Advertisement
Psikolog UGM: Fanatisme Politik Bisa Hambat Rekonsiliasi, Banyak Diidap Kelompok Terdidik
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA - Psikolog sosial Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro menyebut fanatisme politik yang diidap masyarakat menjadi tantangan berat untuk rekonsiliasi selepas Pilpres 2019.
Selain itu, belakangan pemilih tidak kritis, sehingga yang muncul adalah pembenaran-pembenaran. Menurut dia, fenomena buruk itu bukan hanya terjadi pada kelompok-kelompok orang tidak terdidik. Kelompok terdidik malah cenderung memiliki fanatisme yang berlebihan, sehingga daya kritis menjadi bias. Selanjutnya, yang bekembang bukan lagi benar-salah, tetapi senang dan tidak senang.
Advertisement
Fanatisme politik sebenarnya tidak berbahaya jika didukung oleh pemahaman dan ideologi yang tepat. Namun yang terjadi di Indonesia, fanatisme tersebut berawal dari bias-bias kognitif atau juga hoaks yang terus-menerus dibentuk sehingga mengubah hal yang tidak benar menjadi kebenaran yang diterima secara umum.
"Fanatisme buta itu tidak menggunakan rasio. Rasa yang digunakan adalah keberpihakan," ujarnya kepada Jaringan Informasi Bisnis Indonesia, Minggu (21/4/2019).
Koentjoro melanjutkan, dalam pergaulan bermasyarakat, ada tiga aturan pokok, yakni benar-salah yang merujuk pada hukum, dosa-tidak dosa yang mengacu pada agama, dan pantas-tidak pantas yang merupakan nilai-nilai sosial.
Menurutnya, untuk kepentingan politik, agama sudah mulai dipelintir, sedangkan nilai pantas-tidak pantas sudah hampir hilang. Hal itu dapat dilihat dari perilaku para elite yang menyandarkan kebenaran pada suara mayoritas, mengubah kebenaran menjadi pembenaran.
Koentjoro melanjutkan, untuk mengikis fanatisme politik dalam rangka membentuk iklim demokrasi yang lebih sehat, adalah pekerjaan yang tidak mudah. Pendekatan yang diambil harus secara individu.
"Kalau secara kelompok susah, pendekatannya harus dengan pendekatan individual, dan pendekatan individual pun perlahan-lahan," katanya.
Dia melanjutkan, khususnya untuk kaum terdidik, harus menjadi lebih kritis terhadap wacana-wacana politik yang berkembang. Tantangan adalah mengolah fakta dan menganalisisnya, serta membedakan antara pembenaran dan kebenaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- 2 Oknum Pegawai Lion Air Jadi Sindikat Narkoba, Begini Modus Operasinya
- Indonesia Gunakan Pengaruh Agar Deeskalasi Terjadi di Timur Tengah
- Kasus Pengemudi Arogan Mengaku Adik Jenderal Kini Diusut Bareskrim
- Erupsi Gunung Ruang, Bandara Sam Ratulangi Ditutup Sementara
- Tol Jogja Solo Dilewati 109 Ribu Kendaraan Selama Libur Lebaran 2024
Advertisement
Dukung Transformasi Digital UMKM, Diskominfo DIY Gelar Pelatihan E-Business
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Gunung Ruang Meletus, Warga Pesisir Pantai Diungsikan Hindari Potensi Tsunami
- KPU Jogja Koordinasi dengan Disdukcapil untuk Susun Data Pemilih Pilkada 2024
- Tol Jogja Solo Dilewati 109 Ribu Kendaraan Selama Libur Lebaran 2024
- Firli Bahuri Disebut Minta Uang Rp50 Miliar ke SYL
- Daftar Harga BBM Pertamina, Shell, dan BP-AKR per Kamis 18 April 2024
- Tertidur 22 Tahun Gunung Ruang Erupsi, Gempa hingga 944 Kali dalam Satu Hari
- Warga Jepang Gugat Pemerintah Soal Efek Samping Vaksin Covid-19
Advertisement
Advertisement