakni tambang minerba yang merusak tutupan hutan dan tanah, PLTA yang memotong dan mengatur ulang aliran sungai, serta PLTP berikut WPSPE/WKP yang menggali kawasan pegunungan dan hulu DAS,” tulis JATAM.

Adapun gambar satelit memperlihatkan bahwa pembangunan PLTA Batang Toru berkapasitas 510 megawatt (MW) yang turut didanai China berkontribusi pada alih fungsi kawasan di DAS Batang Toru. PLTA tersebut ditargetkan mulai beroperasi pada 2026.

Reuters dalam laporannya menyebutkan tidak bisa memperoleh konfirmasi dari North Sumatra Hydro Energy, pengelola PLTA tersebut. Induk dari perusahaan tersebut, yakni SDIC Power Holdings dari China, juga tidak langsung memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.

Walhi pernah mengajukan gugatan pada 2018 untuk mencabut izin pemerintah terkait proyek PLTA tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun gugatan itu ditolak pada 2019.

“Bencana ini bukan semata-mata akibat faktor alam, tetapi juga faktor ekologis, yakni salah kelola sumber daya alam oleh pemerintah,” ujar Walhi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Sleman Siapkan Lahan dan Infrastruktur PSEL di Eks TPA Piyungan

Sleman Siapkan Lahan dan Infrastruktur PSEL di Eks TPA Piyungan

Sleman
| Rabu, 03 Desember 2025, 13:37 WIB

Advertisement

KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona

KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona

Wisata
| Minggu, 30 November 2025, 19:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement