Advertisement

Kekerasan Simbolik dan Budaya Patriarki, Pelajaran dari Kasus Ikan Asin

Newswire
Rabu, 17 Juli 2019 - 16:47 WIB
Bhekti Suryani
Kekerasan Simbolik dan Budaya Patriarki, Pelajaran dari Kasus Ikan Asin Galih Ginanjar di Polda Metro Jaya, Jumat (5/7/2019). - Suara.com/Revi Cofans Rantung

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA- Kasus "Ikan Asin" sejatinya menjadi pelajaran banyak pihak tentang praktik kekerasan dan budaya patriarki yang merugikan perempuan.

Perempuan adalah tuan untuk tubuh dan pikirannya sendiri, begitulah intisari dari budaya emansipasi pada era modern. Namun, pada zaman serba digital, budaya patriarkis justru kian berbiak.

Advertisement

IKAN ASIN, untuk beberapa pekan ke belakang, menjadi diksi yang mengalami pergeseran makna asosiatif dan cenderung peyoratif alias buruk.

Tak lagi merujuk pada penganan hasil pengolahan ikan, tapi menjadi terma untuk merujuk pada bau pada organ intim perempuan guna menghina mereka.

Pergeseran makna istilah tersebut berawal dari cacian lelaki pesohor Galih Ginanjar yang menyebut organ intim mantan istrinya, FAR, berbau ikan asin.

Belakangan, Galih mengakui mengucapkan istilah tersebut untuk menghina FAR. Kekinian, Galih beserta kedua rekannya, Pablo Benua dan Rey Utami, dijadikan tersangka serta ditahan.

Media-media massa, terutama online juga dikecam banyak pihak.

Sebab, awak entertainment yang bekerja untuk media-media jurnalistik tersebut, turut menggunakan diksi tersebut dalam banyak artikel sehingga melanggengkan penghinaan terhadap FAR, juga kaum perempuan.

Kekerasan Simbolik terhadap Perempuan

Anna Puji Lestari, dosen Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, mengkritik penggunaan diksi tersebut. Ia menilai, istilah ‘ikan asin’ dalam kasus itu adalah wujud kekerasan simbolik terhadap perempuan.

“Sebelumnya, istilah tersebut sering digunakan untuk menyalahkan korban kekerasan seksual, yakni sebagai ikan asin yang sengaja memancing ‘kucing’ atau laki-laki untuk memerkosa. Dengan kata lain, ikan asin merupakan terminologi politis yang mencederai seksualitas perempuan,” tuturnya.

Seksualitas perempuan juga dicederai karena penggunaan istilah tersebut mengarah pada objektivikasi perempuan sebagai makhluk yang dianggap pantas dilecehkan dan disakiti laki-laki.

“Penempatan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek dengan hadirnya era new media atau ‘media baru’, semakin menguatkan bias gender dalam representasi bermedia,” tuturnya.

Ia menjelaskan, sudah menonton video "Konten Mulut Sampah Rey Utami dan Pablo Benua" berjudul "Galih Ginanjar Cerita Masa Lalu" yang diunggah di YouTube.

Pada video tersebut, terdapat pernyataan Galih Ginanjar yang menyebut bagian tubuh mantan istrinya, FAR, berbau ikan asin.

Namun, kata Anna, dalam video berdurasi 32 menit 6 detik tersebut, Galih Ginanjar tidak hanya menyebut ‘ikan asin’ kepada mantan istrinya, tetapi juga menuduh FAR materialistis dan tidak bisa menemukan laki-laki lain sebaik dirinya untuk dijadikan suami.

Dengan demikian, pernyataan Galih Ginanjar bukan hanya melecehkan seksualitas mantan istri, melainkan juga mengarah pada ujaran kebencian yang disebabkan oleh subjektivitas penilaian.

Artinya, subjektivitas Galih Ginanjar ketika menyerang pribadi seseorang bukanlah informasi yang mengandung keberimbangan sehingga menyesatkan.

“Galih juga mencederai seksualitas perempuan dengan mengatakan dirinya belum cukup puas dengan mantan istinya dan lebih sering masturbasi di kamar mandi dengan menonton video porno. Jelas sekali cara seperti ini menyerang ranah seksual,” tuturnya.

Namun, kata Anna, sayangnya sistem hukum di Indonesia belum memayungi kasus pelecehan verbal yang terjadi tanpa melibatkan sentuhan fisik.

Kalau merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pencabulan diartikan sebatas pada tindakan fisik secara langsung.

Kondisi ini menyebabkan banyak tindak pelecehan seksual yang tidak melibatkan sentuhan fisik luput dari jerat hukum.

“Dalam kasus video ikan asin, ketiga tersangka hanya bisa dijerat dengan pasal UU ITE,” jelas Anna.

Kekerasan Simbolik Siber

Dalam dunia akademis, pelecehan secara verbal yang merusak psikologis pihak lain dinamakan kekerasan simbolik alias symbolic violence.

Anna menjelaskan, konsep kekerasan simbolik dicetuskan kali pertama oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis.

Menurut Bourdieu, bahasa tidak pernah bebas nilai. Ketika seseorang mengatakan sesuatu hal, orang yang menerima akan menangkap maksud yang berbeda.

Setiap kata dan setiap ekspresi memiliki ancaman yang dipahami oleh pengirim dan penerima pesan. Bourdieu melihat sistem simbolik melalui bahasa sebagai instrumen dominasi.

“Dalam setiap percakapan, terdapat pihak yang mendominasi dan didominasi. Pada kasus video ikan asin, Fairuz sebagai pihak yang didominasi karena dilecehkan, bukan hanya seksualitasnya, melainkan juga kepribadiannya: dituduh materialistis.”

Pada era kekinian, kekerasan simbolik yang ramai terjadi di dunia maya dapat dikategorikan sebagai kekerasan simbolik siber atau cyber simbolic violence.

“Istilah tersebut saya pakai untuk menjelaskan banyaknya fenomena kekerasan simbolik yang dialami perempuan di dunia maya, baik di kanal YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, maupun media daring lain,” kata Anna.

Cyber simbolic violence penting untuk diwaspadai mengingat dampaknya dua kali lipat dibanding kekerasan simbolik di dunia nyata atau di media arus utama yang tidak melibatkan internet.

Pasalnya, dalam dunia media sosial, ketika suatu konten sudah diunggah, tidak akan hilang walau sudah dihapus. Video ikan asin hingga kini masih bisa disaksikan walaupun Pablo Benua dan Rey Utami sudah menghapus konten tersebut dari akun resmi miliknya.

Komodifikasi Konten

Menurut Anna, maraknya ‘konten sampah’ di kanal YouTube tak lain disebabkan oleh komodifikasi konten vlog (video blog). Komodifikasi artinya mereduksi nilai suatu produk sebagai barang ekonomi semata.

Istilah komodifikasi dicetuskan oleh Vincent Mosco, profesor bidang Ilmu Komunikasi asal Kanada.

Menurut Mosco, the commodification of content atau komodifikasi isi merupakan proses perubahan dari kumpulan informasi ke dalam sistem makna dalam wujud produk yang dapat dipasarkan.

“Konten vlog ikan asin direduksi oleh kreatornya hanya sebagai produk yang bisa dipasarkan. Selama vlog semacam itu dinilai banyak menarik pemasang iklan, akan terus direproduksi,” kata Anna.

Ia mengakui, banyak YouTuber yang memonetisasi konten video yang diunggah. Dengan demikian, YouTuber mengizinkan YouTube/Google untuk menempatkan iklan di dalam video tersebut.

Sebagai timbal baliknya, vlogger akan mendapatkan bagi hasil dari iklan yang terpasang dengan pembagian 45 persen untuk YouTube dan 55 persen untuk YouTuber.

Komite Aksi Perempuan dan berbagai elemen menggelar aksi "Save Our Sister" dan "Nyalakan Tanda Bahaya" dengan menyalakan lilin dan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (4/5).
YouTube dan YouTuber mendapat uang setiap ada yang melihat iklan-iklan ketika menyaksikan vlog.

Sistem yang digunakan untuk menghitung jumlah pemasukan dari iklan ini adalah CPM atau cost per mille.

“Artinya, nilai iklannya dibayar per 1.000 view video itu. Dengan demikian, 1 dolar AS CPM menunjukkan pengiklan akan membayar 1 dolar AS untuk setiap 1.000 view iklan di video.”

Ditambah lagi, banyak YouTuber menuntut penontonnya untuk subscribe. Semakin banyak subscriber, berarti YouTuber dikatakan memiliki banyak massa sehingga berpotensi memperoleh sponsor, pengiklan dari luar YouTube, atau bahkan program investor ke dalam kanal YouTube miliknya, dan ini adalah sumber pemasukan lainnya bagi YouTuber.

Dengan mendapatkan sponsor, YouTuber bisa mendapatkan bayaran untuk menempatkan brand placement atau iklan di luar sistem Google dalam video mereka.

Adapun harganya bervariasi tergantung sepopuler apa kanalnya dan sedalam apa keuntungan para sponsor.

Tak heran banyak konten sampah di YouTube karena kreator hanya mengejar popularitas tanpa mempertimbangkan kualitas, hanya untuk mengejar keuntungan.

Pentingnya Netiket

Anna menjelaskan, kasus konten YouTube yang bermasalah bukan hanya milik Pablo Benua dan Rey Utami.

Sebelumnya, kata dia, vlog Anya Geraldine menuai kontra lantaran berani memamerkan kemesraan dengan pacarnya saat itu, Okky Raditya. Bahkan, KPAI pun mengambil sikap tegas dengan memanggil Anya.

Selain itu, pada tahun 2016, Nikita Mirzani sempat menghebohkan publik karena vlognya mendapat kritikan tajam dari KPAI.

Kala itu, Nikita Mirzani mengunggah konten dewasa tentang 'mandi kucing' yang tentunya membahayakan apabila ditonton anak kecil.

“Mengingat banyaknya konten vlog yang tidak pantas, sudah selayaknya masyarakat dunia maya mempelajari etiket bermedia di internet,” ucap Anna.

Ia mengatakan, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan pedoman berkomunikasi di media sosial melalui Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.

Dalam fatwa itu, terdapat larangan menyebar informasi palsu (hoaks), fitnah, gibah (penyampaian informasi faktual seseorang atau kelompok yang tak disukai), (adu domba), gosip, pemutarbalikan fakta, sampai ujaran kebencian dan permusuhan.

Selain itu, ICT Watch juga menyebutkan netiket media sosial. Netiket media sosial meliputi jangan berbohong, jangan membenci, jangan mengutuk, jangan melecehkan, berbagi info akurat, perbaiki kesalahan, menghormati privasi, dan pertimbangan matang sebelum unggah.

Dari banyaknya poin-poin netiket tersebut, dituntut semua pengguna media sosial mempelajarinya sehingga melek etiket dunia maya.

“Dengan dipenuhinya etiket dunia maya, apabila merujuk terminologi dari Jurgen Habermas, akan tercipta ruang publik. Ruang publik didefinisikan sebagai tempat banyak suara (many voices) guna mengutarakan banyak sudut pandang dengan santun sehingga tercipta demokrasi komunikasi.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Suara.com

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Lulusan Pertanahan Disebut AHY Harus Tahu Perkembangan Teknologi

Sleman
| Kamis, 25 April 2024, 20:37 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement