Advertisement

Gugatan Korban Lion Air JT610 ke Boeing Bisa Menjadi Corrective Action

Nugroho Nurcahyo
Jum'at, 16 November 2018 - 23:45 WIB
Nugroho Nurcahyo
Gugatan Korban Lion Air JT610 ke Boeing Bisa Menjadi Corrective Action Ilustrasi Boeing - Is/Stuff

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Gugatan yang dilayangkan keluarga korban Lion Air PK-LQP/JT610 kepada Boeing Company di Pengadilan Amerika Serikat, cukup memiliki alasan dan dasar kuat. Gugatan itu juga bisa menjadi Corrective Action bagi raksasa perusahaan manufaktur pesawat yang berbasis di Chicago, Illinois, AS, itu.

“Ada sirkular safety bulletin yang terlambat dikeluarkan setelah instrument angle of attack JT610 tidak beres walau sudah beberapa kali diganti. Dan sikap Boeing juga agak tertutup , jadi [hal ini] malah mencurigakan,” kata Pengamat Penerbangan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Arista Atmadjati saat dihubungi Harian Jogja, Jumat (16/11).

Advertisement

Arista mengatakan, penyelidikan sementara Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyatakan  bahwa penerbangan Lion Air JT610 yang nahas itu terjadi gangguan pada sensor angle of attack (AoA).  “Kan ini jenis varian pesawat baru. Ini disebut masa baby sickness. Ada beberapa parts yang tidak sempurna. Boeing juga telat membuat semacam safety instruction bagi pilot jika AoA ngadat. Informasinya telat. Ini celah untuk menggugat,” kata Arista.

Dalam dunia aviasi, pada produk baru pesawat,  dikenal istilah baby sickness. Ini istilah untuk produk yang baru seumur jagung sehingga rentan kesalahan kesalahan produk. Boeing 737 MAX 8 baru mulai beroperasi untuk penggunaan komersial sejak 2017. Maskapai penerbangan Lion Air menyatakan pada Juli mereka "sangat bangga" menjadi pihak pertama di Indonesia yang menggunakan pesawat itu, dan telah memesan sampai 218 unit.

Secara keperdataan, kata Arista, sebetulnya Lion Air Group dan Asosiasi Pilot Indonesia bisa turut menggugat Boeing dalam kasus ini. Sebab kedua pihak itu juga turut dirugikan dalam insiden tragis tersebut. Namun Direktur Arista Indonesia Aviation Center itu menyangsikan Lion Air Group akan melayangkan gugatan. “Dari yang saya lihat, Lion kemungkinan tidak [melayangkan gugatan] ya. Sebab sudah banyak kemudahan dari Boeing yang didapatkan operator itu selama ini,” kata dia.

Lion Air, tambah Arista, juga tidak memiliki serikat pilot, sehingga gugatan bisa dilayangkan secara personal oleh pilot yang pernah menerbangkan B737 MAX 8. “Atau bisa diwakili oleh Ikatan Pilot Indonesia,” kata dia.

Gugatan dari banyak pihak yang dirugikan atas kelalaian Boeing ini, Arista, “Bisa menjadi semacam corrective action buat Boeing juga. Selain tentunya memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang dirugikan.”

Keluarga salah satu korban jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP di perairan Karawang, Jawa Barat menggugat Boeing Company, ke pengadilan di Amerika Serikat melalui sebuah kantor Firma Hukum yang berbasis di Florida, AS.

Pengacara Curtis Miner dari Kantor Firma Hukum Colson Hicks Eidson yang berkedudukan di Florida, AS, dalam pers rilisnya, Kamis (15/11/2018), menyatakan telah mengajukan gugatan terhadap Boeing Company di Pengadilan Circuit, Cook County, Illinois, Amerika Serikat, tempat kedudukan hukum perusahaan Boeing. Gugatan diajukan atas nama ayah dari dokter Rio Nanda Pratama.

Rio Nanda Pratama adalah dokter yang menjadi salah satu korban tragedi pesawat Lion Air PK-LQP/JT610 Jakarta-Pangkal Pinang, 29 Oktober 2018. Saat penerbangan itu, ia dalam perjalanan pulang dari mengikuti seminar selama tiga hari di Jakarta. Dokter muda itu berencana menikah tiga belas hari kemudian pada 11 November 2018.

Curtis Miner menyatakan sesuai perjanjian internasional, badan penyelidik dari Indonesia dilarang menentukan siapa yang bertanggung jawab atau siapa yang bersalah. Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), kata dia, hanya diperbolehkan menyelidiki penyebab kecelakaan dan membuat rekomendasi keselamatan untuk industri penerbangan di masa depan.

"Inilah sebabnya mengapa tindakan hukum atas nama keluarga korban harus dilakukan," ujar Curtis Miner.

Dia menegaskan, investigasi oleh lembaga pemerintah biasanya tidak akan memutuskan siapa yang bersalah dan tidak menyediakan ganti rugi yang adil kepada para keluarga korban. “Ini pentingnya gugatan perdata dalam tragedi seperti ini," ujarnya.

Austin Bartlett dari Firma Hukum BartlettChen, yang juga turut mengajukan gugatan ini, mengatakan para ahli keamanan penerbangan dan Ketua Asosiasi Pilot Amerika menyatakan Boeing telah gagal memperingatkan para maskapai dan pilot pesawat 737 MAX mengenai perubahan  signifikan pada kontrol penerbangan. Boeing juga tidak menyampaikan instruksi yang benar dalam manualnya. Sebagai produsen pesawat, Boeing sudah lalai menjamin keamanan penerbangan.

Irianto, ayah dari korban Rio Nanda Pratama mengatakan, semua keluarga korban ingin mencari kebenaran dan penyebab tragedi ini. “Kesalahan yang sama tidak boleh terulang di masa mendatang. Saya menuntut keadilan untuk putra saya dan [juga atas nama] semua korban jiwa dalam kecelakaan tersebut, ” ujarnya.

Firma hukum Colson Hicks Eidson telah menangani puluhan kecelakaan penerbangan yang terjadi di seluruh dunia atas nama ahli waris penumpang selama hampir setengah abad. Firma ini telah menyelesaikan sejumlah kasus kecelakaan pesawat yang terjadi sebelumnya di Indonesia, seperti kasus Garuda Indonesia GA152 (29 September 1997), kasus Adam Air KI-574 (1 Januari 2007), dan kasus Lion Air JT583 yang mendarat darurat di Bandara Adi Soemarmo Solo, pada 30 November 2004.

Pesawat Lion Air JT610 lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju Bandara Depati Amir, Pangkal Pinang, dan terjatuh 13 menit kemudian. Sebanyak 189 orang yang ada di dalamnya tewas dalam insiden tragis tersebut.


Sedang Digugat

Dari penelusuran Harian Jogja, Boeing saat ini juga sedang menghadapi gugatan dari para korban selamat dalam penerbangan Southwest Airlines nomor 1380 di Supreme Court (Mahkamah Agung) AS di Manhattan, New York, AS. Penerbangan pada 17 April 2018 dengan pesawat seri B737-700 itu berakhir dengan pendaratan darurat setelah salah satu mesinnya meledak, melontarkan kisi-kisi kipasnya hingga merobek badan pesawat. Satu dari 99 penumpang di dalam pesawat meninggal dunia setelah tersedot keluar dari kabin.

Gugatan dilayangkan selang dua bulan sejak kejadian atau pada 20 Juni 2018 lalu, National Transportation Safety Board (NTSB) masih dalam proses investigasi. Para penggugat menuduh Boeing lalai dan gagal menjamin keamanan pesawat 737-700. Produsen pesawat dinilai gagal memberikan peringatan dan instruksi keamanan yang memadai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

alt

Netralitas ASN dalam Pilkada Sleman 2024 Bakal Diawasi Ketat

Sleman
| Kamis, 25 April 2024, 12:57 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement