Advertisement

Rencana Boikot Produk Uni Eropa Bisa Jadi Bumerang

Yustinus Andri
Sabtu, 23 Maret 2019 - 06:47 WIB
Budi Cahyana
Rencana Boikot Produk Uni Eropa Bisa Jadi Bumerang Petani memindahkan kelapa sawit hasil panen ke atas truk di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018). - JIBI/Rachman

Advertisement

Harianjogja.com, JAKARTA — Pengusaha non-CPO dan produk turunannya menilai rencana pemerintah memboikot produk asal Uni Eropa bisa menjadi bumerang terhadap ekspor produk Indonesia ke kawasan itu.

Hal ini mengingat nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa (UE) pada 2018 mencapai US$17,09 miliar atau memiliki porsi 10,47% dari keseluruhan ekspor.

Advertisement

Nilai tersebut, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), menjadi yang terbesar keempat setelah Asean, China, dan Amerika Serikat (AS).

Shinta W. Kamdani, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menuturkan, ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah sebelum memutuskan untuk melakukan aksi boikot.

Pertama, aksi boikot berisiko membuat semua sektor yang mengekspor produknya ke Uni Eropa (UE) akan dirugikan, khususnya apabila perundingan Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Patnership (IEU-CEPA) terhambat.

Dia mencontohkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki turut berkontribusi besar terhadap nilai ekspor ke UE. Menurut Shinta, total nilai ekspor keduanya dapat menyaingi nilai ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya ke kawasan itu.

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, nilai total ekspor TPT dan alas kaki ke UE mencapai sekitar US$2 miliar pada tahun lalu. Sementara itu, mengacu pada data BPS, nilai ekspor CPO dan produk turunannya mencapai US$3,7 miliar pada 2017.

“Kondisi itu belum menghitung dampak kerapuhan ekonomi Indonesia terhadap potensi berkurangnya lapangan kerja di sektor tersebut akibat konflik Indonesia dan UE,” imbuhnya, Kamis (21/3).

Kedua, Indonesia akan segera ditinjau oleh UE terkait dengan kelayakan untuk menerima generalized system of preferences (GSP) pada tahun ini. Menurutnya, posisi Indonesia sebagai penerima GSP dari UE berpotensi dihentikan.

“Indonesia berpeluang tidak lagi masuk dalam syarat negara penerima GSP UE. Kalau kita tidak lagi layak menerima GSP mereka, pangsa pasar kita akan makin sulit di sana,” papar Shinta.

Mengutip ketentuan negara penerima GSP oleh UE dari dokumen Komisi Eropa, suatu negara akan dicoret dari daftar penerima manfaat itu apabila telah memiliki perjanjian dagang bebas dengan UE.

Selain itu, negara itu akan dikecualikan dari kategori penerima GSP apabila status ekonominya diklasifikasikan oleh Bank Dunia sebagai negara berpendapatan menengah ke atas selama 3 tahun berturut-turut.

Berdasarkan data Komisi Eropa, produk Indonesia yang berhak menerima fasilitas GSP a.l. produk hewan hidup dan produk hewani kecuali ikan serta minyak hewani atau nabati, lemak, dan lilin. Dalam hal ini produk tersebut dibebaskan bea masuknya ke UE.

Saat ini, RI menikmati fasilitas GSP dari UE yang masa berlakunya mulai dari 2017 hingga 2019.

Fithra Faisal, Ekonom Universitas Indonesia, mengatakan bahwa konflik antara Indonesia dan UE ini berpeluang membuat UE mencabut fasilitas GSP yang diterima Indonesia. Pasalnya, fasilitas itu adalah hak prerogatif dari UE untuk diberlakukan kepada negara mitranya.

“Status ekonomi kita sedikit lagi mencapai negara berpendapatan menengah ke atas. Jadi sangat mungkin UE mempertimbangkan pencabutan fasilitas GSP seperti yang hampir dilakukan AS kepada Indonesia tahun lalu,” jelasnya.

Merespons hal ini, Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi Lukman mengatakan, rencana Indonesia memboikot produk Uni Eropa tidak serta merta dilakukan terhadap semua produk.

Menurutnya, langkah itu bisa dilakukan dengan mengalihkan impor Indonesia dari UE ke negara lain. “Kita pilih, misalnya dairy product seperti susu, yang bisa dialihkan secara tidak langsung impornya ke Selandia Baru atau Australia. Itu tidak melanggar WTO [World Trade Organization].”

INDUSTRI LAIN

Sementara itu, mengenai potensi balasan UE atas langkah boikot Indonesia yang berdampak kepada ekspor ke kawasan itu, dia menilai hal tersebut masih terlalu jauh untuk dibahas.

Terkait dengan akan berakhirnya fasilitas GSP, dia mengatakan Indonesia terus melobi ke UE seperti yang dilakukan oleh pemerintah ke AS selama ini. Dia meyakini, fasilitas itu akan tetap diberikan kembali kepada Indonesia.

Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengharapkan pemerintah dapat melihat kepentingan industri lain sebelum melakukan aksi boikot terhadap produk asal UE.

“Industri TPT dan alas kaki saat ini masuk ke UE dengan status negara most favoured nation. Kalau IEU-CEPA mandek dan produk Indonesia diretaliasi balik, kita makin tertinggal dibandingkan dengan negara pesaing seperti Vietnam,” katanya.

Nengah Sarjana, Sekretaris Jenderal Shrimp Club Indonesia (SCI), menilai menilai, ancaman boikot itu dapat membahayakan ekspor udang dan produk turunannya ke depan.

Safari Aziz, Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), menambahkan, pihaknya akan melakukan lobi dengan mitra di UE agar ketegangan hubungan ini tidak mengganggu ekspor rumput laut ke kawasan itu.

Juan P. Adoe, Wakil Ketua Umum Bidang Pangan Strategis Kamar Dagang dan Industri, meyakini pemerintah akan lebih dulu menunggu kepastian dari hasil sidang di WTO.

Menurutnya, produk daging olahan Indonesia akan tetap mendapatkan pembebasan bea masuk melalui fasilitas GSP dari UE. (Nur Faizah Al Bahriyatul Baqiroh)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : JIBI/Bisnis Indonesia

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Korban Apartemen Malioboro City Bakal Bergabung dengan Ratusan Orang untuk Aksi Hari Buruh

Jogja
| Kamis, 25 April 2024, 11:27 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement