Advertisement
Remaja Pemilih Pemula, Terpapar Pengaruh Guru, Teman hingga Berita Hoaks
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Para remaja generasi Z paling tua di Indonesia usia 17-18 tahun bakal menjadi pemilih pemula pada Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 17 April 2019 nanti. Jauh hari sebelumnya dunia mereka telah dibanjiri pengaruh dan perdebatan soal pilihan capres.
Putri, 17, siswi SMA Muhammadiyah 1 Jogja masih memperhatikan pelajaran di kelasnya. Siang itu sang guru membahas soal-soal latihan ujian, di tengah waktu pengerjaan soal, guru itu membangga-banggakan calon presiden pilihannya. Tak jarang guru tersebut mengeluarkan kalimat persuasif kepada Putri dan teman-temannya untuk memilih calon presiden dengan nomor urut yang sama.
Advertisement
“Kadang sampai teman-temanku yang pilih calon presiden lain itu bisik-bisik, ‘ah bete nih, udah yuk keluar kelas aja kalau gurunya gini terus’, apalagi di lingkungan sekolahku kan ada juga sesama temen saling sebel karena beda pilihan. Meskipun ada juga yang udah bisa terima perbedaan,” kata Putri, seusai mengikuti pelajaran di kelasnya kepada Harian Jogja Jumat (18/1).
Meskipun begitu, sebagai golongan pemilih pemula, Putri mengaku fenomena itu tak terlalu memengaruhi pilihan mereka masing-masing. Putri mengaku dirinya tidak gampang terpengaruh oleh orang lain karena dia sudah mempelajari seluk beluk tiap calon presiden (capres) dan menentukan pilihannya sendiri.
Ia juga menyebut teman-teman sebayanya kerap berdebat soal capres di sekolah, saat berkumpul bersama. “Jadi kalau di media sosial [medos] gitu malah enggak terlalu bahas politik ya, soalnya tujuannya buat refreshing,” kata Putri.
Berbeda dengan Putri, siswi SMA Negeri 4 Jogja, Ranti, 17, mengaku masih bingung terhadap pilihannya. Dia mengaku tidak menemukan keistimewaan dalam pemikiran-pemikiran atau program-program kedua capres. “Aku juga sibuk sekolah, sama kayak temen-temenku. Jadi di kalangan teman-temanku juga masih bingung mau milih capres yang mana,” kata Ranti.
Gesekan karena perbedaan pendapat soal pilihan capres di antara teman-temannya ditemukan Ranti di medsos. Sejumlah temannya mengikuti aksi solidaritas capres pilihannya masing-masing dan mengunggahnya di media sosial mereka. “Iya mereka ada yang ikut perkumpulan partai-partai yang dukung capres pilihannya. Tapi untuk perdebatan di media sosial masih aman, tidak ada,” kata Ranti.
Lain lagi bagi siswa Kelas XI SMAN 2 Jogja, Anisa tema Pilpres disebutnya juga menjadi guyonan di antara kawan-kawan di sekolahnya. "Calon-calonnya ini [capres] kan banyak diiringi berita yang bombastis, hoaks vs fakta juga, jadi sering dibahas," ujar Anisa belum lama ini.
Anisa mengaku sering terlibat adu argumen dengan teman-temannya ketika bahasan pilpres mencuat. Dirinya yang sering mendapatkan beragam informasi terutama dari media sosial dan televisi, sering ia sampaikan info yang ia tahu kepada teman-temannya.
"Sebagian ada yang berpikir, ya enggak apa-apa itu pendapatmu, toh aku sudah punya pilihan," kata dia. Dari adu argumen ini pun membuatnya untuk mengecek keabsahan fakta tersebut di internet. "Kalau dapet info dari teman, aku browsing dulu."
Pertukaran pendapat di kalangan dirinya dan teman-temannya menurutnya wajar saja dilakukan. Ia juga menyadari jika apa yang disampaikan orang lain terhadapnya dapat memengaruhinya. "Setelah dengar argumen orang, baik yang aku setuju ataupun enggak, kalau aku merasa ada yang baru atau menarik, aku cari dulu dasarnya apa. Supaya itu juga bisa buat argumen lain dari pilihanku," katanya.
Butuh Pendampingan
Pengamat Pendidikan dari Universitas PGRI Yogyakarta, Profesor Buchory mengatakan perlu ada pendampingan dari lingkungan terdekat siswa terkait dengan agenda pilpres ini. "Lingkungan siswa , terutama orang tua dan guru, harus memberi bekal pengetahuan terkait pemilihan calon pemimpin. Tidak hanya pilpres, tetapi juga legislatif dari tingkat DPRD kabupaten," kata dia.
Menurutnya, saat ini informasi terkait calon legislatif sangat terbatas, hanya sekadar poster dan baliho di pinggir jalan. Sedangkan, di media arus utama dan media sosial informasi yang ramai diperbincangkan masih seputar kedua pasangan capres dan cawapres. "Apalagi besok pas nyoblos legislatif [Pileg] itu nyoblos orang, bukan partai. Saya saja yang sudah berkali-kali nyoblos masing kurang informasi calon, apalagi para siswa yang merupakan pemilih pemula?" tuturnya.
Untuk itu, Buchory menyarankan agar lembaga terkait mengadakan sosialisasi terkait calon legislatif. Wakil Ketua Dewan Pendidikan Provinsi DIY ini juga menegaskan pentingnya orang tua dan guru untuk membantu siswa memahami tentang kontestasi demokrasi ini.
"Namun jangan sampai mengarahkan pilihan mereka. Pemilu itu kan asasnya luberjurdil [langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil]. Ada [kata] bebas di situ, maka siswa harus bebas memilih tanpa tekanan dari pihak manapun," tegas Guru Besar Pascasarjana UPY ini.
Pengamat Politik Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Lukas Ispandriarno mengatakan generasi Z di Kota Jogja memiliki kesadaran politik yang beragam. Mulai dari yang benar-benar apatis hingga yang sering berdebat tentang keunggulan pilihan capresnya masing-masing di media sosial. Lukas mengaku media sosial memegang peranan terbesar dalam pilihan capres generasi Z.
“Semakin banyak mereka terpapar informasi politik di media sosial, baik itu meme, atau materi kampanye, jika dasar pengetahuan mereka soal politik masih minim, mereka akan gampang terpengaruh ikut ke satu kubu tanpa analisis mendalam dan alasan rasional atas pilihan mereka. Ini banyak terjadi,” kata Lukas.
Lukas sepakat soal ilmu dasar politik sebagai landasan generasi Z agar tidak terlalu mudah terpengaruh dengan konten media sosial yang provokatif dan saling menyerang pilihan capres orang lain. Maka sebagai penyedia edukasi ilmu politik, Lukas mengatakan tenaga pengajar seperti guru atau dosen tidak seharusnya memperkeruh suasana dengan menceritakan kelebihan capres pilihannya.
Kemampuan berpikir kritis itu, menurut Lukas, penting untuk ditumbuhkan di kalangan generasi Z melalui tenaga pengajar. Apalagi saat ini ada beragam konten di media sosial yang merupakan dua mata pisau. Contohnya seperti akun Nurhadi-Aldo yang seakan menjadikan politik sebagai bahan bercandaan dan bukan suatu hal yang serius dan memperbesar potensi golput di kalangan generasi Z. “Oleh karena itu generasi Z ini harus digiring berdiskusi, berpikir kritis terhadap semua konten di media sosial,” kata Lukas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber : Lajeng Padmaratri
Berita Lainnya
- Luar Biasa! Sikat Korsel, Indonesia Cetak Sejarah ke Semifinal Piala Asia U-23
- Indonesia Gagal Pertahankan Keunggulan, Pertandingan Lanjut ke Extra Time
- Profil Rafael Struick, Pemborong Dua Gol ke Gawang Korsel di Piala Asia U-23
- Struick Borong Gol, Timnas U-23 Unggul 2-1 Atas Korsel di Babak Pertama
Berita Pilihan
- Meningkatkan Perlindungan dari Penyakit Menular, Jemaah Calon Haji Disarankan Vaksin
- Dugaan Pelanggaran Wewenang, Wakil Ketua KPK Laporkan Anggota Dewas
- 66 Pegawai KPK Pelaku Pungutan Liar di Rumah Tahanan Dipecat
- Wapres Maruf Amin Sebut Tak Perlu Ada Tim Transisi ke Pemerintahan Prabowo-Gibran
- WhatsApp Bocor, Israel Dikabarkan Gunakan Data untuk Serang Rumah Warga Palestina
Advertisement
Advertisement
Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali
Advertisement
Berita Populer
- Menhub Kunker ke Jepang: Indonesia Tingkatkan Kerja Sama Bidang Transportasi
- Pejabat Kementerian ESDM Diperiksa Terkait Korupsi Timah Triliunan Rupiah
- Wakil Presiden Dijadwalkan Membuka Rakernas Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting
- Jamaika Resmi Mengakui Kedaulatan Palestina
- Anies-Muhaimin Hadir di Penetapan KPU, Pakar UGM: Ada Peluang Ikut Koalisi Prabowo
- Meningkatkan Perlindungan dari Penyakit Menular, Jemaah Calon Haji Disarankan Vaksin
- Wanita 60 Tahun Lolos ke Kontes Miss Argentina karena Tampak Awet Muda
Advertisement
Advertisement