Advertisement

Jalan Panjang Bapak Reformasi yang Acap Tuai Kontroversi

Kahfi
Rabu, 10 April 2019 - 20:27 WIB
Budi Cahyana
Jalan Panjang Bapak Reformasi yang Acap Tuai Kontroversi Amien Rais memberikan kesaksian dalam sidang kasus dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks dengan terdakwa Ratna Sarumpaet di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Kamis (4/4/2019). - Antara/Sigid Kurniawan

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA -- Amien Rais, almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dan Megawati merupakan triumvirat tokoh nasional yang pernah berhadapan langsung dengan Soeharto pada masa Orde Baru.

Bila Gus Dur disokong kekuatan NU, Megawati massa loyal PDI (kini PDI Perjuangan), Amien mempunyai fondasi di lingkungan Muhamadiyah. Tercatat sejak awal 1990-an, Amien secara berani mencuatkan kembali isu suksesi kepemimpinan nasional. Tentu, isu ini sangat memekakkan telinga Soeharto yang sebelumnya telah ‘melindas’ orang-orang yang pernah atau kedapatan melirik suksesi, seperti Jenderal B Moerdani, Jenderal Sumitro ataupun Ali Murtopo.

Advertisement

Namun Amien gagah dengan isu tersebut hingga akhir ajal Orde Baru. Bersama Mega dan Gus Dur, Amien didapuk selaku lokomotif dari beberapa elemen gerakan mahasiswa kala itu.

Dia sempat mendatangi Gedung DPR RI yang diduduki mahasiswa. Di sanalah, Amien disematkan gelar yang hingga kini lekat dengannya, Bapak Reformasi.

Pada masa awal reformasi, Amien beserta beberapa tokoh nasional, mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Gerbong politik tersebut mampu mengantarkannya sebagai Ketua MPR periode 1999-2004 yang berkiprah mengamendemen UUD 1945.

Lontaran kritik Amien punya kesan bagi masyarakat yang seakan terkungkung kebebasan berpendapat era Orde Baru. Mulai dari seruan suksesi hingga kritik terhadap nepotisme pemerintahan era Soeharto, pernah diluapkan Amien.

Setidaknya selama lima tahun belakangan hingga sekarang, Amien kembali naik pentas. Kali ini, tidak sebagai barisan depan gerakan massa, bukan pula sebagai kontestan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, teman sebagai penyokong salah satu kandidat, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Amien masih garang. Namun sekarang, kegarangan itu seakan ditambah banyak bumbu kontroversi.

Dalam setahun saja, Amien telah memproduksi banyak pendapat pedas, yang sayangnya menuai kritik balasan. Musababnya, kritik sosok yang kini menduduki jabatan Ketua Dewan Pertimbangan PAN itu, dianggap memperlebar retakan sosial akibat kampanye berbau identitas, dan tak berdasar.

Sebagai contoh, lontaran kritik Amien terkait dengan isu kebangkitan PKI pada tahun lalu. Ataupun, pernyataannya terkait dengan pertarungan Pemilu 2019, sebagai duel ‘Partai Allah’ versus ‘Partai Setan.’

Respons negatif pun bermunculan. Bahkan, dari kawan sekondan pendiri PAN seperti Abdillah Toha, Goenawan Mohamad, hingga Toeti Heraty pernah melancarkan protes keras sekaligus tuntutan agar Amien tak lagi terlibat politik praktis, terutama yang melibatkan PAN.

Langkah Amien tak surut. Sebagaimana dulu, kini dirinya seolah masih keras kepala, pengkritik tanpa ampun.

People Power

Pada Minggu (31/3/2019), di sela aksi 313, Amien mengumandangkan perang total terhadap penyelenggara Pemilu, jika terjadi kecurangan. People power, pekik Amien, adalah jawaban bagi kecurangan pemilu, bukan lagi prosedur legal formal yang telah disusun sesuai aturan.

“Kalau sampai nanti terjadi kecurangan, sifatnya terukur, sistematis dan masif, ada bukti, itu kita enggak akan ke MK [Mahkamah Konstitusi]. Enggak ada gunanya tapi kita langsung people power,” katanya.

Lagi-lagi, hal ini memantik banyak perdebatan. Tak sedikit yang protes keras. Sebagian menilainya sebagai ancaman yang mengada-ada, penuh hasutan demi menggolkan tujuan politik kontestan tertentu.

Bahkan, PP Pemuda Muhamadiyah balik mengkritik ulah Amien. Menurut Sekretaris PP Pemudah Muhamadiyah David Krisna Alka, seruan aksi massa untuk mengubah kekuasaan atau people power, merupakan jurus politik lawas.

“Gaya politik lama, seolah masih era Orba saja. Gaya politik lama tidak digunakan lagi, alat demokrasi sudah cukup bagus saat ini,” ungkap David di Sekretariat Formappi, Kamis (4/4/2019).

Dia menilai Amien seperti keluar koridor dari cara berpolitik yang teduh lagi santun. “Jangan pakai juga kampanye surga dan neraka [dalam konteks Pemilu 2019],” tukas David.

Amien memang meninggalkan banyak jejak terkait dengan kampanye sarat sentimen identitas. Seperti, misal, pernyataannya jika Jokowi akan dilengserkan Allah SWT beberapa waktu lalu.

Kritik

Di sisi lain, seruan kekuatan massa (people power) sebagai cara mengontrol kinerja penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga perangkat kelembagaan seperti Kepolisian hingga Mahkamah Konstitusi, bisa diangap kritik faktual.

Sebab, sebagaimana disimpulkan Arif Sutanto dari Exposit Strategic, selama ini ada kelemahan kinerja dari para penyelenggara.

Namun demikian, jika harus mengerahkan kekuatan massa guna menuntaskan perkara pemilu, menurut Arif, hal itu terlalu berlebihan.

“Selama ini, kasus-kasus pelanggaran, temuan kecurangan, sudah ada saluran, dan itu berjalan prosesnya. Memang masih banyak hal yang bisa dikritik dari penyelenggara, namun tidak bisa dijadikan landasan yang tak mematuhi tata aturan yang berlaku,” simpulnya.

Kontraproduktif

Ari Nurcahyo dari PARA Syndicate mengungkapkan Amien bukan kali ini saja melontarkan pendapat yang provokatif. Dia menyayangkan politisi senior yang seharusnya memberikan teladan politik santun dan persatuan, malah membuat pernyataan yang dianggap kontraproduktif.

Dari variabel serentetan pernyataan Amien, menurut Ari, secara serempak seakan mendelegitimasi bukan saja penyelenggara pemilu, namun lebih kepada ketidakpercayaan terhadap sistem bernegara.

“Hal ini terlihat dari variabel pernyataan yang merujuk kepada negara gagal, demokrasi yang ada hanya menghasilkan koruptor, yang berujung kepada persepsi negatif terhadap sistem yang tengah berjalan dan dimotori Pak Amien juga dahulu,” ungkapnya.

Meski memaklumi bahwa segala pernyataan itu dimaksudkan mempengaruhi jangkar politik para pemilih pada Pemilu 2019, Ari menganggap persepsi negatif terhadap sistem, pembelahan kelompok sosial, akan merugikan secara jangka panjang. “Kontestasi bukan sekadar nafsu berkuasa,” tukasnya.

Pemilu akan segera berakhir pada April ini, anggap saja segala hal yang melintasinya sebatas cara mematangkan demokrasi kita. Jika lantunan people power menuai kritik, lebih baik didendangkan syair mendiang John Lennon berjudul Power to the People. Mungkin banyak yang akan bersepakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Lomba Dirikan Tenda Darurat Meriahkan HUT Ke-20 Tagana

Jogja
| Sabtu, 20 April 2024, 16:47 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement