Advertisement
Pengamat Desak DPR Segera Gelar Rapat Teknis Terkait RUU Perampasan Aset

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA — Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mendesak DPR RI untuk tidak berhenti pada wacana, dan segera menggelar rapat teknis pembahasan RUU Perampasan Aset dalam waktu secepat-cepatnya.
Pernyataan ini disampaikan menanggapi kabar dari Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas dan Bob Hasan, yang menyebut bahwa usulan RUU Perampasan Aset baru akan masuk ke Prolegnas Prioritas 2025 dan menunggu keputusan rapat paripurna.
Advertisement
“Hari ini publik tidak sedang menunggu wacana. Mereka menuntut tindakan. RUU ini tidak cukup sekadar dimasukkan dalam daftar. DPR harus segera bahas isinya secara konkret, pasal per pasal. Bukan ditunda, bukan dijanjikan,” ujar Hardjuno, Kamis (11/9/2025).
BACA JUGA: Rahayu Saraswati Umumkan Mundur dari DPR lewat Instagram
Menurutnya, kondisi sosial dan psikologis masyarakat sudah sangat jenuh dan frustrasi dengan lemahnya penegakan hukum terhadap koruptor. Situasi ini bisa berubah menjadi krisis sosial yang lebih dalam jika negara terus menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani akar masalah.
“Lihat apa yang terjadi di Nepal, Sri Lanka, bahkan Chile. Kemarahan publik terhadap elite yang tidak berubah bisa meledak sewaktu-waktu. Kalau DPR masih bicara soal proses administratif, itu berarti mereka gagal membaca detak jantung rakyat,” tegasnya.
Memiskinkan Koruptor
Hardjuno kembali menekankan bahwa substansi dari RUU Perampasan Aset tidak boleh berhenti pada prosedur teknis penyitaan. RUU ini harus dibingkai sebagai langkah awal dalam strategi nasional pemiskinan koruptor—bukan hanya mengambil aset yang terbukti hasil korupsi, tapi juga memberlakukan sistem illicit enrichment terhadap kekayaan tak wajar.
“Ini bukan soal harta bukti kejahatan semata. Ini soal gaya hidup pejabat yang tidak bisa dijelaskan asal muasalnya. RUU ini harus disertai keberanian moral untuk memiskinkan koruptor secara sistemik,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset hanya boleh digunakan untuk tindak pidana kelas berat seperti mega-korupsi dan kejahatan terorganisir, dengan ambang batas kerugian negara minimal Rp1 triliun. Di luar itu, negara perlu membuat mekanisme pemiskinan koruptor berbasis pembuktian terbalik—di mana siapa pun yang tak bisa menjelaskan asal harta kekayaannya, wajib disita melalui proses hukum.
Jangan Lagi Tipu Publik
Dalam pandangannya, selama ini negara kerap berdalih perlu UU baru, padahal banyak regulasi yang sudah memungkinkan perampasan dan pemiskinan koruptor—seperti UU Tipikor, UU TPPU, KUHAP, hingga putusan MK.
“UU-nya ada semua. Masalahnya kita tidak pernah menegakkannya. Kita sibuk bikin undang-undang baru tapi tak berani menjalankan yang sudah ada. Jangan sampai RUU ini cuma jadi akrobat politik,” kata Hardjuno.
Hardjuno menegaskan bahwa kehadiran RUU Perampasan Aset bukan berarti membatalkan peran undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Sebaliknya, RUU ini dibutuhkan untuk menambal celah, mempertegas prosedur, dan memperluas efektivitas hukum yang selama ini tidak dijalankan dengan konsisten. Ia menyebut, RUU ini harus dibaca sebagai bagian dari strategi penguatan instrumen hukum yang sudah lama disia-siakan negara.
“UU Tipikor dan TPPU memberi dasar, tapi implementasinya terbatas dan sering tidak maksimal. RUU Perampasan Aset harus hadir bukan untuk menggantikan, tapi untuk mempertegas, mempercepat, dan memperluas upaya pemiskinan terhadap pelaku kejahatan ekonomi berat,” jelasnya.
Menurut Hardjuno, selama ini penyitaan dan pemiskinan hanya dilakukan jika ada putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Padahal banyak koruptor dan pelaku pencucian uang justru lihai melarikan diri sebelum proses hukum berjalan, atau menggunakan orang lain sebagai “penampung aset”.
Karena itu, RUU ini dibutuhkan agar negara bisa bertindak lebih cepat dengan standar pembuktian yang kuat, meskipun belum ada vonis pidana—tentu dengan tetap menjamin hak asasi dan proses hukum yang adil.
“Kita perlu mekanisme yang bisa menyita lebih dulu, bukan menunggu sampai semuanya keburu hilang. Tapi harus dibatasi ketat: hanya untuk kejahatan luar biasa, dengan nilai kerugian besar, dan melalui pengadilan terbuka. Di situlah pentingnya RUU ini,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Mahasiswa UGM Siap Berlaga di Kompetisi Internasional Prototipe Mobil Kimia
Advertisement

Wisata Favorit di Asia Tenggara, dari Angkor Wat hingga Tanah Lot
Advertisement
Berita Populer
- Agensi Tak Dapat Kuota Jika Tak Setor Uang ke Pejabat Kemenag
- Sejumlah PR Karding yang Dititipkan kepada Mukhtarudin Sebagai Menteri P2MI
- Didik Madiyono Jadi Plt Ketua DK untuk Gantikan Purbaya
- Dua Orang Meninggal Dunia Akibat Banjir Bali
- Cara Daftar dan Cek Pengumuman Hasil Seleksi PPG 2025
- Pendemo Bakar Rumah Pejabat Elit, Istri Mantan PM Nepal Tewas
- DPR RI Nilai RUU Perampasan Aset Bisa Dibahas Paralel di Komisi III
Advertisement
Advertisement