Advertisement

MOELDOKO: "Sekarang SARA Jadi Komoditas Politik Paling Laku" (Bagian-II)

Gajah Kusumo, Stefanus Arief Setiaji, David Eka Issetiabudi, Yodie Hardiyan, Thomas Mola
Sabtu, 21 April 2018 - 04:05 WIB
Nugroho Nurcahyo
MOELDOKO: Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko saat menerima kunjungan tim Bisnis Indonesia, di Kantor Staf Presiden Jakarta, Jumat (6/4/2018). - Bisnis Indonesia/Dwi Prasetya

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTAKantor Staf Presiden menjadi perpanjangan telinga Kepala Negara untuk menyerap keinginan masyarakat. Selain itu, kantor ini juga mengelola isu-isu strategis nasional sehingga publik mendapatkan pemahaman yang tepat. Guna mendapat gambaran bagaimana Kantor Staf Kepresidenan menjalankan tugas dan mendukung keinginan pemerintah untuk meningkatkan investasi dan ekspor, Jaringan Informasi Bisnis Indonesia (JIBI) berkesempatan mewawancarai Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. Berikut Petikannya:

 

Advertisement

Mengapa sekarang ini situasinya seperti hendak perang lagi, begitu mendekati Pilpres 2019?

Nah, ini yang perlu dilihat dengan tajam. Memang pada saat berprosesnya pesta demokrasi kita menikmati. Semua orang memiliki partisipasi politik yang sangat tinggi. Semua orang ingin menjadi bagian dari sebuah peristiwa. Ini bagus sekali menurut saya.

Dalam demokratisasi, berprosesnya sebuah demokrasi sangat bagus. Yang lebih bagus lagi begitu selesai peristiwa itu, yang terjadi adalah enggak ada darah, semuanya oke-oke saja, biasa. Enggak seperti yang kita pikirkan akan terjadi sesuatu. Ini kondisi yang sangat bagus.

Hanya yang tidak bagus itu, kita mengenali adanya hoaks, ujaran kebencian dan lainnya. Ini sesuai dengan hasil survei yang mengatakan bahwa orang-orang yang bermain media sosial itu kurang lebih 91,8% berkutat pada aspek politik. Yang rawan lagi adalah 88,6% bermain di area SARA.

Ini yang mesti kita semua waspada. Kalau politik okelah, itu dinimika sebuah bangsa demokrasi, tapi SARA ini menurut saya kondisi yang paradoks.

 

Mengapa Anda katakan paradoks?

Dulu kita berbicara SARA saja sudah enggak nyaman, tapi sekarang justru SARA menjadi komoditas politik yang paling laku dalam menggerakan isu yang populis.

Menurut saya sangat tidak bijak, siapapun, apalagi dia seorang calon bupati, gubernur, atau calon yang lain. Sangat tidak bijak kalau memainkan SARA menjadi sebuah instrumen yang menggerakkan karena akan memakan dirinya sendiri. Begitu dia jadi, itu menjadi buah simalakama bagi yang bersangkutan.

 

Pendekatannya seperti apa yang dilakukan pemerintah untuk menangani isu SARA?

Preventif cukup bagus, bagaimana kita mengadakan sosialisasi. Presiden dalam setiap pengarahan kepada masyarakat selalu bercerita hasil kunjungan perjalanan berisiko ke Afganistan.

Presiden Afganistan mengatakan hati-hati Pak Jokowi, negara Anda adalah negara yang besar, terdiri dari banyak suku dan pulau dan lainnya. Negara kami hanya tujuh suku, dua suku berkelahi. Masing-masing membawa teman tapi 40 tahun enggak selesai.

Ini pelajaran yang sangat bagus dan saya dalam setiap kunjungan selalu menyampaikan hal yang sama, pesan presiden itu, sehingga masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi dan memiliki kewaspadaan.

Selama ini, kita cukup kendur dalam hal kewaspadaan. Begitu orang bicara kewaspadaan, wah lu enggak reformis. Akhirnya semua orang takut bicara kewaspadaan. Padahal coba ke Jerman, Prancis, kewaspadaannya sangat tinggi karena hampir semua orang di sana memiliki kesadaran bernegara yang lebih tinggi daripada kita.

 

Apakah cukup hanya dengan sosialisasi untuk menangani isu SARA?

Berikutnya meningkat lagi, bagaimana kepolisian dan petugas keamanan melakukan sosialisasi yang lebih intens. Pada tahapan terakhir harus disikat. Enggak ada cerita. Enggak boleh lagi kita toleransi terhadap situasi itu.

MCA [Muslim Cyber Army] itu harus diembat, enggak ada cerita. Saya enggak bicara Islami [tentang keislaman], muslimnya, tetapi perilaku jahatnya [MCA] itu yang perlu diperangi. Menggunakan Muslim Cyber Army, saya sebagai orang muslim, memang elu sendiri yang muslim?

Saya juga tersinggung, muslim dipakai sebagai alat yang negatif. Saya tegaskan harus keras, enggak boleh lagi negara lemah menghadapi situasi itu. Efek jeranya harus ditimbulkan karena kalau tidak, survei menyebutkan 44% masyarakat Indonesia setiap hari menerima berita hoax.

Ada juga yang mengatakan 80% anak mudah pesimistis melihat masa depan karena setiap hari dia mendapatkan berita yang tidak baik. Coba bayangkan, efek berikutnya perpecahan, bahaya. Harus keras itu. Enggak ada cara lain, begitu tahapannya.

 

(Pewawancara: Gajah Kusumo, Stefanus Arief Setiaji, David Eka Issetiabudi, Yodie Hardiyan, Thomas Mola)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Disbud DIY Rilis Lima Film Angkat Kebudayaan Jogja

Jogja
| Jum'at, 26 April 2024, 19:27 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement