Advertisement

Jejak Kelam Inggris di Jogja, Rampok Harta Kraton dan Asingkan Sultan ke Malaysia

Edi Suwiknyo
Senin, 19 September 2022 - 10:37 WIB
Budi Cahyana
Jejak Kelam Inggris di Jogja, Rampok Harta Kraton dan Asingkan Sultan ke Malaysia Letnan Jenderal Jawa Thomas Stamford Raffles. - Istimewa/Dinas Kebudayaan Jogja

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTARatu Elizabeth II, pemimpin takhta Kerajaan Inggris, meninggal dunia beberapa hari lalu dan dimakamkan Senin (19/9/2022) hari ini.

Inggris pernah meninggalkan jejak kelam dalam sejarah Indonesia, terutama Jawa. Peristiwa itu terjadi pada Juni 1812 atau lebih dari 200 tahun lalu.

Advertisement

Syahdan, Inggris berkuasa di tanah Jawa seusai mengalahkan Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens, pengganti Daendels, dalam peperangan melawan Belanda, yang disokong Prancis.

Perang antara Inggris dan Prancis di Jawa merupakan bagian dari perang besar Napoleon Bonaparte di tanah Eropa. Belanda dikuasai Prancis dan Janssens adalah wakil Prancis di Hindia Timur. 

Thomas S Raffles kemudian diangkat sebagai Letnan Gubernur Jawa. Raffles oleh para penguasa lokal semula dianggap lebih baik perangainya dibandingkan Daendels.

Sri Sultan Hamengku Buwono II, salah satu penguasa lokal yang sempat dilengserkan dari Kraton Jogja oleh Daendels, memandang bahwa pergantian kekuasan dari Belanda dan Inggris adalah pertanda baik. Dia memanfaatkan itu untuk kembali naik takhta. Patih Danureja II dibunuh.

"Jika Sultan HB II mengira bahwa Raffles akan berbeda dari Daendels, maka segera terbukti bahwa dia salah," tulis M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, yang dikutip Senin (19/9/2022).

Raffles adalah pembaharu dan penentang depotisme laiknya Daendels. Meski demikian, hubungan antara Raffles dan Hamengkubuwono II berjalan baik. Tidak ada masalah.

Namun lambat laun hubungan keduanya memburuk. Apalagi, Sultan Hamengku Buwono II dikenal sebagai penguasa yang berwatak keras dan anti terhadap penguasa Eropa.

Sri Sulan Hamengkubuwono IISri Sultan Hamengkubuwono II, Sumber: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta

Permusuhan Sultan dengan Inggris pecah saat utusan Inggris, John Crawfurd mengunjungi Istana Jogja pada November 1811. Dia dimaki oleh Sultan Hamengku Buwono II. 

Pada Desember 1811, giliran Raffles sendiri yang berkunjung ke Istana Jogja. Dia bernasib sama dengan Crawfurd, mendapat sikap permusuhan dari Hamengku Buwono II.

"Satu kejadian hampir saja menimbulkan perkelahian bersenjata di dalam ruangan yang penuh orang."

Konflik antara Inggris dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadinungrat mulai memuncak. Hal ini diperparah dengan gesekan di internal Istana antara Pangeran Natakusuma dengan Hamengku Buwono II. Natakusuma dibebaskan dari penjara. Dia bersekutu dengan Inggris. Putra Mahkota juga berada di kubu Inggris.

Di sisi lain, Pakubuwono IV, penguasa Kasunanan Surakarta, juga mengambil peran. Dia memprovokasi Hamengku Buwono II untuk melawan Inggris. Pakubuwono mengirim surat ke Hamengku Buwono. Namun persekongkolan semu itu terbongkar. Inggris naik pitam.

Ricklefs menyebutkan bahwa tujuan Pakubuwono sebenarnya tidak mendukung secara penuh Hamengku Buwono. Dia hanya ingin Kasultanan Jogja hancur di tangan Eropa. Dengan demikian, hanya Surakarta menjadi satu-satunya kraton mayor penerus Mataram Islam. 

Aliansi Inggris, Putra Mahkota dan Natakusuma bersiap menyerang kubu Hamengku Buwono II. Pada bulan Juni 1812, 1.200 prajurit Eropa dan 800 prajurit Legiun Mangkunegara menyerang Jogja. Tembakan artileri saling bersahut antara dua kubu. 

Jogja jatuh. Sultan Hamengku Buwono II diasingkan ke Penang, sekarang Malaysia. Putra Mahkota kemudian menggantikannya sebagai Sultan dengan gelar Hamengku Buwono III.

Sedangkan Natakusuma dihadiahi suatu daerah yang merdeka. Daerah itu kemudian dikenal sebagai Pakualaman. Pangeran Natakusuma sendiri kemudian bergelar Pangeran  Pakualam I. 

Istana Jogja mengalami nasib yang tragis. Inggris merampok harta karun Kraton. "Perpustakaan dan arsipnya dirampas dan sebagian besar uang diambil."

Misi Mengembalikan Harta Karun

Sampai saat ini upaya mengembalikan khazanah literatur (manuskrip) kuno yang dirampas Inggris terus dilakukan. Namun hal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Sri Sultan HB X bercerita betapa perjuangan mengembalikan manuskrip kuno dari belahan dunia tidak berjalan secara tegak lurus. Sultan harus menapaki jalan penuh kelokan untuk mencapai tujuan.

Selama hampir satu dekade, kegigihan untuk meminta kembali 'pusaka keraton' itu mulai terwujud.

 "Sebanyak 75 manuskrip akan dikembalikan meskipun dalam bentuk digital. Tidak asli tidak apa-apa, nanti bisa ditulis kembali, kan ada yang bentuk digital?" kata Sultan saat jumpa pers Internasional Symposium on Javanese Studies and Manuscripts of Keraton Yogyakarta.

prajurit inggris

Potret prajurit Inggris asal India, Sumber: Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta

Perjuangan tersebut, kata Sultan, dilakukan sejak era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden RI (2001-2004). Kala itu, ada kerja sama antara Pemerintah RI dengan Inggris. Melihat ada peluang di bidang pendidikan, Sultan mengusulkan adanya klausul pengembalian naskah-naskah kuno yang dibawa ke tanah Inggris.

"Kesepakatan itu menjadi alasan saya mengirim surat ke British Library, menindaklanjuti salah satu perjanjian pemerintah Indonesia-Inggris menyangkut naskah," ujarnya.

Tak hanya melalui surat, prosesnya tidak mudah. Perlu waktu, bahkan Pemda DIY bolak-balik mengurusnya. Prosesnya saja setidaknya membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Dan hal itu belum sepenuhnya membuahkan hasil. Pengalaman ini pun hanya negosiasi-negosiasi, bertemu melihat naskah mana yang dipilih dan lain sebagainya.

"Negosiasi, bertemu dengan duta besar, melihat naskah mana yang dipilih (untuk digitalisasi) butuh waktu lima tahun. Proses digitalisasi untuk 75 naskah saja butuh waktu satu tahun. Kalau enggak sabar ya sudah," katanya.

Menurut Sultan, naskah-naskah kuno milik kraton tidak hanya berada di British Library. Manuskrip tersebut juga tersebar di beberapa museum bahkan dikuasai oleh individu. Termasuk tersebar juga di Belanda.

Dia menyebut ada ribuan manuskrip kraton yang dijarah ketika Inggris menduduki Keraton pada 1812. "Naskah pada masa Hamengku Buwono II menurut sejarawan Prof. Djoko Suryo ketika lebih dari 7.000 naskah yang dibawa ke Inggris," kata Sultan

Sayangnya, kata Sultan, Inggris belum mau menandatangani perjanjian internasional soal pengembalian naskah tersebut. Meski begitu, upaya yang selama ini dicapai menjadi awal yang baik. Momentum tersebut, katanya, harus bisa di isi oleh daerah lain.

Pasalnya kekayaan daerah (provinsi) lain yang dibawa oleh Belanda dan Inggris untuk dikembalikan.

 "Perjanjian yang ada kerjasama kebudayaan dengan negara lain bisa melakukan seperti ini. Kami pun melakukan pendekatan. Dalam perjanjian internasional sepertinya Inggris belum mau tanda tangan. Kokehan sing dibalekke [kebanyakan manuskrip yang dikembalikan]," kata Sultan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Stok Cabai Melimpah, Harga Cabai di Sleman Anjlok Ancam Petani

Sleman
| Jum'at, 29 Maret 2024, 17:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement