Tembus Rp8.000 T, Siapa Capres yang Berani Tanggung Warisan Utang Jokowi?
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA–Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) banyak meninggalkan berbagai proyek infrastruktur nan megah, mulai dari jalan tol trans Jawa dan Sumatra hingga Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan lengser dari kursi RI 1 pada tahun depan. Namun, Presiden terpilih juga akan menanggung warisan utang dengan nilai yang fantastis.
Advertisement
Siapapun sosok Presiden yang akan memenangkan kontestasi Pemilu 2024 dipastikan akan menerima "warisan" berupa utang yang nilainya diperkirakan lebih dari Rp8.000 triliun.
BACA JUGA: 10 Negara Pemberi Utang Jumbo untuk Indonesia
Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah senilai Rp7.855,53 triliun dengan rasio 37,78 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) RI per Juli 2023.
Meski secara nominal utang meningkat dari bulan sebelumnya, Kemenkeu menyatakan rasio utang pada Juli 2023 menurun jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar 37,93 persen dan dibandingkan dengan per akhir 2022. Rasio utang per Juli 2023 juga berada jauh di bawah batas aman 60 persen dari PDB.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan capaian rasio utang Indonesia menjadi yang terendah di antara kelompok negara G20 dan Asean. Jokowi menjelaskan saat ini rasio utang sudah menurun dari 40,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2021 menjadi 37,8 persen pada Juli 2023.
Capaian tersebut lebih rendah dari rasio utang Malaysia yang saat ini berada di tingkat 66,3 persen terhadap PDB. Sementara rasio utang China berada di posisi 77,1 persen dan India sebesar 83,1 persen.
“Rasio utang Indonesia juga salah satu yang paling rendah di antara kelompok negara G20 dan Asean, bahkan sudah menurun dari 40,7 persen PDB di tahun 2021 menjadi 37,8 persen di Juli 2023,” ujarnya pada Pidato Kenegaraan dalam rangka Penyampaian Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2024 beserta Nota Keuangan, Rabu (16/8/2023).
Sepanjang Januari-Juli 2023 (year-to-date/ytd), pemerintah telah menarik utang baru sebesar Rp194,9 triliun. Kemenkeu memperkirakan outlook pembiayaan utang tersebut akan lebih rendah dari target APBN senilai Rp696,3 triliun, menjadi Rp406,4 triliun yang akan digunakan untuk menutup defisit APBN sebesar 2,28 persen terhadap PDB.
Artinya, hingga sisa akhir 2023, terdapat potensi utang yang akan ditarik sebesar Rp211,5 triliun. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan total utang pemerintah akan tembus Rp8.000 triliun pada awal tahun depan.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai dengan kenaikan jumlah penarikan utang yang dan jumlah jatuh tempo utang yang diperkirakan akan mencapai Rp648 triliun. Hal itu dipastikan semakin memupuk outstanding utang pemerintah menjadi lebih besar.
“Maka tentu peluang utang akan mencapai Rp8.000 triliun akan ada,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (20/8/2023).
Mengutip dari buku Nota Keuangan 2024, pemerintah merencanakan penarikan utang baru senilai Rp648,1 triliun pada tahun depan atau periode akhir kepemimpinan Presiden Jokowi.
Dari outlook tersebut, pemerintah menargetkan pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp666,44 triliun pada 2024. Jumlah tersebut lebih tinggi Rp303,5 triliun dari outlook utang pemerintah pada 2023.
Pembiayaan utang yang naik hampir 100 persen tersebut dilakukan dalam rangka konsolidasi fiskal serta menutup defisit anggaran sebesar 2,29 persen PDB atau sebesar Rp522,8 triliun.
Selain untuk menutup defisit APBN, pembiayaan utang juga dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pembiayaan, seperti pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, serta kewajiban penjaminan.
Meski demikian, penarikan utang tersebut masih lebih rendah dari 2020 yang mencapai Rp1.229 triliun, disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Pada 2024, kondisi perekonomian diharapkan semakin pulih ditopang pemulihan ekonomi negara Asia termasuk China dan India. Hal ini diharapkan dapat mendorong ekonomi domestik tumbuh semakin solid dan mendorong peningkatan penerimaan negara sehingga defisit APBN dapat ditekan kembali dan pembiayaan utang semakin menurun.
Utang Tak Produktif
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar melihat ada risiko besar terkait penarikan utang oleh pemerintah saat ini. Dia menilai penarikan utang, khususnya yang bersumber dari luar negeri, gagal menghasilkan nilai tambah ekonomi atau belum produktif.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) melaporkan posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia mencapai US$396,3 miliar pada akhir kuartal II/2023, turun dari akhir kuartal I/2023 yang tercatat senilai US$403,2 miliar.
“Problem yang utama di Indonesia itu, utang luar negeri sudah berdampak negatif pada ekonomi karena suboptimal transfers, dimana pertumbuhan hutang tidak secepat tumbuhnya ekonomi, terutama karena problem distribusi income,” ujar Media.
Dia menjelaskan kondisi tersebut terjadi ketika utang yang besar untuk mendorong permintaan, tetapi tidak meningkatkan jumlah suplai. Media mengingatkan saat ini banyak infrastruktur yang mangkrak dan salah sasaran, misalnya bandara yang kosong seperti Kertajati di Majalengka, JB Soedirman di Purbalingga, hingga Ngloram di Blora.
Selain itu, dia menyoroti penggunaan utang luar negeri untuk membangun pelabuhan atau tol laut. Meski sudah dibangun, dia mengatakan barang yang diangkut tidak ada, tidak reguler karena produk dalam negeri terpukul oleh barang impor dan industrialisasi tidak berjalan maksimal.
“Dampaknya dalam jangka pendek, inflasi dan represi finansial, pengangguran maikin banyak karena tidak terserap. Pada akhirnya pertumbuhan ekonomi melambat dan meningkatkan risiko gagal bayar utang,” tambahnya.
Meski demikian, pemerintah tetap membutuhkan pembiayaan utang untuk menutup defisit APBN. Penerimaan negara yang berada di level Rp2.000an triliun sementara belanja lebih dari Rp3.000 triliun. Hal itu, katanya, membuat pemerintah masih harus menarik utang baru.
Di sisi lain, Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet menyayangkan pemerintah belum mampu menggali sumber pembiayaan yang sifatnya campuran atau melibatkan swasta dalam skala besar.
Di saat yang bersamaan, pajak yang menjadi sumber utama penerimaan negara saat ini belum sebaik prapandemi Covid-19. Yusuf menuturkan sulit untuk mengukur produktivitas utang yang dilakukan pemerintah dilihat dari kondisi ataupun rasio utang terhadap PDB.
“Rasio pajak terhadap PDB yang juga relatif masih rendah sehingga pendanaan pembangunan kemudian banyak dibiayai melalui penarikan nominal utang,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (20/8/2023).
Risiko Banyak Utang
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Suminto menjelaskan bahwa pembiayaan utang dalam RAPBN ataupun APBN sifatnya merupakan rencana, di mana realisasinya nanti akan sangat dipengaruhi oleh kinerja APBN.
Jika kinerja APBN tahun berjalan sangat baik, khususnya pendapatan negara yang lebih tinggi dari target, maka defisit anggaran dapat turun dan kebutuhan pembiayaan utang pun lebih rendah.
Sama halnya seperti kondisi 2023, yang mana outlook pembiayaan utang akan lebih rendah dari target APBN senilai Rp696,3 triliun, menjadi Rp406,4 triliun.
Perkembangan infrastruktur yang cukup masif, mulai dari LRT, MRT, hingga beragam bandar udara memang mencatat adanya pembangunan bangsa. Namun, setiap pembangunan pasti akan menambah jumlah utang pemerintah.
Untuk itu, pemerintah memastikan terus menjaga risiko portofolio utang dengan baik. Suminto melihat terdapat dua utama risiko, mulai dari nilai tukar dan pembiayaan kembali atau refinancing.
Dari sisi risiko nilai tukar (currency risk), Suminto menekankan bahwa terjaga baik di mana pemerintah lebih mengandalkan penerbitan utang dalam Rupiah. Per akhir Juli 2023, sebesar 72,4 persen outstanding utang Pemerintah dalam mata uang Rupiah.
“Sementara risiko pembiayaan kembali [refinancing risk] juga terjaga baik dengan rata-rata waktu jatuh tempo utang Pemerintah yang cukup panjang, yaitu 8,15 tahun,” katanya.
Berdasarkan berbagai penelitian, dia meyakini bahwa investasi di bidang pendidikan akan menghasilkan return sekitar 22 persen, sementara itu di bidang infrastruktur akan menghasilkan return sekitar 20 persen.
Kedua sektor tersebut memang tercatat memiliki pos anggaran belanja paling jumbo, yang jika digabungkan tembus Rp1.000 triliun, baik pada 2023 maupun 2024.
Dengan demikian, dia mengatakan utang menjadi salah satu instrumen dalam pengelolaan keuangan dalam membiayai APBN untuk mencapai tujuan pembangunan.
Akhirnya, pemerintahan Presiden Jokowi masih punya waktu setidaknya satu tahun lagi untuk menuntaskan seluruh program kerja dan meneruskan estafet kepemimpinan kepada Presiden selanjutnya.
Lantas, siapa bakal calon presiden (bacapres) yang siap menanggung warisan utang dari Jokowi? Apakah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, atau Anies Baswedan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Terkait Pemulangan Mary Jane, Filipina Sebut Indonesia Tidak Minta Imbalan
- Polisi Tembak Polisi hingga Tewas di Solok, Polda Sumbar Dalami Motifnya
- Eks Bupati Biak Ditangkap Terkait Kasus Pelecehan Anak di Bawah Umur
- Profil dan Harta Kekayaan Setyo Budiyanto, Jenderal Polisi yang Jadi Ketua KPK Periode 2024-2029
- Pakar Hukum Pidana Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Masih Prematur
Advertisement
Masa Tenang Pilkada, Bawaslu Jogja Berpatroli Cegah Praktik Politik Uang
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Inggris Dukung Indonesia Tambah Kapal Tangkap Ikan
- Presiden Prabowo dan PM Inggris Sepakat Dukung Gencatan Senjata di Gaza
- RUU Tax Amnesty Tiba-tiba Masuk Prolegnas, Pengamat: Prioritas Saat Ini Justru RUU Perampasan Aset
- Bareskrim Polri Pulangkan DPO Judi Online Situs W88 dari Filipina
- KJRI Hamburg Jerman Resmi Melayani Permohonan Paspor Elektronik
- Koperasi Diminta Bergerak Ikut Bantu Pelaku UMKM dan Perangi Rentenir
- Pembangunan Kesehatan di Indonesia Berkembang, Hanya Saja Masih Menghadapi Kesenjangan dengan Negara Maju
Advertisement
Advertisement