Aturan Toa Sudah Dikeluarkan 40 Tahun Lalu, Banyak Takmir Masjid Belum Tahu
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Banyak takmir masjid di DIY belum mengetahui tata cara penggunaan pengeras suara yang sudah dikeluarkan Kementerian Agama (Kemenag) sejak 40 tahun lalu. Persoalan ini terlihat dari sosialisasi mengenai aturan pemakaian pelantang yang dalam bahasa keseharian masyarakat disebut sebagai toa.
“Saat sosialisasi kemarin, ternyata banyak takmir masjid yang tidak mengetahui atau baru mengerti adanya ketentuan itu. Padahal ini sudah ada sejak 1978,” kata Kepala Kantor Kemenag Jogja Sigit Warsita kepada Harian Jogja, Jumat (31/8).
Advertisement
Aturan penggunaan pengeras suara ada dalam Instruksi Direktur Jenderal Bina Masyarakat Islam Kemenag Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam No.Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.
Dalam tuntunan tersebut, Kemenag mengatur penggunaan pengeras suara di luar masjid alias toa dengan pengeras suara di dalam masjid. Toa dipakai untuk azan dan membaca Alquran sebelum Salat Subuh dan Salat Jumat, serta takbir Idulfitri. Sementara, doa maupun khotbah dan pengajian menggunakan pengeras suara di dalam masjid.
Instruksi ihwal tata cara pelantang itu diprioritaskan untuk mengatur masjid di wilayah perkotaan yang dihuni penduduk dengan latar belakang beragam dan kesibukan berbeda-beda. Sementara, masjid-masjid di perdesaan, yang umumnya berada di lingkungan homogen, diberi kelonggaran untuk menerapkan aturan itu dengan memperhatikan lingkungan dan reaksi masyarakat.
Pekan lalu, Kemenag mengeluarkan surat edaran kepada kantor wilayah (kanwil) kemenag di seluruh provinsi untuk menyosialisasikan lagi instruksi tersebut. Kanwil Kemenag DIY secara resmi akan mulai menyampaikan lagi tata cara pemakaian pelantang kepada pengurus masjid pada Senin (3/9) depan. Namun, sosialisasi secara informal sudah berlangsung di beberapa tempat.
Menurut Sigit, di wilayah Jogja masih ada masjid dan musala yang memakai pelantang tidak sesuai dengan Instruksi Dirjen Bimas Islam karena mereka tidak memahami adanya aturan tersebut.
Di wilayah Jogja, terdapat sekitar 1.000 unit masjid dan musala. “Nanti kami minta para penyuluh mendekati masjid yang belum menyesuaikan pemakaian pengeras suara dan menyosialisasikan instruksi tersebut,” ujar dia.
Meski ada masjid yang memakai pelantang yang tidak sesuai dengan instruksi Dirjen Bimas Islam, tidak ada persoalan pelantang masjid di Jogja.
“Kami belum pernah menerima aduan gangguan pengeras. Kami harap para takmir masjid dan musala bisa menggunakan pengeras suara dengan bijak,” kata Sigit.
Di Kulonprogo, beberapa takmir masjid juga belum mengetahui instruksi yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu itu. Salah satu pengurus masjid di Giripeni, Wates, mengatakan masyarakat setempat sering berdoa memakai pelantang masjid dan tak ada warga yang terganggu maupun mempersoalkan.
“Saya juga baru mengetahui adanya surat edaran tentang pengeras suara,” kata pengurus masjid di Giripeni, Wates, Kulonprogo, Sri Widodo.
Begitu pula di Sleman. Subarno, pengurus Masjid Istiqomah, Desa Sariharjo, Ngaglik, mengatakan belum menerima sosialisasi dari pihak mana pun terkait dengan tata cara penggunaan pengeras suara di masjid. “Hanya dikirimi lewat WA [Whatsapp] saja oleh teman, perihal aturan penggunaan pengeras suara,” ujar dia.
Subarno mengatakan beberapa poin dalam aturan itu tidak cocok dengan tradisi di masjidnya. “Tiap sore biasanya ada pengajian, dan itu lewat pengeras suara luar, sebelum azan Magrib pun ada sholawatan pakai pengeras suara luar.”.
Menurut Subarno, masyarakat sekitar tidak pernah mengeluhkan volume suara dari pengajian dan selawat di masjidnya. Meski demikian, ia menganggap instruksi itu bagus agar beberapa materi pengajian yang sensitif didengarkan publik bisa hanya didengar di dalam oleh jemaah.
Sekretaris Takmir Masjid Jami At-taqwa Desa Minomartani Ngaglik Muhammad Iqrom juga belum mendapat peraturan pengeras suara di masjid. Menurut dia, di Masjd Jami At-taqwa hanya azan yang menggunakan toa. Sementara, berbagai kegiatan seperti pengajian dan selawat memakai pelantang di dalam masjid.
Iqrom mengatakan setiap masjid punya tradisi dan masyarakat sekitar tak pernah mempersoalkan pelantang. Dia mengatakan beberapa pengurus masjid tidak mengetahui penggunaan pengeras suara dalam dan luar masjid.
Sekretaris Takmir Masjid Agung Bantul Syaibani juga belum mendapatkan sosialisasi tentang aturan pemakaian toa. “Kami belum pernah mendapatkan sosialisasi tentang aturan ini. Tolong kalau memang ada, saya boleh minta surat edaran tersebut,” kata Syaibani.
Dia mengatakan pengeras suara dipakai seperti biasa, yakni untuk azan. “Sebagai pengingat dan mengajak umat Islam salat berjamaah,” kata dia.
Pelantang juga banyak dimanfaatkan untuk kegiatan warga sekitar seperti informasi kerja bakti hingga pengumuman berita lelayu.
Sarto, takmir di masjid tertua di Gunungkidul, Masjid Al-Huda, di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, juga mengaku belum menerima informasi mengenai tata cara pemakaian pengeras suara di masjid.
Menurut dia, pelantang di luar masjid dipakai untuk azan, memutar bacaan Alquran selama lima menit sebelum azan, dan pengumuman kegiatan kampung.
Kepala Kantor Kemenag Gunungkidul Aidi Johansyah mengatakan sudah menyosialisasikan instruksi dari Dirjen Bimas Islam tentang pemakaian pelantang. “Sudah sosialisasi dibantu dengan penyuluh kami yang jumlahnya sekitar 100 orang lebih, kami juga dibantu petugas kantor urusan agama [KUA] dan madrasah,” ujar Aidi.
Evaluasi mengenai penerapan instruksi itu akan dilakukan bulan depan.
Adapun Dewan Masjid Indonesia (DMI) DIY telah menjalankan program pembenahan toa masjid agar nyaman didengarkan. Pelantang di 3.500 masjid di DIY telah dibenahi oleh Tim Akustik DMI selama lima tahun terakhir.
Ketua DMI DIY Muhammad Thoriq mengatakan Tim Akustik DMI DIY mendatangi masjid dan mengecek sound system secara gratis tanpa dipungut biaya apapun.
“Kami sudah membenahi sekitar 3.500-an toa masjid, jadi suaranya nyaman,” kata dia.
Menurut Muhammad, program pembenahan itu duluncurkan karena banyak pelantang yang kurang nyaman didengar. Musababnya, takmir masjid membeli perangkat sound system tidak dalam satu paket.
“Kadang membeli amplifier sendiri, sound system sendiri yang kadang kapasitas keduanya berbeda sehingga kadang suaranya sering mbenging,” ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Terkait Pemulangan Mary Jane, Filipina Sebut Indonesia Tidak Minta Imbalan
- Polisi Tembak Polisi hingga Tewas di Solok, Polda Sumbar Dalami Motifnya
- Eks Bupati Biak Ditangkap Terkait Kasus Pelecehan Anak di Bawah Umur
- Profil dan Harta Kekayaan Setyo Budiyanto, Jenderal Polisi yang Jadi Ketua KPK Periode 2024-2029
- Pakar Hukum Pidana Nilai Penetapan Tersangka Tom Lembong Masih Prematur
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Inggris Dukung Indonesia Tambah Kapal Tangkap Ikan
- Presiden Prabowo dan PM Inggris Sepakat Dukung Gencatan Senjata di Gaza
- RUU Tax Amnesty Tiba-tiba Masuk Prolegnas, Pengamat: Prioritas Saat Ini Justru RUU Perampasan Aset
- Bareskrim Polri Pulangkan DPO Judi Online Situs W88 dari Filipina
- KJRI Hamburg Jerman Resmi Melayani Permohonan Paspor Elektronik
- Koperasi Diminta Bergerak Ikut Bantu Pelaku UMKM dan Perangi Rentenir
- Pembangunan Kesehatan di Indonesia Berkembang, Hanya Saja Masih Menghadapi Kesenjangan dengan Negara Maju
Advertisement
Advertisement