Advertisement

Lika-Liku Pemilu, Menuju Kursi Politik dari Rp30.000

Stefanus Arief Setiaji
Selasa, 23 April 2019 - 11:17 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
Lika-Liku Pemilu, Menuju Kursi Politik dari Rp30.000 Kampanye antipolitik uang di Banda Aceh, Aceh, Jumat (12//4/2019). - ANTARA/Irwansyah Putra

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA--Kasus-kasus pelanggaran dalam Pemilu seperti politik uang masih terus mewarnai wajah demokrasi Indonesia.

Kisah Prisma ini misalnya. Dua hari sebelum pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 digelar, kediaman Priska Haningtyas didatangi oleh teman organisasinya. Priska, merupakan mahasiswi tingkat pertama di salah satu universitas negeri di Kota Yogyakarta.

Advertisement

Biasanya, Priska hanya bertemu dengan rekannya itu di kegiatan yang digelar organisasi. Ketika temannya itu datang ke rumah di Desa Sembuh Kidul, Kecamatan Godean, dianggapnya sebagai hal lumrah semata.

Akan tetapi, obrolan dengan rekan itu terkesan menjadi tak biasa karena yang diceritakan soal Pemilu 2019. Dari yang semula soal organisasi, kuliah, hingga ke obrolan politik.

Saat temannya itu hendak berpamitan pulang, dia menanyakan berapa banyak anggota keluarganya yang memiliki hak pilih. Kebetulan, Priska merupakan pemilih pemula yang baru menggunakan hak pilih di Pemilu 2019 yang digelar pada Rabu 17 April lalu.

“Tiga,” ceritanya. Lalu, temannya itu menyodorkan amplop. Saat temannya sudah pergi, Priska membuka amplop tersebut. Isinya uang Rp50.000 dan selembar kertas berisi gambar partai politik dan nama calon anggota legislatif (caleg) DPRD Kabupaten Sleman.

Tidak hanya itu, sehari sebelum Pemilu digelar, dirinya juga menerima amplop yang modelnya kurang lebih sama. Berisi uang, lembaran nama caleg, dan gambar parpol.

Total, ada tiga amplop dari tiga caleg dari tiga parpol berbeda yang diterima Priska dengan isi uang tiap amplop masing-masing Rp50.000 di dua amplop dan satu amplop berisi Rp30.000.

Keseluruhan, uang yang diterimanya Rp130.000. Jumlah yang sama diterima oleh kedua orang tuanya. Total, uang yang diterima dirinya dan kedua orang tuanya Rp390.000.

“Sama ibuku uangnya buat beli sandal,” katanya sembari melempar tawa. Soal pilihan, dia realistis memilih yang memberi uang lebih besar.

Cerita ‘serangan’ politik uang jelang Pemilu 2019 juga dialami oleh Rusmanto, pensiunan guru di salah SD di Kota Jogja.

Rusmanto juga menerima uang Rp50.000 dari salah satu caleg tingkat DPRD. Uang itu dibagikan oleh pengurus rukun tetangga (RT) setempat.

Saat ditanya apakah memilih caleg yang bersangkutan, Rusmanto mengaku tidak memilih. “Lali jeneng’e [Lupa namanya],” katanya terkekeh.

Kasus politik uang masih saja menghiasi pesta demokrasi di Indonesia. Ada beragam alasan, masyarakat yang memilih menerima atau menolak uang dari caleg, mulai dari pertimbangan sungkan, kenal dengan sosok orang yang memberi uang, atau memang untuk kebutuhan membeli ‘bumbu dapur’.

Survei lembaga Charta Politika pada Maret 2019 menggambarkan bahwa 45,6% responden cukup maklum dengan praktik politik uang. Sementara itu, jumlah responden yang menyebut politik uang tidak dapat dimaklumi ada 39,1%.

Hal menarik dari politik uang, hampir 40,8% responden menerima uang atau hadiah, tetapi belum tentu memilih calon yang bersangkutan. Hanya ada 8% dari responden yang menerima uang dan memilih calon yang bersangkutan.

Sementara itu, ada 3,6% dari responden yang condong memilih caleg yang memberikan uang lebih banyak.

Dalam surveinya, Charta Politika juga menyoroti besaran uang yang layak diberikan caleg dan berpotensi mengubah pilihan politiknya. Nilainya antara Rp50.000-Rp200.000.

Dari jumlah besaran uang itu, lebih dari 26% responden menyebut besaran uang Rp200.000 atau lebih bisa mengubah pilihan politik, sedangkan nilai di bawah itu tidak serta merta mengubah pilihan.

Soal tokoh yang memberikan uang, dari survei Charta sebanyak 45,2% diberikan melalui tim sukses, lalu sebanyak 3,4% melalui pengurus RT/RW/dusun, lalu 2,8% melalui pengurus partai.

Dalam kesempatan sebelumnya, anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Ratna Dewi Pettalolo mengaku hingga awal April, sudah ada 548 pelanggaran pidana yang ditangani Bawaslu.

Sebanyak 66 kasus sudah sampai pada tahap pemeriksaan di pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap. Adapun dari pelanggaran pidana tersebut, sebanyak sembilan putusan terkait dengan kasus politik uang.

Untuk mencegah politik uang saat itu, Bawaslu mencoba menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terlebih setelah KPK melakukan tangkap tangan terhadap anggota DPR yang akan melakukan ‘serangan fajar’ untuk kepentingan politik.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyatakan bila ada caleg yang diduga melakukan politik uang, bisa dijerat UU tindak pidana korupsi. Hanya saja, Indonesia dirasa belum memungkinan menerapkan hal itu.

“Di Hong Kong, politik uang dalam pemilu ditangani dengan pendekatan pidana korupsi,” katanya.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Tri Sasongko menilai dengan terbatasnya wewenang KPK, koordinasi dengan Bawaslu adalah jalan satu-satunya bagi lembaga pengawas untuk membuka tabir politik uang.

“Kecil peluangnya bagi KPK untuk bisa masuk ke kasus-kasus politik uang,” katanya. 

Hanya saja, politik uang acap kali juga sulit dibuktikan jika penerimanya tidak terbuka atau pelaku politik uang tidak tertangkap tangan. Masih adanya sebagian masyarakat yang beranggapan politik uang di pesta demokrasi hal biasa, menjadi satu sisi yang harus diterima sebagai realitas. Tak heran, jika 'amplop' politik uang dipakai untuk belanja dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Bisnis.com/Timesofindia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Advertisement

alt

Alert! Stok Darah di DIY Menipis, PMI Dorong Instansi Gelar Donor Darah

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 13:47 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement