Advertisement

Bregada Cyber Akan Jaga Jogja dari Konten Negatif

Salsabila Annisa Azmi
Sabtu, 13 April 2019 - 12:47 WIB
Budi Cahyana
Bregada Cyber Akan Jaga Jogja dari Konten Negatif GKR Hayu dan Kepala Diskominfo DIY Rony Primanto Hari saat berdiskusi dengan perwakilan admin media sosial. - Harian Jogja/Salsabila Annisa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Intoleransi belakangan bermunculan disertai dengan maraknya hoaks. Berangkat dari itu, Diskominfo DIY bersama puluhan perwakilan admin media sosial kemudian membentuk Bregada Cyber. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Salsabila Annisa Azmi.

Malam itu di Gedung Diskominfo DIY, 25 perwakilan atau admin media sosial yang mewakili atensi ribuan pengikutnya duduk bersila di atas tikar yang tergelar untuk acara Diskusi Bersama Menjaga Keistimewaan Jogja dengan Media Sosial. Tangan-tangan mereka sibuk menyentuh layar ponsel, memperhatikan konten-konten jelang pemilu yang saling memprovokasi antarkubu.

Advertisement

Sesaat kemudian tangan mereka sibuk mengambil kudapan, sambil mulut mereka tak henti mendiskusikan langkah yang tepat untuk menendang keluar konten negatif keluar dari Kota Jogja.

Selain konten hoaks dan penuh ujaran benci jelang pemilu, mereka menyadari keistimewaan Kota Jogja jadi terkikis karena kasus intoleransi yang terjadi di beberapa wilayah di DIY belakangan ini. Contohnya seorang seniman yang sempat ditolak tinggal di Dusun Karet, Pleret, Bantul hingga perusakan nisan salib di makam Bethesda. Lagi-lagi konten media sosial juga berperan dalam memperkeruh suasana dengan menampilkan informasi simpang siur tanpa konfirmasi dan solusi kasus. Semua konten negatif yang bombastis diunggah demi mengejar jumlah engagement media sosial. Mereka pun menyadari, justru akun dari kota lain yang memviralkan informasi tanpa konfirmasi tersebut.

Dari diskusi itu disepakati akan dibentuk Bregada Cyber yang bertugas mengkonter berita-berita negatif soal Jogja di media sosial.

Menurut Kepala Dinas Kominfo DIY, Rony Primanto Hari, Bregada Cyber menjadi darurat untuk dibentuk.

“Kami akan ajak pemilik media sosial dengan ribuan pengikut bekerja sama dengan admin media sosial pelat merah untuk mengantisipasi berita-berita hoaks yang menyerang keistimewaan Kota Jogja. Nanti Bregada Cyber ini akan bertemu rutin, dua minggu sekali. Kami akan mengamati apa yang sedang hits di Jogja, kemudian sama-sama memikirkan konten positif apa yang akan ditayangkan. Bisa soal budaya atau kuliner,” kata Rony.

Waktu pengamatan dua minggu sekali juga diperlukan untuk memikirkan konten “balasan” dari berita-berita simpang siur di media sosial mengenai kasus yang sedang terjadi di DIY. Rony pun memberikan contoh sebagai gambaran dari cara kerja Bregada Cyber yang akan dimulai dan diresmikan minggu depan.

Berdasar pengamatan Rony, kasus intoleransi yang terjadi di DIY atau masalah pariwisata seperti parkir dan harga makanan nuthuk, seringkali menjadi makanan lezat bagi media sosial pemburu engagement. Mereka memposting bagian bombastis tanpa menyertakan klarifikasi pihak berwenang. “Idealnya memang dibalas dengan konten serempak dari berbagai media sosial dari Jogja, yang menampilkan bahwa di sudut lain Kota Jogja masih ada toleransi. Selain itu, kalau akun media sosial ini butuh klarifikasi pihak berwenang, admin media sosial pelat merah ini yang akan membawa narasumber yang sesuai untuk bikin konten klarifikasi,” kata Rony.

Rony mengatakan nantinya proses diskusi konten dijalankan rutin dan bersifat santai. Dia menjelaskan Diskominfo DIY menyediakan ruang kolaborasi bagi media sosial publik dengan media sosial pelat merah untuk bersama-sama memerangi kebisingan arus informasi yang menimbulkan hoaks, caranya dengan menciptakan konten positif secara kompak.

 Bagi Berita

Dalam diskusi tersebut turut hadir GKR Hayu mewakili Tepas Tandha Yekti, sebuah divisi di dalam struktur organisasi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang bertanggung  jawab atas IT dan dokumentasi. Sebagai pengamat media sosial, GKR Hayu mengaku resah dengan komentar netizen terhadap Kota Jogja terutama di tahun politik dan maraknya kasus intoleransi yang terjadi. “Netizen sering mengomentari kok Jogja jadi gini sih? Sebenarnya intoleransi sudah meningkat di mana-mana bahkan secara global. Di daerah lain, kalau itu terjadi biasa saja, tetapi kalau di Jogja terjadi, itu jadi luar biasa. Itu karena Jogja istimewa, dianggap miniatur Indonesia. Maka kita harus menjaga keistimewaan Jogja. Kita harus bersama-sama membendung hoaks, tunjukkan Jogja masih istimewa,” kata GKR Hayu.

GKR Hayu menjelaskan berdasar penelitian yang pernah dibacanya, batas maksimal masyarakat membagikan berita adalah 19 kali. Rantai membagikan berita tersebut jauh lebih banyak daripada jumlah klarifikasi di media sosial. Apalagi masih ada beberapa orang yang tidak memiliki tendensi untuk membagikan informasi atau konten yang mengandung klarifikasi hoaks.

Harapannya, dalam celah tersebut, pemilik akun media sosial dengan ribuan pengikut bisa bekerja sama dengan admin media sosial pelat merah untuk menciptakan konten positif. Misalnya konten keistimewaan budaya Jogja, makanan khas, dan tentu saja klarifikasi serta penyelesaian dari kasus-kasus yang terjadi di DIY. Artinya, akun media sosial harus menyambung rantai informasi yang selama ini terputus.

“Kita harus imbangi berita simpang siur itu dengan klarifikasi. Sebab algoritma Instagram itu akan menampilkan konten apa yang biasanya masyarakat konsumsi. Maka sekali konsumsi hoaks, ya yang muncul di berandanya hoaks terus. Kita harus flush out konten jelek itu dengan konten positif,” kata GKR Hayu.

GKR Hayu memberi contoh pencegahan misinformasi yang nantinya bisa dilakukan oleh pemilik media sosial. Misalnya saat kasus Sedekah Laut dibubarkan karena dianggap syirik. GKR Hayu mengatakan media sosial Kraton Jogja sempat ramai tuduhan dari beberapa orang bahwa Kraton menyembah jin untuk mencari berkah. Menurutnya hal itu terjadi karena minimnya pengetahuan beberapa orang tentang budaya Sedekah Laut.

“Padahal budaya itu esensinya doa bersyukur, doa permohonan, setelah itu sedekah. Mereka bikin apem gunungan intinya sedekah, karena  labuhan pun dibagikan ke masyarakat. Mereka sedekah waktu juga ke Tuhan lewat Kraton [Ngayogyakarta Hadiningrat]. Esensinya itu. Namun beberapa orang belum mengerti. Maka sebenarnya konten berbau budaya juga penting untuk ditampilkan untuk edukasi, untuk mencegah misinformasi,” kata GKR Hayu.

Sedekah laut hanya salah satu dari sekian banyak kekayaan budaya Kota Jogja. Dengan kekayaan budaya dari berbagai aspek yang dijabarkan itu, Jogja ibarat publik figure yang dielu-elukan. Jogja menjadi berbeda dengan daerah lain. Kasus intoleransi dan kerusuhan kampanye yang juga terjadi di daerah lain jadi menyedot atensi luar biasa apabila terjadi di Bumi Mataram.

Salah satu perwakilan admin media sosial yang turut diundang, Antok dari Info Cegatan Jogja, angkat bicara. Dia tak menampik bisingnya hoaks di media sosial masyarakat Kota Jogja, baik tentang pemilu atau kasus intoleransi, seringkali dimanfaatkan oleh buzzer politik untuk menjaring suara. Berdasar pengamatannya, kondisi tersebut semakin membuat perpecahan masyarakat di Jogja. Mereka pun tak sadar dijadikan komoditas politik oleh buzzer-buzzer tersebut.

“Pengalaman saya sebagai admin media sosial, apabila netizen atau masyarakat ini kita sibukkan dengan hal yang cukup menarik dari Kota Jogja, tentunya yang positif, mereka mau kok untuk sejenak tidak membahas politik di grup whatsapp dan beralih membahas hal menarik tadi,” kata Antok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Alert! Stok Darah di DIY Menipis, PMI Dorong Instansi Gelar Donor Darah

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 13:47 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement