Advertisement

UU Cipta Kerja Bikin Kempes Kantong Kas Daerah

Jaffry Prabu Prakoso
Senin, 19 Oktober 2020 - 07:37 WIB
Bhekti Suryani
UU Cipta Kerja Bikin Kempes Kantong Kas Daerah Ketua Umum APKASI yang merupakan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat bertemu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, di Jakarta, Jumat, (6/3/2020). - Antara

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTAAsosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) menuntut pemerintah memberi kompensasi penggantian pendapatan asli daerah (PAD) atas setiap izin yang hilang dalam UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Ciptaker.

Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Abdullah Azwar Anas menuturkan bahwa omnibus law membuat pemerintah pusat dapat melakukan intervensi atas kebijakan pajak dan retribusi daerah demi mendukung kemudahan investasi.

Advertisement

Akan tetapi, intervensi pusat hendaknya didahului dengan evaluasi dan pengawasan preventif atas rancangan peraturan daerah pajak dan retribusi. Pengawasan ini  merupakan tugas pembinaan serta pengawasan pemerintah pusat.

Ia menilai jika penghapusan kewenangan berdampak pada pengurangan penerimaan daerah, Apkasi meminta agar dapat dikompensasi melalui subsidi pemerintah pusat.

“Untuk itu, Apkasi meminta kepada pemerintah agar memperhatikan aspirasi pemerintah kabupaten dan melibatkan Apkasi secara proporsional dalam penyusunan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja tersebut,” ungkap Bupati Banyuwangi 2 periode itu, pekan lalu.

Anas menyebutkan pemerintah akan membuat 34 peraturan pemerintah (PP) untuk pelaksanaan UU Cipta Kerja serta lima peraturan presiden yang baru.

Dalam menyusun regulasi turunan ini, Anas meminta pemerintah pusat juga berunding bersama. Selama pembentukan UU Cipta Kerja, hal tersebut tidak pernah terjadi.

Alasannya, perubahan memerlukan pengondisian yang matang. Yang umumnya terjadi, setiap ada perubahan UU tentang pemerintahan daerah atau UU sektoral yang kontennya berkenaan dengan kewenangan daerah, selalu diikuti dengan penarikan atau pengalihan kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota.

Apkasi mencatat proses resentralisasi kewenangan dimulai sejak pergantian UU 22/1999 menjadi UU 32/2004 dan pergantian UU 32/2004 menjadi UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ini bagi Anas tidak sejalan dengan komitmen reformasi pemerintahan daerah tahun 1998.

“Di mana pemberian kewenangan kepada daerah bertujuan memberdayakan daerah dan mengurangi beban pemerintah pusat dalam menyelenggarakan pelayanan publik dan memberdayakan masyarakat,” katanya.

Sekilas, Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja melucuti semangat otonomi daerah. Beberapa kewenangan pemerintah daerah pada regulasi tersebut ditarik ke pusat.

Ini terlihat dari bab XI soal pelaksanaan administrasi pemerintahan untuk mendukung cipta kerja. Bagian kesatu pasal 174 berbunyi dengan berlakunya omnibus law, kewenangan pemerintah daerah yang telah ditetapkan dalam undang-undang (UU) untuk menjalankan atau membentuk beleid harus dimaknai sebagai pelaksanaan kewenangan Presiden.

Omnibus law mengatur soal persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang, tarif retribusi pajak, juga yang kini menjadi milik pemerintah pusat. Padahal sebelumnya hak daerah.

"
“Jadi pemerintah daerah punya kewenangan yang besar seperti apa pembangunan kewilayahan di daerahnya,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (18/10/2020)." 

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Na Endi Jaweng mengatakan bahwa apabila dibaca lebih dalam, yang dikhawatirkan terkait hilangnya fungsi daerah tidak sepenuhnya benar.

Contohnya terkait kesesuaian peruntukan lokasi yang sebelumnya disebut izin lokasi. Persetujuan tersebut sangat penting karena menyangkut rencana detail tata ruang (RDTR) yang disusun daerah.

Omnibus law mengamanatkan izin tersebut dikeluarkan oleh pusat. Akan tetapi apabila dibaca secara rinci, pusat memberikan restu sesuai dengan RDTR yang dibuat daerah.

“Jadi pemerintah daerah punya kewenangan yang besar seperti apa pembangunan kewilayahan di daerahnya,” katanya saat dihubungi Bisnis, Minggu (18/10/2020).

Robert menjelaskan bahwa yang harus menjadi sorotan dan dikawal adalah terkait peraturan pemerintah (PP) atau peraturan presiden (perpres) sebagai regulasi turunan yang sedang disusun.

KPPOD mencatat ada dua peraturan yang harus diikuti. Pertama soal siapa yang berkewenangan atas apa. Nantinya ada pembagian mana saja yang ke pemerintah daerah atau kementerian/lembaga.

Kedua terkait penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK). Apabila pembagian pada poin pertama sudah jelas, NSPK terstandar nasional. Dengan begitu tidak ada lagi perbedaan daerah satu dengan lainnya.

“PP itu harus terjaga dalam semangat untuk memastikan bahwa urusan-urusan itu tetap terbagi. Kan Indonesia itu kan kompleks sekali. Harus dikerjakan bersama antara pusat, provinsi, dan kebupaten/kota,” jelasnya.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menjelaskan bahwa omnibus law dibuat khususnya kepada sektor manufaktur karena ingin menciptakan lapangan kerja.

Perpindahan kewenangan daerah ke pusat untuk sektor tersebut menurutnya tidak terlalu berisiko. Alasannya fungsi dan wewengan daerah pun tidak terlalu besar. Oleh karena itu, apabila omnibus law akan menciptakan lapangan kerja, tidak sepenuhnya tepat.

“Selama ini yang kami dan saya khawatirkan yang terkait dengan ekstraktif [pengambilan kekayaan alam]. Kalau pemda sudah tidak ada lagi, by pass sekali,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Gunakan Drone, Pencarian Bocah Tenggelam di Sungai Oya Wonosari Terkendala Arus Deras

Gunungkidul
| Jum'at, 29 Maret 2024, 13:37 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement