Advertisement
Bahaya Konflik Rusia-Ukraina, Dampak ke Pasar Keuangan Paling Mengkhawatirkan
Mural Gerakan Nasional Kadet Angkatan Darat Muda di Moskwa, Rusia, Kamis (24/2/2022). Pasukan Rusia menyerang Ukraina setelah Presiden Vladimir Putin memerintahkan operasi untuk "demiliterisasi" Ukraina, yang memicu kecaman internasional dan ancaman AS akan "sanksi berat" lebih lanjut terhadap Moskwa. - Bloomberg/Andrey Rudakov
Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengkhawatirkan beberapa dampak dari ketegangan Rusia dengan Ukraina, yang utama yaitu di Pasar Keuangan.
“Saya perkirakan pasar keuangan di seluruh dunia akan bereaksi negatif. Indeks akan terkoreksi dan harga surat berharga turun atau dengan kata lain imbal hasil [yield] akan meningkat,” ujar Piter, Kamis (24/2/2022).
Advertisement
Masalah lain, Piter melihat jika ketegangan Rusia-Ukraina meningkat bahkan menuju ke perang fisik dan melibatkan banyak negara, perekonomian global dipastikan akan terganggu.
“Supply chain akan terganggu, pertumbuhan ekonomi global terkontraksi. Kondisinya akan Lebih buruk,” jelas Piter yang juga Dosen Perbanas Institute.
Lebih mengkhawatirkan lagi dampaknya terhadap Indonesia, di mana pemulihan ekonomi akan terganggu. Kegiatan ekspor impor pun ikut terganggu dan berujung kepada landainya konsumsi dan investasi.
“Pemerintah diharapkan bisa ikut dalam diplomasi global meredakan ketegangan khususnya lagi mencegah perang yang melibatkan banyak negara,” lanjut Piter.
Sementara disisi lain, menurutnya, ketika kondisi global terganggu oleh ketegangan tersebut, pemerintah harus mengoptimalkan pasar domestik untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Satu pendapat dengan Piter, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat dampak konflik Ukraina dan Rusia yang paling terasa di sektor keuangan.
“Rupiah sudah bergerak dari Rp14.500 melemah dan ini akan terus bergerak, diperkirakan akan mendekati level Rp15.000 jika konfliknya semakin luas dan melibatkan banyak negara,” jelas Bhima, Kamis (24/2/2022).
BACA JUGA: Rekor! Hari Ini DIY Catatkan Kasus Covid-19 Tertinggi Melampaui Delta
Dampaknya adalah akan menimbulkan instabilitas di kawasan dan akan merugikan prospek pemulihan dan stabilitas moneter yang ada di Indonesia. Pasalnya, saat ini kondisi keuangan bertepatan dengan tapering off dan juga kenaikan suka bunga yang terjadi di negara maju.
Efek lainnya yaitu menurut Bhima terjadinya inflasi karena harga minyak mentah sudah tembus US$100 per barel sementara anggaran APBN untuk minyak hanya US$63 per barel.
Kondisi ini pun berdampak pada naiknya biaya logistik sehingga harga kebutuhan meningkat, sementara daya beli masyarakat semakin rendah dan efek terhadap subsidi energinya akan membengkak cukup signifikan.
“Oleh karena itu saya mendesak pemerintah untuk segera melakukan perubahan APBN untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator nilai tukar rupiah dan juga inflasi, karena inflasi dapat terjadi diluar perkiraan,” lanjutnya
Bhima meminta pemerintah untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan menambah dana untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk stabilitas harga bahan pokok dan energi.
Menurutnya, jika pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi diatas lima persen maka harus dipastikan stabilitas pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya. Komoditas BBM, yaitu Pertamax dan Pertalite harus dapat dijaga harganya sampai akhir 2022.
“Ini mengancam serius sekali kepada stabilitas bahan pokok dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022,” ujar Bhima.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan Indonesia dapat melihat celah bahwa dari konflik ini pemerintah harus melakukan intervensi dengan mengajak negara yang sedang konflik untuk duduk bersama di G20 membahas resolusi konflik.
“Indonesia bisa jadi penengah karena tidak memiliki kepentingan langsung terhadap konflik. Kalau itu bisa dilakukan, presidensi G20 Indonesia akan dianggap sukses,” harap Bhima.
Selain itu, dalam jangka pendek pemerintah juga dapat menarik investasi dari negara konflik ke Indonesia. Contohnya seperti relokasi pabrik besi, baja, elektronik, dan otomotif yang ada di negara konflik. Pemerintah dapat menyiapkan insentif khusus untuk mengambil alih tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis.com
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Badan Geologi Pantau Ketat 127 Gunung Api Aktif di Indonesia
- Libur Nataru, KLH Prediksi Sampah Nasional Naik 59 Ribu Ton
- Lebih dari 4 Juta Senjata Beredar, Australia Luncurkan Buyback Nasion
- KPK Tangkap Enam Orang dalam OTT di Kalimantan Selatan
- Kakak Sulung Berpulang, Unggahan Atalia Praratya Mengharukan
Advertisement
Perayaan Hari Ibu Soroti Tantangan dan Peran Strategis Perempuan
Advertisement
Mencicipi Bakso Keju Lumer dan Bakso Jumbo Viral di Bantul
Advertisement
Berita Populer
- Prediksi Persebaya vs Borneo FC: Misi Bangkit Dua Raksasa
- Tikus Masuk Kabin, Penerbangan KLM Terpaksa Dibatalkan
- JKC Golf for Charity Dukung UMKM Difabel Binaan Bank BPD DIY
- Bambang Akui Antrean Online Mobile JKN Sangat Mudah bagi Lansia
- Jogja City Mall Hadirkan Event Natal dan Tahun Baru Desember
- Sambut Libur Nataru, PLN Siagakan 315 SPKLU di Jateng DIY
- Festival Lorong 4 Hadirkan Harmoni Holistik di Jogja
Advertisement
Advertisement



