Advertisement
Defisit APBN Capai Rp63,6 Triliun, Ini Saran Ekonom

Advertisement
Harianjogja.com, JAKARTA – Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2021 hingga Februari mengalami defisit sebesar Rp63,6 triliun atau 0,36 persen dari produk domestik bruto. Angka defisit ini naik 2,8% dari tahun lalu. Di sisi lain, penerimaan pajak tercatat Rp146,1 triliun atau turun 4,8 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa realisasi defisit menjadi penting apalagi jika dikaitkan dengan konteks mendorong pemulihan kesehatan dan ekonomi.
Advertisement
“Kalau melihat dari kenaikan defisit ini tidak terlepas dari belanja yang cukup meningkat signifikan, belanja barang dan modal terakselerasi. Belanja modal melonjak hingga 235 persen karena adanya akselerasi belanja modal yang awalnya di-refocusing pada 2020 dan masuk di 2021,” katanya saat dihubungi, Selasa (23/3/2021).
BACA JUGA : Defisit APBN 4,16%, Menkeu Sebut Negara Lain sampai 20
Yusuf menjelaskan bahwa hal tersebut menjadi penting karena kedua jenis belanja itu merupakan pengeluaran negara yang bisa memberikan efek berganda terhadap perekonomian.
Agar bisa menajaga rasio defisit anggaran, pemerintah perlu menjaga kesinambungan antara penerimaan dan belanja negara. Itu berarti perlu dijaga agar target penerimaan yang sudah ditetapkan sebelumnya bisa digapai di akhir tahun nanti.
Target penerimaan negara ini, terang Yusuf, akan banyak ditentukan oleh bagaimana realisasi pertumbuhan ekonomi di sepanjang 2021. Jika kinerja ekonomi berjalan baik, besar potensi penerimaan negara akan ikut terkerek. Namun, dia melanjutkan, pemerintah masih menghadapi tantangan untuk menjaga agar kasus Covid-19 tidak bertambah.
BACA JUGA : Defisit APBN Hingga November Capai Rp883 Triliun
Di sisi lain, realisasi belanja juga perlu dipastikan sesuai target yang sudah ditentukan. Dalam situasi pemulihan ekonomi seperti sekarang, kebijakan fiskal harus didesain secara fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan anggaran untuk pemulihan kesehatan dan ekonomi.
“Artinya menjadi tidak masalah jika nanti di tengah tahun karena kebutuhan untuk proses pemulihan ekonomi, defisit anggaran dibiarkan melebar sesuai kebutuhan. Di sinilah sesungguhnya peran kebijakan fiskal dibutuhkan. Negara lain juga banyak mengandalkan kebijakan fiskal ekspansif di masa pemulihan paska pandemi,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia
Berita Lainnya
Berita Pilihan
- Penerima Bansos Terlibat Judol, Wakil Ketua MPR: Layak Diganti
- Top Ten News Harianjogja.com, Sabtu 12 Juli 2025: Dari Tom Lembong Sampai Harganas
- Pangkas Birokrasi Federal, Donald Trump Pecat 1.300 Pegawai Departemen Luar Negeri
- Jumlah Penduduk Indonesia Capai 286,69 Juta Jiwa per Juni 2025, Terbanyak Laki-Laki
- Kasus Chromebook, Kejaksaan Agung Menggeledah Kantor GoTo dan Menyita Ratusan Dokumen
Advertisement

10 SD Tidak Dapat Murid Baru di Gunungkidul Tak Langsung Ditutup
Advertisement
Tren Baru Libur Sekolah ke Jogja Mengarah ke Quality Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Hasil Penulisan Ulang Sejarah Bakal Diuji Publik 20 Juli 2025
- Tersangka Korupsi Minyak Mentah Riza Chalid Diduga Sudah Berada di Singapura, Kejagung Masukkan ke Daftar Cekal
- Kasus Chromebook, Kejaksaan Agung Menggeledah Kantor GoTo dan Menyita Ratusan Dokumen
- Jumlah Penduduk Indonesia Capai 286,69 Juta Jiwa per Juni 2025, Terbanyak Laki-Laki
- Jaksa Sebut Tom Lembong Tak Terima Uang, Tapi Kebijakannya Untungkan 10 Pihak
- Aceh Diguncang Gempa Magnitudo 5,1, Begini Penjelasan BMKG
- Begini Alur Kuota Haji 2026 dari Arab Saudi untuk Indonesia, Kata Istana
Advertisement
Advertisement