Advertisement

Suhu DIY Makin Panas sejak 2011, dan Kemungkinan Akan Tambah Panas

Sunartono
Senin, 23 April 2018 - 12:25 WIB
Budi Cahyana
Suhu DIY Makin Panas sejak 2011, dan Kemungkinan Akan Tambah Panas Ilustrasi orang-orang yang ngadem untuk menghalau suhu panas. - Reuters/Stephane Mahe

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJAHampir seluruh wilayah DIY mengalami kenaikan suhu yang signifikan selama satu dekade terakhir. Penyebabnya adalah ulah manusia.

Temperatur pada periode 2011 sampai 2015 berubah sangat mencolok ketimbang 2001 sampai 2010. Menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) DIY, pada kurun 2001-2011, kenaikan suhu masih dalam batas normal, yakni 0-0,5 derajat celsius.

Advertisement

Pada periode tersebut, temperatur di Bantul stabil. Adapun di Samigaluh dan Kalibawang (Kulonprogo) serta Minggir; Tempel; Seyegan; Turi; Cangkringan; Pakem; Ngaglik; Ngemplak; Kalasan; Mlati; dan Depok (Sleman), temperatur perlahan naik antara 0,401 dan 0,6 derajat celsius.

Setahun kemudian hingga 2015, perubahan drastis terjadi. Pos Klimatologi Jogja menandai nyaris seluruh wilayah DIY berwarna jingga hingga merah kecuali Bantul dan beberapa titik di Kulonprogo dan Gunungkidul selatan. Jingga adalah ukuran kenaikan cuhu yang cukup tinggi, yakni 0,701-0,9; sedangkan merah tergolong ekstrem (lihat grafis).

Galur di Kulonprogo dan Sanden, Kretek, Pundong, Imogiri, Bambanglipuro di Bantul serta sebagian wilayah Panggang di Gunungkidul masih normal dengan kenaikan suhu paling tinggi 0,3 derajat celsius.

Beberapa wilayah menunjukkan kenaikan temperatur dalam taraf gawat, yakni di atas 0,901 derajat celsius. Daerah yang sangat terasa bertambah panas di luar batas normal itu meliputi Samigaluh dan Kalibawang di Kulonproho, Tempel; Pakem; Cangkringan; Ngemplak di Sleman, serta Ngawen dan Semin di Gunukidul.

Hampir seluruh bagian sisi tengah DIY yang ditarik antara Girimulyo dan Nanggulan di Kulonprogo ke timur sampai Kota Jogja dan Ponjong, Gunungkidul mengalami kenaikan suhu antara 0,701-0,9 derajat celsius.

“Sampai 2015, hanya sisi selatan seperti Bantul yang lumayan [normal],” ungkap Kepala Kelompok Data Informasi Stasiun Klimatologi Jogja Djoko Budiyono saat ditemui Harian Jogja, Jumat (20/4) lalu.

Djoko mengatakan pada 2016 suhu maksimum mencapai 34 derajat celsius dan suhu minimun 24 derajat celcius pada Januari. Kemudian pada 2017 suhu maksimum tertinggi pada Mei di kisaran 33 derajat celcius dan suhu minimum di angka 22 derajat pada Agustus.

Grafik di 2016 dan 2017 cenderung fluktuatif, sedangkan tren 2018 sejak Januari justru mengalami peningkatan dari 31 hingga 33 derajat celsius untuk suhu udara maksimum dan antara 23 hingga 24 derajat celsius untuk suhu minimum.

“Siklusnya memang kelihatan ketika masa pancaroba. Pada April, Mei dan November dan Desember, suhu akan terasa panas,” ucap dia.

Tahun ini kenaikan sangat terasa. Sejak 12 April hingga memasuki pekan ketig, suhu minimum berkisar antara 24-25 derajat celsius, padahal normalnya hanya 22 -23 derajat celsius. Kenaikan suhu minimun menyebabkan hawa pada malam dan pagi hari terasa panas.

“Penyebab kenaikan salah satunya kelembapan atau kandungan uap air di udara yang tinggi, mencapai 95%,” kata Djoko.

Udara yang banyak mengandung air dapat menyerap radiasi panas dari Matahari serta Bumi dan kemudian memantulkannya lagi ke Bumi sehingga suhu terasa panas. Ketika kelembapan udara sedikit, udara tidak menyerap panas sehingga panas bisa langsung lepas dari Bumi.

Menurut Djoko, perubahan suhu tak lepas dari perilaku manusia. Ia mencontohkan semakin banyaknya kendaraan bermotor yang menghasilkan karbondioksida: zat kimia yang menyerap radiasi dari Bumi.

“Radiasi bumi seharusnya keluar ke atmosfer, tetapi tidak bisa keluar karena diserap karbondioksida hasil pembakaran transportasi,” tutur dia.

Suhu akan makin meningkat ketika karbondioksida yang dihasilkan tambah banyak, sementara pohon, yang berfungsi menyerap karbondioksida, kian sedikit.

“Belum lagi banyaknya bangunan gedung tinggi dan penggunaan AC yang dapat meningkatkan suhu karena AC adalah salah satu salah satu pemicu efek rumah kaca.”

Secara sederhana, efek rumah kaca adalah naiknya suhu Bumi karena perubahan komposisi atmosfer. Dampaknya, sinar Matahari terperangkap di permukaan Bumi dan tidak mampu memantul secara secara sempurna keluar atmosfer. Penyebabnya adalah menipisnya lapisan ozon lantaran banyaknya korbondioksida yang diproduksi manusia. Ini yang kemudian disebut sebagai pemanasan global.

Efek rumah kaca sebenarnya wajar, asal tidak berjalan cepat seperti sekarang karena. Pemanasan global dapat merusak ekosistem dan keseimbangan lingkungan, salah satunya adalah suhu Bumi yang meningkat drastis.

 

Tren Global

Kenaikan suhu di DIY merupakan tren di seantero dunia. Tiga tahun lalu, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau National Aeronautics and Space Administration (NASA) memperkirakan pada tahun 2100, jika emisi rendah, suhu harian di Nusantara pada masa depan hanya berkisar 30-35 derajat celsius, normal untuk negara tropis.

Namun, sebagian basar wilayah Indonesia akan bersuhu 40 derajat celsius saban hari apabila emisi yang dihasilkan sangat tinggi.

Juli hingga Oktober akan menjadi bulan terpanas seiring dengan datangnya kemarau dan suhu 40 derajat celsius akan sering terasa. Temperatur panas tak cuma melanda Indonesia. Kawasan Afrika Utara, India, dan Amerika Selatan bahkan akan menghadapi suhu 45 derajat celsius pada musim panas.

Climate Central, organisasi nirlaba yang rutin melaporkan dampak perubahan iklim, menyatakan suhu Bumi rata-rata meningkat 4,8 derajat celsius pada 2100.

Ottawa di Kanada yang saat ini relatif sejuk, kemungkinan mengalami iklim tropis seperti di Kota Belize, Belize. Kabul di Afghanistan yang dikelilingi pegunungan bisa terasa seperti Kolombo, kota pantai di Sri Lanka yang sangat panas. Sofia, Ibu Kota Bulgaria diprediksi mengalami perubahan suhu tertinggi, yakni 8,4 derajat Celsius pada 2100.

Di Indonesia, empat kota yang mengalami perubahan signifikan adalah Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya. Pada musim kemarau, suhu Medan rata-rata sekarang adalah 31,8 derajat celsius dan pada 2100 bisa menjadi 35,2 derajat celsius.

Temperatur Jakarta dan Bandung saat ini rata-rata 29,9 derajat celsius dan akan meningkat menjadi 32,5 derajat celsius. Adapun Surabaya yang saat ini bersuhu 28,6 derajat celsius akan semakin panas dan bertemperatur 32 derajat celsius.

Perubahan itu bisa dicegah asal Bumi bisa mengurangi emisi rumah kaca, salah satunya dengan penghijauan dan pemakaian energi yang lebih minim memproduksi karbondioksida. Berdasarkan penelitian yang dimuat di jurnal Science Advance pada 2 Agustus 2017, gelombang panas yang merenggut sekitar 3.500 nyawa di Pakistan dan India disebabkan menyempitnya lahan hijau secara besar-besaran, yakni sekitar 25 kilometer persegi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Dapat Bantuan Dana Rp14 Miliar, Ini Ruas Jalan yang Akan Diperbaiki Pemkab Gunungkidul

Gunungkidul
| Kamis, 25 April 2024, 17:47 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement