Advertisement

Libatkan TNI dalam Kerukunan Beragama, Kementerian Agama Dikritik

MG Noviarizal Fernandez
Sabtu, 04 Juli 2020 - 22:27 WIB
Budi Cahyana
Libatkan TNI dalam Kerukunan Beragama, Kementerian Agama Dikritik Ilustrasi -anggota TNI AD - Antara/Jessica Helena Wuysang

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil menentang rencana pelibatan TNI dalam urusan beragama warga negara. Sebelumnya rencana itu disampaikan Juru Bicara Kementerian Agama, Oman Fathurahman.

Koalisi yang terdiri dari Imparsial, ELSAM, ILR, LBH PERS, HRWG, PBHI, ICJR, SETARA Institute, KontraS, PILNET Indonesia, dan LBH Masyarakat menilai rencana pelibatan TNI AD untuk mengurus peningkatan kerukunan umat beragama hingga ke pelosok daerah di Indonesia bertentangan dengan prinsip demokrasi, HAM, dan agenda reformasi sektor keamanan serta UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).

Advertisement

Pertama, pelibatan TNI dalam mengurus kerukunan beragama adalah suatu pendekatan yang keliru, sebab pelibatan TNI yang mengusung pendekatan keamanan justru berpotensi memunculkan pelanggaran HAM. Ikhsan Yosari, peneliti Setara Isntitute mengatakan, pendekatan keamanan membuka ruang otoritarianisme karena pemerintah akan lebih mengutamakan stabilitas melalui pendekatan represif dibandingkan dialogis.

“Tidak ada argumen yang kuat dan masuk akal bagi Kementerian Agama untuk melibatkan TNI dalam program kerukunan umat beragama, karena nyatanya peningkatan kerukunan umat beragama selama ini lebih efektif dilakukan dengan cara-cara dialogis dibandingkan dengan pendekatan represif. Pendekatan represif hanya memunculkan kerukunan semu dan akhirnya menjadi bom waktu konflik sosial yang lebih besar sebagaimana di masa Orde Baru,” ucapnya, Sabtu (4/7/2020).

Menurutnya, paradigma kerukunan umat beragama yang selama ini dipakai Pemerintah tidak disertai dengan upaya pemenuhan kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) khususnya terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, seperti agama leluhur, kelompok aliran yang berbeda di internal keagamaan, serta penghayat kepercayaan. Hal ini, kata dia, terlihat dalam kebijakan Pemerintah seperti SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah dan penggunaan pasal penodaan agama yang bersifat diskriminatif.

Pendekatan yang menitikberatkan pada aspek kerukunan dalam praktiknya, lanjt dia, sangat potensial melanggengkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama atau keyakinan, yang selama ini sudah terjadi atas mereka.

Kedua, meski operasi militer selain perang (OMSP) dalam kerangka tugas perbantuan dimungkinkan, tetapi pelaksanaanya diatur secara ketat oleh Pasal 7 Ayat 2 UU TNI. Pada titik ini, tuturnya, mengurus peningkatan kerukunan umat beragama tidak termasuk dalam tugas OMSP sebagaimana diatur UU TNI. Apalagi, aturan main tentang pelaksanaan OMSP dalam kerangka tugas perbantuan belum juga dibentuk oleh pemerintah. Hal ini kata dia, akan menimbulkan problem akuntabilitas apabila terjadi pelanggaran HAM dalam pelaksanaanya. Lebih dari itu, pelibatan ini berpotensi bertentangan dengan Pasal 7 Ayat 3 UU TNI yang menegaskan OMSP hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara dan bukan sekadar Memorandum of Understanding (MoU) atau keputusan menteri.

“Rencana pelibatan TNI membantu Kemenag dalam urusan peningkatan kerukunan umat beragama sejatinya juga bertentangan dengan amanat Reformasi 1998 yakni penghapusan dwifungsi ABRI. Pemerintah sebaiknya fokus pada sejumlah agenda reformasi TNI yang tersisa seperti pembentukan aturan main OMSP dalam kerangka tugas perbantuan, reformasi peradilan militer, restrukturisasi Komando Teritorial, pemenuhan kebutuhan alutsista modern, kesejahteraan prajurit dan lain lain ketimbang menarik-narik TNI kembali dalam peran sosial-politik,” tambahnya.

Karena itu, koalisi ini menuntut Pemerintah untuk membatalkan rencana pelibatan TNI dalam mengurusi kerukunan umat beragama, mengganti pendekatan keamanan dengan pendekatan dialogis dengan melibatkan semua komunitas agama, termasuk agama-agama yang selama tidak diakui, meninjau kembali dan merumuskan ulang keterlibatan TNI dalam operasi non-perang yang merupakan campur tangan militer dalam kehidupan sipil sebagai amanat reformasi, demokrasi, dan penghapusan dwifungsi ABRI serta melanjutkan agenda reformasi TNI yang belum terselesaikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Syawalan ke Ponpes dan Panti Asuhan, Pj. Bupati Kulonprogo Salurkan Bantuan

Kulonprogo
| Kamis, 18 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

alt

Sambut Lebaran 2024, Taman Pintar Tambah Wahana Baru

Wisata
| Minggu, 07 April 2024, 22:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement