Advertisement

Jangkauan Air Pipa Indonesia Terendah di Asia Tenggara

Sirojul Khafid
Sabtu, 11 Februari 2023 - 03:27 WIB
Budi Cahyana
Jangkauan Air Pipa Indonesia Terendah di Asia Tenggara Ilustrasi. - Reuters

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Indonesia mengukir ‘prestasi’ sebagai negara dengan layanan air perpipaan jangkauan terendah di Asia Tenggara. Sampai saat ini, baru 21,69% wilayah Indonesia yang dialiri air dengan sistem pipa. Di Asia, jangkauan ini bahkan lebih rendah daripada Nepal.

Hal ini disampaikan oleh Staf Khusus Bidang Sumber Daya Air (SDA) Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Firdaus Ali, dalam Seminar I Sub Tema Water and Innovative Finance sebagai rangkaian Road to World Water Forum (WWF) ke-10 di Jakarta, Selasa (7/2/2023) lalu.

Advertisement

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024, Pemerintah Indonesia menargetkan akses air minum perpipaan ke rumah tangga mencapai 30 persen. Jangkauan yang masih rendah ini bukan lantaran stok air yang tidak cukup, namun lebih kepada kesenjangan kapasitas fiskal yang dimiliki Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah (pemda).

Selama ini, urusan air perpipaan berada dalam kewenangan pemda. Pemerintah Pusat hanya membantu dalam bentuk air baku dan bantuan teknis. Sayangnya, belum semua pemda punya komitmen yang kuat dalam pengelolaannya. Firdaus mengatakan jika penyediaan air pipa belum masuk dalam ranah kampanye, masih banyak hal yang belum dipandang penting.

Meski fakta ini memprihatinkan, Firdaus melihat adanya peluang investasi. Hal ini selaras dengan rangkaian agenda WWF ke-10 bertema Water for Shared Prosperity yang akan berlangsung pada 18 Mei 2024-24 Mei 2024 di Bali.

Salah satu caranya dengan mengundang investor swasta. "Kami akan punya ekspektasi bahwa mengutilisasi opportunity (kesempatan) yang ada untuk membiayai sektor air ini untuk sanitasi," kata Firdaus.

Potensi investasi masih besar lantaran masih banyak daerah yang bisa digarap. Di Singapura air perpipaannya sudah mencakup 100 persen. Begitupun dengan Malaysia yang sudah mencakup 78 persen, potensinya kecil pihak swasta untuk masuk. Sementara di Indonesia masih di bawah 30 persen dengan jumlah penduduk lebih dari 276 juta. “Artinya apa, peluangnya besar sekali," katanya.

Sektor yang kebutuhannya paling penting berupa infrastruktur dasar. Namun perlu adanya kepastian aturan kepada investor bisa masuk ke Indonesia. Salah satu upayanya, menurut Firdaus, adanya gagasan single tarif nasional sehingga tarif air minum di seluruh Indonesia sama.

Di samping itu, perlu juga mengganti skema aturan lama terkait kenaikan tarif air yang harus melalui persetujuan DPRD. Dalam skema baru yang sedang dalam perancangan, tarif air minum ditentukan berdasarkan kinerja penyediaannya, bukan melalui DPRD.

"Jika hal itu kami jamin, investor itu antre masuk Indonesia," kata Firdaus. "Tidak ada negara kecuali China, India, Amerika, yang market potensi untuk layanan air minum perpipaan di dunia [yang potiensinya besar seperti] di Indonesia."

Dalam Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) dari Kementerian Kesehatan pada 2020, 7 dari 10 rumah tangga Indonesia mengonsumsi air minum yang terkontaminasi bakteri Escherichia coli (E-coli). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional menyatakan apabila capaian sanitasi aman Indonesia juga masih sangat rendah.

Angka sanitasi aman baru mencapai 7% di tahun 2020. Capaian ini lebih rendah dibandingkan Thailand yang angka sanitasinya mencapai angka 26% dan India yang mencapai 46%. Musababnya, akses pada air bersih di Indonesia masih rendah. Bahkan di kawasan pinggiran Jakarta yang tidak terjangkau pipa perusahaan air, terdapat mafia air yang mengeksploitasi warga miskin untuk memperoleh akses terhadap air.

Meski ternyata tidak hanya masyarakat pinggiran, masyarakat kota yang tinggal di kawasan resmi juga tidak terhindar dari permasalahan air. Salah satunya masalah drainase yang buruk, membuat kawasan perkotaan seringkali tergenang ketika curah hujan tinggi. Kondisi ini semakin parah dengan krisis iklim yang membuat cuaca semakin ekstrim sehingga curah hujan tinggi datang tak menentu.

Air ini kemudian mengalir ke sungai, waduk, laut, dan lainnya. Aliran ini membawa banyak partikulat dan polutan, termasuk sungai yang tercemar oleh berbagai jenis sampah dan menjadi dangkal karena sedimentasi.

Alhasil, sungai tidak lagi dapat menampung air dan mengalirkan air dengan baik. Dampaknya banjir semakin parah dan air layak guna semakin berkurang. Sedangkan air yang tercemar semakin bertambah.

Kurangnya ketersediaan air bersih di permukaan membuat air tanah menjadi penopang kebutuhan air bersih bagi masyarakat. Sekitar 80% kebutuhan air bersih masyarakat, khususnya di wilayah urban, pusat industri dan permukiman padat berasal dari air tanah.

Menurut Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Kawasan Pertambangan, aliran air tanah di dalam akuifer memerlukan waktu lama hingga ribuan tahun bergantung pada jarak dan jenis batuannya. Oleh karenanya, air tanah bersifat dapat diperbaharui, tetapi jika dikomparasikan dengan periode hidup manusia, air tanah juga dapat dikategorikan sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.

Di samping itu, ancaman penting lainnya terkait dengan penggunaan air tanah berlebihan. Hal ini berpotensi mengakibatkan penurunan muka air tanah yang menjadi salah satu ancaman yang dapat menenggelamkan kota-kota di pesisir Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Catat! Tarif Parkir Kendaraan Bermotor di Lokasi Wisata Wilayah Bantul

Bantul
| Sabtu, 20 April 2024, 12:17 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement