Advertisement

Jalur KA Jogja-Magelang Zaman Dulu: Sepotong Ingatan Asap Loko Hitam

Nugroho Nurcahyo
Rabu, 08 Agustus 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
Jalur KA Jogja-Magelang Zaman Dulu: Sepotong Ingatan Asap Loko Hitam Kereta uap Jogja-Magelang. - Arsip DKA TB Owen

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Rencana reaktivasi jalur kereta api Jogja-Magelang kembali mencuat dengan dipasangnya tiang patok di Secang, Magelang. Bekas-bekas jalur lama itu sebetulnya sudah sulit ditangkap mata. Namun kenangan masih tersimpan lekat di benak orang-orang yang pernah menggunakannya. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Nugroho Nurcahyo.

Pagi itu, Sri Nurtanti waswas. Ia khawatir kecewa jika eyangnya tiba-tiba membatalkan janji yang pernah diucap beberapa hari sebelumnya: mengajaknya naik sepur.

Advertisement

Rasa cemas itu langsung sirna berubah bungah tatkala Secoprawiro, mendiang eyangnya, ternyata pantang mengingkari janji kepada cucunya. Berangkatlah eyang dan cucu berduaan, berjalan kaki menyusuri tepian Selokan Mataram dari Dusun Nglarang, Tlogoadi, Mlati, Sleman, menuju Stasiun Kutu di Sinduadi, Mlati, Sleman.

Perjalanan cukup panjang sekitar 4,6 kilometer, memakan waktu lebih dari satu jam. Kaki kecil Nurtanti tidak bisa melangkah secepat orang dewasa. Mungkin jika Secoprawiro berjalan sendirian, hanya butuh 45 menit untuk sampai ke Stasiun Kutu.

Setelah cukup jerih melangkahkan kaki, tibalah keduanya di Stasiun Kutu. Nurtanti masih menunggu beberapa puluh menit dengan gelisah. Celingak-celinguk menanti kereta datang. Akhirnya waktu yang dinanti-nanti datang. Lokomotif kekar berwarna hitam melaju pelan dari arah selatan memasuki peron stasiun. Peluitnya menyalak nyaring. Embusan udara panas yang keluar dari pipa buang pun tak kalah keras. Suara mesin uap itu mendahului kecepatan lajunya, yang untuk ukuran kereta saat ini, teramat lamban.

Asap hitam bergulung-gulung yang keluar dari cerobong di bagian hidung loko, mengepul ke angkasa. Uap berwarna putihnya menyentak dengan cepat dari pipa buang bersamaan dengan bunyi, “Jesss...!”

Jess...! Jesss...! kuuu..kuukkk..!” Nurtanti menirukan suara embusan uap dan peluit uap kereta Lempuyangan-Secang.

Wanita yang kini sudah berusia 66 tahun itu mencoba mengingat-ingat pengalamannya lebih dari 55 tahun lalu, ketika ia masih kanak-kanak, saat kali pertama melihat mesin penarik gerbong dari jarak sebegitu dekat. Ia tak ingat persis tahun dan usianya. “Masih SD. Yang jelas jauh sebelum Gestapu [Gerakan Tiga Puluh September 1965],” ujar nenek dengan enam cucu itu, Minggu (5/8).

Lokomotif mesin uap itu melintas di hadapannya bak banteng hitam bertubuh pejal nan kokoh dan berhenti dengan mantap bersamaan suara decit gesekan roda besi bertemu rel. Nurtanti mencoba menghitung roda-roda besi di lokomotif. Ada sepuluh. Enam berukuran besar saling terkait tongkat besi, diapit empat roda berukuran lebih kecil.

Laman heritage.kai.id menuliskan lokomotif uap berkode C 24 itu adalah mesin peninggalan perusahaan kereta api swasta Nederlandsch-Indische Spoorweg maatschappij (NIS). Didatangkan 15 unit dari pabrik kereta api Werkspoor Belanda antara 1909 dan 1912, lokomotif ini menggunakan sistem superheater, yakni pembakaran dengan mengalirkan uap bertekanan tinggi dari kubah menuju ke silinder penggerak.

Kendati bobotnya mencapai 42,5 ton, loko ini mampu menghasilkan 575 daya kuda dan dapat melaju hingga kecepatan maksimum 60 km/jam. Kekuatannya itulah yang membuatnya dipilih melayani rute Lempuyangan-Jogja-Magelang-Secang-Temanggung-Parakan. Rute-rute itu relatif menanjak dan melewati kontur kaki gunung di seputaran jalurnya.

Kini bekas lokomotif ini masih tersisa satu unit berkode C2407 dan disimpan di Museum Kereta Api Indonesia, Ambarawa.

Mesin berwarna hitam legam yang bikin Nurtanti kagum itu sebetulnya berseliweran saban hari di Stasiun Kutu, menurunkan penumpang dan mengangkutnya ke arah Magelang atau sebaliknya. Namun Nurtanti selama itu hanya pernah melihat benda tersebut dari jarak jauh. Pun bau asap hasil pembakaran minyak residu yang menjadi bahan bakarnya tidak pernah ia ciumi.

Perjalanan Nurtanti dan eyangnya kali itu bukan hendak melintas kota. Ia hanya ingin mencecap pengalaman naik kereta. Tujuan akhirnya ke Stasiun Medari untuk menyambangi kerabatnya di sana. Stasiun itu berjarak sekitar 11 kilometer dari Stasiun Kutu, melewati empat pemberhentian yakni Stasiun Beran dan Stasiun Sleman, dan di antaranya diselingi dua halte yakni Mlati dan Pangukan. Di masing-masing pemberhentian, kereta biasa berhenti 5-15 menit. Paling lama berhenti di Stasiun Sleman karena di tempat itu lokomotif harus mengisi air untuk kompresi mesin uap.

“Sebenarnya perjalanan itu ngalang [menempuh rute lebih jauh]. Demi naik kereta saja,” kata Nurtanti yang kini tinggal di Kwagon, Sidorejo, Godean, Sleman, bersama suaminya itu.

Jarak dari rumah tinggal Nurtanti di Dusun Nglarang ke tempat tujuannya di Medari sebetulnya memang hanya 8,2 km. Jika mau ditempuh berjalan kaki, Nurtanti dan eyangnya hanya butuh waktu satu jam 45 menit. Dengan sepeda kayuh tentu lebih cepat. Saat ini, jika ditempuh dengan sepeda motor jarak tersebut bisa dilibas kurang lebih 20 menit.

Rasa penasaran naik kereta, membuat Nurtanti rela berjalan kaki ke stasiun sekitar satu jam, lalu naik kereta hampir satu jam pula. “Pulangnya pun naik kereta lagi, jalan kaki lagi dari stasiun ke rumah,” kenang Nurtanti.

Namun semua kelelahannya itu terbayar. Ia bisa merasakan duduk di gerbong berkursi kayu, menikmati pemandangan jalan dari sudut berbeda. Apalagi ketika ada sejumlah anak-anak kecil di pinggir rel yang berlari-lari dan berloncatan kegirangan melambai-lambaikan tangan begitu melihat kereta lewat. Semua kenangan itu begitu lekat di ingatannya.

Suryanto, suami Nurtanti, juga punya kenangan naik kereta api Jogja-Magelang yang mirip dengan kisah istrinya. Sewaktu masih kecil pula, ia diajak eyangnya naik kereta yang sama. Pagi hari ia sudah diajak eyangnya dari Godean naik bus ke Stasiun Tugu. Tujuannya lumayan jauh, ke Pati, Jawa Tengah.

Jangan dibayangkan perjalanan itu ditempuh hitungan empat sampai lima jam seperti naik kendaraan pribadi seperti saat ini. “Perjalanannya makan waktu 11 jam,” ungkap pria yang mengisi waktu pensiunnya menjadi notaris itu.

Yang paling dia ingat dalam perjalanan kali itu adalah banyaknya pedagang asongan di setiap halte dan stasiun. Jajanan yang hampir selalu ditemui di stasiun adalah pisang godhog dan kacang rebus. Jajanan itu pula yang menemani perjalanan Suryanto selama belasan jam bersama eyangnya menuju Pati.

Kenangan naik kereta Jogja-Magelang memang masih tersimpan lekat di memori orang-orang yang pernah menggunakan moda angkutan massal yang cukup populer pada masanya itu. Namun jalur kereta yang menyimpan banyak kenangan tersebut telah mati bersamaan dengan ambrolnya jembatan kereta di Krasak akibat terjangan lahar hujan pada 1974.

Bangunan stasiun yang jadi titik pemberangkatan dan turun, kini sudah tidak tampak lagi bekasnya. Pun lintasan relnya, hanya secuil masih tersisa. Sebagian besar tertutup tanah atau tertimbun aspal jalan nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Prediksi Cuaca Jogja dan Sekitarnya Sabtu 27 April 2024: Hujan Sedang di Siang Hari

Jogja
| Sabtu, 27 April 2024, 05:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement