Advertisement

Masjid Angke, Cermin Keberagaman di Masa Lalu

Asteria Desi Kartika Sari
Jum'at, 07 Juni 2019 - 04:57 WIB
Sunartono
Masjid Angke, Cermin Keberagaman di Masa Lalu Masjid Jami Al-Anwar atau Masjid Angke, berada di Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. JIBI/Bisnis - Akbar Evandio

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA — Arsitektur Masjid Angke mencerminkan cerita masa lalu, terutama tentang keragaman dan kebinekaan. Gaya arsitektur masjid begitu dipengurahi unsur China, Jawa, Bali, hingga Eropa. Sentuhan beragam budaya itu tampak di setiap sudut-sudut eksterior maupun interior bangunan.

Ragam budaya yang menyatu dalam bangunan arsitektur tersebut rupanya menjadi cerminan kehidupan masyarakat ketika itu. Meski berbeda, mereka tetap hidup berdampingan. Bahkan bersama-sama berjuang mengusir musuh bersama.

Advertisement

Keberagaman tersebut dituangkan pada orname-ornamen masjid. Pintu utama masjid misalnya, sarat dengan nuansa perpaduan China, Jawa, dan Bali. Sentuhan Jawa dan Bali ditunjukan dengan bentuk pintu panjang, pada bagian sisi kanan dan kiri pintu utama dilengkapi dengan ukiran-ukiran Bali yang berbentuk sulur bunga.

Pada inti bangunan ditopang oleh empat tiang penyangga utama atau yang disebut soko guru merupakan khas rumah-rumah adat orang-orang China dan Jawa. Untuk konsep arsitektur masjid tersebut, awalnya digarap oleh arsitek keturunan Tionghoa yang dikenal dengan Syaikh Liong Tan.

Cerita tersebut menurut Kepengurusan Bidang Sejarah dan Bangunan Masjid Muhammad Abiyan Abdillah, menjadi ciri khas atau keunikan dari Masjid Angke. Tak hanya menyoal arsitektur yang unik, masjid yang terletak di jalan Tubagus Angke, Gang Masjid Nomor 1, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat ini juga menyimpan sejarah yang panjang.

“Kami [masyarakat setempat] meyakini dengan keanekaragaman itu menggambarkan bermacam-macam etnik yang mendiami kampung Angke. Ada toleransi yang sangat tinggi. Jadi ini gambaran kerukunan sudah tercipta sejak dahulu,” ceritanya kepada Bisnis.com.

Ujung pada atap menjadi kunci utama bangunan masjid ini, yang ditunjukan dengan Mestaka. Dia mengatakan Mestaka merupakan simbol kerukunan. Artinya dengan keanekaragaman yang tercipta pada bangunan, mengerucut diikat dengan kerukunan. “Itu pesan moralnya,” katanya.

Pada masa Pangeran Tubagus Angke berkuasa di wilayah Jayakarta, bangunan ini berupa langgar, sekaligus tempat transit para penyiar agama Islam dari berbagai wilayah seperti Jawa Timur, Banten, dan Cirebon sebelum melanjutkan perjalanan ke wilayah lain. Secara tidak langsung masjid ini pun menjadi pusat penyebaran Islam di Batavia.

Meskipun menyimpan sejarah dan arsitektur yang menarik, sayangnya masjid yang memiliki nama asli Masjid Jami Al Anwar ini tidak banyak diketahui oleh publik. Awalnya, cerita Abiyan, masjid tersebut tertutup oleh bangunan lain. Letaknya pun berada di tengah-tengah pemukiman padat. Jadi pamornya tak begitu tampak.

Untuk menjaga dan mempertahankan keaslian dari Masjid Angke tersebut, pada 2017 muncul ide untuk melakukan restorasi. Pada restorasi awal, masjid dengan luas 15x15 meter persegi itu hanya melalui proses perbaikan dari beberapa sisi saja.

Restorasi besar bangunan inti masjid, lanjutnya, baru bisa dilaksanakan setelah melakukan koordinasi dengan pihak cagar budaya, yakni Lingkar Warisan Kota Tua. Pasalnya, dalam melestarikan bangunan cagar budaya bukan menjadi perkara yang mudah.

“Kita harus mendapatka ijin restorasi. Lalu dari segi material pun kita harus mendapatkan bahan yang sama atau sejenis dengan bahan yang sudah ada. Jadi tidak sembarangan,” lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Mudik Lebaran, Gunungkidul Bakal Dijejali 154.000 Kendaraan

Gunungkidul
| Kamis, 28 Maret 2024, 18:07 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement