Advertisement

Kenaikan Harga BBM Bisa Memperlambat Perekonomian

Maria Elena
Jum'at, 02 September 2022 - 21:37 WIB
Budi Cahyana
Kenaikan Harga BBM Bisa Memperlambat Perekonomian Harga BBM Turun Pengendara motor antre untuk mengisi BBM di SPBU Coco Cikini, Jakarta Pusat - Antara

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA—Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Agustus 2022 mencapai 4,69 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), sementara secara bulanan terjadi deflasi sebesar 0,21 persen (month-to-month/mtm).

Advertisement

BACA JUGA: Ada Jelajah Pantai Tersembunyi di Gunungkidul

Kepala BPS Margo Yuwono menyampaikan bahwa deflasi pada Agustus 2022 dipicu oleh deflasi pada komponen harga bergejolak, yaitu sebesar -2,90 persen mtm.

Komoditas utama penyumbang deflasi diantaranya bawang merah, cabai merah, dan cabai rawit.

Secara tahunan, inflasi harga bergejolak tercatat sebesar 8,93 persen yoy, lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai 11,47 persen.

Sementara itu, dua komponen lainnya mengalami inflasi pada Agustus 2022. inflasi inti tercatat sebesar 0,38 persen mtm atau mencapai 3,04 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kenaikan inflasi inti disebabkan oleh meningkatnya uang kuliah dan uang sekolah dasar, serta tarif sewa/kontrak rumah.

Komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices) pada periode yang sama mencatatkan inflasi sebesar 0,33 persen secara bulanan atau naik menjadi  3,84 persen secara tahunan. Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar rumah tangga dan tarif listrik.

Margo menyampaikan, perkembangan harga yang diatur pemerintah perlu terus dicermati, terutama dengan adanya kenaikan harga BBM. Pasalnya, komoditas BBM merupakan salah satu penyumbang utama inflasi pada kelompok harga yang diatur pemerintah.

“Komoditas ini memberikan multiplier effect yang cukup besar ke ekonomi. Kalau harga BBM naik maka akan menyebabkan peningkatan harga di sektor lainnya dan ini akan berdampak ke inflasi,” katanya, Kamis (1/9/2022).

BPS mencatat kenaikan BBM nonsubsidi mulai April 2022 memberikan andil sekitar 19 hingga 20 persen terhadap inflasi secara umum.

“Ini menjadi penting untuk dilihat, terutama komoditas BBM, karena berpengaruh ke harga-harga sektor lain kedepannya,” jelasnya.

Jika ditelisik ke belakang, kenaikan harga BBM pada 2005 lalu sempat mengerek inflasi  hingga ke level 17,11 persen. Kenaikan harga BBM terjadi sebanyak dua kali, pada Maret dan Oktober 2005.

Pada Maret 2005, pemerintah menaikkan harga Bensin hingga 32,6 persen dan Solar sebesar 27,3 persen. Pada Oktober 2005, harga Bensin dan Solar kembali dinaikkan, masing-masing sebesar 104,8 persen.

Selain itu, pada  2013 dan 2014, pemerintah juga menaikkan harga BBM, sehingga tingkat inflasi pada saat itu masing-masing mencapai 8,38 persen dan 8,36 persen.

Kenaikan harga komoditas energi dan pangan akibat perang Rusia dan Ukraina menimbulkan kondisi yang tidak pasti di seluruh dunia. Lonjakan inflasi akhirnya menjadi tak terhindarkan di banyak negara.

Bank Indonesia (BI) pun mencermati perkembangan inflasi di dalam negeri yang diperkirakan akan terus meningkat ke depan. BI memperkirakan inflasi pada tahun ini berpotensi mencapai 5,24 persen, terutama jika harga BBM nonsubsidi dinaikkan.

“Ke depan, tekanan inflasi IHK diperkirakan masih berlanjut, antara lain didorong oleh masih tingginya harga energi dan pangan global,” tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat (2/9/2022).

Inflasi inti dan ekspektasi inflasi pun diperkirakan berisiko meningkat akibat kenaikan harga BBM nonsubsidi, serta dampak dari tingginya inflasi pangan, di tengah semakin menguatnya tekanan inflasi dari sisi permintaan. 

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menyampaikan bahwa risiko tekanan inflasi yang semakin tinggi ke depan perlu  terus diantisipasi. 

Di samping permintaan masyarakat yang membaik, inflasi Indeks harga Produsen yang telah berada di atas inflasi IHK, berisiko mendorong peningkatan inflasi sisi permintaan, yang diteruskan dari inflasi sisi penawaran.

Tekanan inflasi juga berasal dari kenaikan harga BBM nonsubsidi ke depan.

“Dampaknya diperkirakan cukup besar karena tidak hanya berdampak pada putaran pertama pada inflasi administered price tetapi juga berdampak pada putaran kedua pada transportasi serta barang dan jasa lainnya,” kata dia.

Faisal menjelaskan, jika harga Pertalite dinaikkan dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, maka akan meningkatkan inflasi sebesar 0,83 persen poin dan berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi sebesar -0,17 persen poin.

Lebih lanjut, jika harga Solar naik dari Rp5.150 per liter menjadi Rp8.500 per liter, maka akan memberikan kontribusi kenaikan inflasi sekitar 0,33 persen poin dan berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar -0,07 persen poin. 

“Ini berarti tingkat inflasi pada tahun 2022 bisa lebih tinggi dari perkiraan kami saat ini sebesar 4,60 persen, berpotensi menuju sekitar 6 persen,” jelasnya.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan jika harga BBM bersubsidi dinaikkan, angka tingkat inflasi berpotensi menembus level 6 persen, bahwa mencapai 8—10 persen.

Kenaikan inflasi yang tinggi kata Piter tentunya dapat menurunkan daya beli masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi tertahan.

Sebagaimana diketahui, akibat kenaikan harga minyak dunia, subsidi dan kompensasi energi pada tahun ini melonjak drastis. Pemerintah menyatakan, anggaran subsidi dan kompensasi energi berpotensi mencapai Rp698 triliun. 

Sementara, pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi tiga kali lipat, menjadi sebesar Rp502,4 triliun. Anggaran ini tetap kurang akibat tingginya konsumsi dan harga minyak dunia. Oleh karena itu, menaikkan harga BBM saat menjadi menjadi salah satu opsi pemerintah.

Namun demikian, kenaikan harga bBM pun akan menimbulkan risiko terhadap perekonomian.

Piter mengatakan peningkatan harga BBM yang massif akan memukul banyak industri, termasuk industri makanan dan minuman, sehingga semakin mendorong kenaikan harga produk industri.

“Ketika itu terjadi daya beli masyarakat akan terpangkas, pertumbuhan ekonomi juga tertahan. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah sulit tercapai,” kata Piter.

Sementara itu, Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa kenaikan harga BBM akan menimbulkan efek domino. Tidak hanya meningkatkan inflasi energi, kenaikan harga BBM juga akan menaikkan harga bahan makanan.

Dia memperkirakan tingkat inflasi pada akhir tahun akan mencapai kisaran 7 hingga  7,5 persen, dengan memperhitungkan kenaikan harga BBM.

BACA JUGA: Hingga Agustus, 115 Nyawa Melayang akibat Lakalantas di Bantul, Ini Titik Rawannya

“Inflasi akan berada pada range 7–7,5 persen. Dengan rentang suku bunga acuan BI 4,25–4,5 persen pada akhir 2022, pertumbuhan ekonomi overall 2022 proyeksinya 4,9 persen. Konsumsi rumah tangga dan investasi akan terdampak kenaikan harga BBM,” kata Bhima.

Berdasarkan data BPS pula, pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara tahunan menurun menjadi 3,2 persen pada 2006, dari 4 persen pada 2005, setelah pemerintah menaikkan harga BBM

Hal yang sama terjadi saat harga BBM dinaikkan pada 2013. Konsumsi rumah tangga tercatat turun menjadi 5,15 persen pada 2014, dari 5,43 persen pada 2013. Pada 2015, konsumsi rumah tangga juga kembali turun ke level 4,96 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Jadwal Layanan SIM Keliling Gunungkidul Rabu 30 Oktober 2024

Gunungkidul
| Rabu, 30 Oktober 2024, 07:27 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Makanan Ramah Vegan

Wisata
| Minggu, 27 Oktober 2024, 08:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement